Pada hari Jumat siang yang panas, Edi Sanyoto terburu-buru menuju Alun-Alun Kabupaten Sorong, Papua Barat. Tangannya yang kekar membawa uang ratusan ribu rupiah dengan kondisi fisik uang yang sudah lusuh dan warna yang sudah pudar.

        "Sebanyak Rp565 ribu saya ingin tukar dengan uang baru, terlalu banyak uang yang lusuh," ujarnya.

        Di antara Edi, relatif banyak warga Sorong yang ingin menukar uang lusuh dengan uang baru karena mereka tidak mau melewatkan tradisi "salam tempel" kepada sanak saudara pada Hari Raya Idulfitri 1436 Hijriah.

        "Kalau saya ingin menukar uang karena mengetahui bahwa uang juga adalah simbol kedaulatan Negara. Janganlah saya punya uang banyak yang lusuh," tuturnya.

        Pemaknaan Edi mengenai uang rupiah sebagai simbol kedaulatan Negara ternyata tidak hanya dalam lingkup antipenggunaan uang asing di wilayah Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI). Edi memaknai bahwa kondisi fisik dan simbol di dalam uang rupiah merupakan representasi dari kedaulatan Negara sehingga harus dijaga dengan baik.

        Upaya menghargai kondisi fisik uang, diyakini dia, seperti halnya menjaga kondisi bendera merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

        "Oleh karena itu, uang sebenarnya tidak boleh lusuh atau dilipat-lipat, bahkan hingga robek," ujarnya.

        Dari hasil penukaran uang yang dilakukan Bank Indonesia, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat kerap abai dalam menjaga kondisi fisik uang, terutama untuk uang dengan nominal yang kecil.

        Hasil penukaran uang BI dari Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) di Pulau Kodingareng, Makassar, Sabtu (6/6), misalnya, sebanyak 75 persen dari total uang masyarakat hasil penukaran, yaitu sebesar Rp21,1 juta, dinyatakan tidak layak edar.

        Layak atau tidak layak edar itu berdasarkan kondisi fisik uang (tekstur, warna, dan material) serta tahun penerbitan uang tersebut.

        "Di pulau-pulau kecil, trennya memang seperti itu. Hal itu karena uang yang paling sering beredar di sana adalah uang dengan jumlah yang kecil. Biasanya uang yang kecil ini uangnya lusuh," kata Asisten Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Dandy Indarto Seno.

        Menurut dia, biasanya uang dengan nominal di bawah Rp20 ribu disimpan oleh masyarakat secara sembarangan. Padahal, proses menciptakan uang sangatlah rumit, melewati enam jenjang proses bisnis dengan biaya yang juga tidak kecil.

        BI, selaku otoritas yang menciptakan dan mengedarkan uang, juga cukup selektif dalam menjaga kondisi fisik uang, yang beredar di masyarakat.

        Jika terdapat gangguan pada kondisi fisik uang, BI akan menilainya sebagai uang yang tidak layak edar. Masyarakat boleh menukarkan uang tidak layak edar tersebut menjadi uang dengan kondisi baru. Lalu BI akan menyortir uang yang tidak layak edar itu, dan selanjutnya memusnahkannya.

        Tidak tanggung-tanggung, pada 2014 saja, BI memusnahkan uang tidak layak edar sebanyak Rp14 triliun.

        Dandy mengatakan BI berkewajiban untuk memastikan uang rupiah beredar di masyarakat dengan kondisi yang memadai atau layak edar.

        Untuk itulah, sejak beberapa tahun terakhir, BI aktif berpartisipasi dalam Ekspedisi Bhakti Kesejahteraan Rakyat Nusantara (Bhakesra), dimana salah satu misinya, adalah mengadakan layanan penukaran uang tidak layak edar menjadi uang layak edar.

        Untuk tahun ini agak berbeda, karena BI juga mengikuti Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) pada 1-26 Juni 2015, dimana BI juga melakukan layanan penukaran uang, dan juga sosialisasi penggunaan mata uang rupiah.

