Jakarta (Antara News) - Cokelat bukan saja salah satu makanan populer di berbagai belahan dunia saat ini, melainkan merupakan salah satu makanan yang digemari oleh suku kuno Maya di benua Amerika Tengah.

        Menurut situs travel.nationalgeographic.com, suku Maya merupakan masyarakat pertama yang mengolah biji buah kakao untuk membuatnya cokelat panas.

        Suku Maya kuno, berdasarkan paparan dalam situs tersebut, tidak membuat batangan cokelat seperti masa modern ini. Mereka juga tidak menambahkan gula dan susu ke dalam larutan kakao.

        Namun, bagi Maya, kakao dinilai sebagai hadiah sakral dari dewa, bahkan bijinya juga dijadikan seperti mata uang.

        Indonesia pada saat ini juga dikenal sebagai penghasil kakao terbesar urutan ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana.

        Data pemerintah memproyeksikan pada tahun 2015 jumlah industri hilir olahan kakao di dalam negeri bertambah menjadi 20 unit dari kondisi saat ini sebanyak 16 unit. Kapasitas terpasang pada tahun ini ditargetkan tumbuh menjadi 950.000 ton dari 580.000 ton pada tahun 2011.

        Sementara itu, produksi olahan 2015 ditetapkan bertumbuh menjadi 700.000 ton dari 268.000 ton dari kondisi 2011.

        Sebelumnya, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla meminta Federasi Perdagangan Kakao (FCC) London untuk mengurangi biaya keluar atau pajak impor produk olahan kakao dari Indonesia ke Eropa.

        "Kita minta perlakuan terhadap potensi Indonesia dalam produksi olahan biji kakao itu jangan diskriminasi. Kalau kakao kita masuk ke sini (Eropa), itu dikasih pajak impor 5--6 persen, kalau Afrika tidak diberi pajak," kata Wapres di London, Kamis (14/5).

        Sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekspor komoditas kakao ke pasar Eropa.

        Namun, ekspor tersebut selama ini mengalami kesulitan karena tingginya biaya masuk atau biaya impor yang diberlakukan terhadap komoditas kakao dari Indonesia.

        "Akhir-akhir ini, hampir semua komoditas harganya turun, kecuali kakao. Artinya, ada potensi permintaan dunia terhadap kakao dan produk olahannya makin baik. Hal ini juga potensi bagi kita sebagai negara penghasil kakao terbesar nomor tiga di dunia," jelasnya.

    
                      Rapat Cokelat
        Pada hari Selasa (9/6), Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat koordinasi dengan sejumlah kepala daerah provinsi penghasil kakao di Tanah Air dalam rangka untuk menjadi produsen terbesar komoditas kakao di dunia.

        "Targetnya Indonesia menjadi produsen terbesar cokelat atau kakao di dunia pada tahun 2020," kata Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh setelah rapat tentang cokelat di Kantor Wakil Presiden di Jakarta, Selasa.

        Menurut Anwar Adnan, pertemuan Wapres yang membahas tentang cokelat itu diikuti perwakilan dari sekitar 10 kepala daerah provinsi di Tanah Air.

        Gubernur Sulbar mengemukakan bahwa untuk meningkatkan produksi, tugas kepala daerah untuk memberdayakan petani kakao.

        "Harus ada pendampingan, penyuluhan, dan bibit bagi petani," katanya.

        Selain itu, kata dia, bank juga dinilai wajib memberikan kredit usaha rakyat dengan bunga rendah.

        Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan bahwa kebutuhan kakao atau cokelat saat ini terus meningkat dan belum bisa diimbangi dengan produksi yang dihasilkan.

        "Kebutuhan industri naik sekitar 10 persen per tahun, produksi hanya 3 persen per tahun," kata Ahmad Heryawan yang akrab dipanggil Aher.

        Gubernur Jabar juga menargetkan provinsinya bakal meningkatkan jumlah produksi dari sekitar 500.000--800.000 ton per tahun menjadi 1 juta--1,5 juta ton per tahun.

        Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang juga mengingatkan pentingnya peningkatan produksi kakao untuk memenuhi kebutuhan di tingkat global.

        "Kebutuhan dunia terhadap kakao saat ini luar biasa," katanya.

    
                    Penyuluhan
        Pemerintah fokus mengatasi permasalahan kurang memadainya penyuluhan serta minimnya jumlah bibit yang dinilai merupakan beberapa persoalan utama dari pengembangan komoditas tersebut di Tanah Air.

        "Kita mesti meningkatkan produksi kakao kita," kata Ketua Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi setelah rapat tentang cokelat yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa.

        Menurut Sofjan, masalah mengapa produksi kakao di Tanah Air tidak maksimal, antara lain karena tidak ada penyuluhan dan bibit untuk menghasilkan komoditas tersebut.

        Selain itu, kata dia, pengucuran anggaran untuk permasalahan tersebut juga dinilai masih sangat kecil sekali sehingga dibutuhkan adanya upaya percepatan realisasi guna mengatasi persoalan yang ada.

        Pemerintah, lanjut dia, juga telah menjalin kerja sama dengan sejumah pihak seperti balai penelitian di daerah.

        "Kita ingin produksinya 'double' (meningkat dua kali lipat) dalam tiga tahun ini," kata Sofjan Wanandi.

        Apalagi, kata dia, kondisi alam dan tanah di Indonesia cocok sekali untuk kakao.

        Sebelumnya, ketika di London, Jusuf Kalla mengundang para pengusaha bidang industri kakao untuk menanamkan modalnya di Tanah Air mengingat produksi biji kakao di Indonesia adalah terbesar ketiga di dunia.

         "Saya hadir di sini untuk mempertegas komitmen pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang paling kompetitif untuk berinvestasi, khususnya di bidang industri kakao," kata Wapres RI ketika itu.

         Saat ini beberapa perusahaan pengolah biji kakao telah menjalankan dan mengembangkan bisnisnya di Indonesia, antara lain Nestle, Mars, dan Cargill.

         Hal itu, lanjut Wapres Kalla, menunjukkan ketertarikan investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di sektor pengolahan biji kakao.

         "Dengan nilai investasi yang lebih dari 600 juta dolar AS di bidang perkebunan dan tanaman pangan, Indonesia terus berkembang menjadi pilihan para investor asing," jelasnya.

    
                   Siap Pasok
        Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyatakan siap memasok sebanyak 20 persen produksi kakao dari total target nasional 1.000.000 ton pada tahun 2015.

        "Hipmi siap untuk memasok 20 persen kebutuhan kakao nasional mulai tahun ini," kata Ketua Badan Otonom Bidang Bisnis, Investasi, dan UKM Hipmi Hardini Puspasari, Selasa (19/5).

        Dengan demikian, kata dia, anggota Hipmi berpeluang memasok sekitar 200.000 ton per tahun untuk kebutuhan dalam negeri.

        Ia menyatakan optimistis antara lain karena beberapa langkah yang telah dilakukan pemerintah seperti Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) juga menjadi program unggulan Hipmi.

        Gernas Kakao merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan mengoptimalkan seluruh pihak terkait dan sumber daya yang tersedia.

        Selain itu, Gernas Kakao juga dinilai akan meningkatkan pendapatan petani sebagai implikasi dari peningkatan produktivitas tanaman Kakao.

        "Kami berharap pemerintah bisa mendukung ketersediaan lahan bagi tanaman kakao yang digarap oleh anggota Hipmi," katanya.

        Ia menargetkan hingga akhir tahun 2015, luas lahannya bisa mencapai sekitar 2.000.000 hektare sehingga target mencapai 200.000 ton per tahun optimistis bisa tercapai.

        Dengan adanya dukungan dari sejumlah pihak, seperti Hipmi, diharapkan tekad Indonesia untuk menjadi penghasil terbesar komoditas kakao di tingkat internasional benar-benar dapat terwujud.

Pewarta : Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor :
Copyright © ANTARA 2024