        Bank Indonesia membawa modal penukaran uang sebesar Rp15 miliar untuk ENJ yang mberlayar dari Jakarta, Makassar, Sorong, Pulau Saumlaki, Kupang, hingga kembali ke Jakarta. Perinciannya, Jakarta hingga Sorong, modal yang dibawa BI sebesar Rp8 miliar, sedangkan untuk Saumlaki hingga kembali ke Jakarta sebesar Rp7 miliar.

        Hingga ekspedisi mencapai Pelabuhan Sorong, 13 Juni 2015, Dandy mengklaim realisasi penukaran uang mencapai lebih dari 90 persen dari modal awal sebesar Rp8 miliar.

        Dalam rute hingga Sorong, BI melakukan empat kali layanan penukaran uang, yakni di Pantai Losari, Pulau Kodingareng, Makassar, di atas KRI Banda Aceh-593, dan Alun-Alun Kabupeten Sorong.

    
                                  Sosialisasi Masih Minim      
        Diakui Dandy, penukaran uang jauh lebih banyak diserap oleh bank-bank setempat melalui kas titipan daripada penukaran langsung ke masyarakat melalui kas keliling dalam ENJ 2015.

        Sebagai gambaran, untuk layanan penukaran uang di Makassar, baru Rp587 juta modal penukaran uang BI terserap ke masyarakat dengan perincian Rp557 juta di kas keliling Pantai Losari dan Rp21,1 juta di Pualu Kodingareng. Sementara itu, yang terserap ke perbankan sebesar Rp1,2 miliar.

        Salah satu penyebab ketimpangan itu, kata Dandy, karena minimnya sosialisasi kepada masyarakat di daerah setempat. Namun, kas titipan melalui bank itu justru dapat membantu Bank Indonesia dalam memberikan layanan penukaran uang ke daerah-daerah yang lebih terpencil. Di beberapa daerah terpencil di Indonesia, bank-bank umum sudah memiliki jaringan kantor cabang.

        "Sebagian besar memang lebih terserap oleh bank-bank setempat. Namun, nanti bank-bank setempat itu yang menyalurkan penukaran uang ke bank lainnya dan nasabahnya, bahkan bisa hingga ke daerah-daerah terdepan," ujarnya.

        Farid Fajriansyah, peserta ENJ asal Ende, Nusa Tenggara Timur, mengatakan bahwa sosialisasi tentang penggunaan uang rupiah dan juga layanan penukaran uang harus lebih sering.

        Sosialisasi dan layanan kas keliling itu tidak hanya bergantung pada ekspedisi atau kegiatan tahunan, tetapi harus rutin dilakukan BI atau Kantor Perwakilan BI di daerah ke pulau-pulau terdepan.

        "Saya juga ingin tahu lebih banyak soal proses bisnis penciptaan uang," kata dia.

    
                                    Ancaman Uang Asing
        Dandy mengakui kedaulatan rupiah juga sangat rentan terganggu di wilayah-wilayah terdepan Nusantara. Selain rentan disusupi uang asing dari negara tetangga, wilayah terdepan juga dikhawatirkan menjadi sasaran pelaku peredaran uang palsu.

        Ia menilai ancaman masuknya uang asing timbul karena keterpaksaan masyarakat di wilayah terdepan. Akibat buruknya konektivitas ke wilayah terdepan, masyarakat setempat terpaksa memilih bertransaksi menggunakan uang asing agar dapat membeli barang dan menggunakan jasa dari negara tetangga.

        Indonesia pernah mengalami pengalaman buruk saat harus melepaskan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Saat itu, hal yang memberatkan Indonesia adalah mata uang yang digunakan di dua pulau tersebut adalah ringgit Malaysia.

        Maka dari itu, Dandy menilai distribusi uang rupiah layak edar ke masyarakat di pulau-pulau terdepan harus terus digencarkan.

        Selain itu, "bola" juga ada di tangan pemerintah. Menurut Dandy, pemerintah harus serius meningkatkan konektivitas ke wilayah terdepan.

        Menyinggung soal uang palsu, Dandy mengkhawatirkan tingginya rasio peredaran uang palsu saat ini turut menyasar kegiatan ekonomi di kepualauan. Apalagi, tingkat melek masyarakat di kepulauan terhadap keasilan uang masih minim.

Pewarta : Oleh Indra Arief P.
Editor :
Copyright © ANTARA 2024