Kendari (Antara News) - Pembalakan liar di sejumlah kawasan hutan di wilayah Sulawesi Tenggara oleh sejumlah oknum pengusaha kayu di provinsi itu masih terus berlangsung.

Buktinya, pada Selasa (2/2) malam Tim Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) mengamankan empat kontainer atau 1.000 batang kayu olahan yang akan dikirim keluar wilayah provinsi itu.

Sebelumnya, Sabtu (17/1), tim Rekrimsus Polda Sultra, juga mengamankan kayu jenis rimba campuran tanpa dokumen sebanyak 250 batang.

Menurut Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Sunarto, petugas polisi mengamankan kayu tanpa dokumen resmi tersebut, di jalan poros Watubangga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari.

Selain mengamankan kayu tersebut, polisi juga menahan mobil truk dan sopir yang memuat ratusan batang kayu tersebut.

Beberapa pekan sebelumnya, petugas Polres Buton juga menyita 100 batang kayu jati ilegal di wilayah Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan. Para pemilik kayu jati dalam bentuk balok tersebut melarikan diri sebelum diringkus petugas.

Petugas polisi yang berhasil mengamankan kayu dan menangkap para pemilik kayu curian itu, tentu patut diancungi jempol dan diapresiasi.

Itu karena berkat kerja keras mereka, para pelaku "illegal logging" bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.

Namun, di satu sisi penangkapan dan pengamanan barang bukti ribuan batang kayu itu ikut menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Meninmbulkan keprihatinan, karena kayu-kayu tersebut ditebang di dalam kawasan hutan lindung, di tengah pengawasan ketat petugas pengamanan kawasan hutan.

"Bagaimana bisa kayu-kayu itu keluar dari kawasan hutan lindung di tengah pengawasan petugas pengamanan kawasan hutan," kata La Ode Ota, aktivis LSM lingkungan hidup dalam di Kendari Selasa kemarin.

Ota menduga, lolosnya kayu-kayu tersebut keluar dari dalam kawasan hutan lindung, ada oknum petugas kehutanan yang ikut terlibat.

Petugas kehutanan seolah tidak tahu dengan aksi pembalakan lair di wilayah tempat para petugas tersebut bertugas menjaga kawasan hutan.

"Bagaimana mungkin pelaku pembalakan liar bebas menebang kayu di dalam hutan, tanpa bisa diketahui petugas kehutanan. Jelas ada oknum petugas yang ikut terlibat dalam aksi pencurian kayu-kayu itu," kata Ota.



Merusak

Pembalakan liar yang masih berlangsung di provinsi itu telah menyebabkan sejumlah kawasan hutan lindung di beberapa kabupaten di Sultra mengalami rusak parah.

Data di Dinas Kehutanan Sultra, dalam beberapa tahun terakhir kawasan hutan di daerah itu yang mengalami kerusakan sudah mencapai 300 ribu hektare lebih.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Kisran Makati, kerusakan sejumlah kawasan hutan itu, telah menyebabkan sejumlah air sungai mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Sebaliknya, ketika musim hujan, sejumlah kawasan pemukiman penduduk dilanda banjir yang tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda bagi penduduk tetapi juga kerap kali menelan korban jiwa.

"Kalau aksi pencurian kayu di dalam kawasan hutan tidak segera dihentikan, kerusakan lingkungan di daerah akan terus meluas," katanya.

Dampaknya, kata dia, masyarakat di sejumlah kabupaten di provinsi ini dalam ancaman bahaya bencana alam berupa banjir dan tanah longsor.

"Agar bahaya itu tidak mengancam keselamatan warga, aksi pembalakan liar harus dihentikan. Mereka yang tertangkap petugas agar diberi hukuman berat, sehingga bisa menimbulkan efek jera bagi yang lain," katanya.

Sementara itu, mantan Kepala Dinas Kehutanan Sultra, Amal Jaya mengatakan, kawasan hutan yang rusak di daerah itu tidak semata-mata diakibatkan aksi pembalakan liar.

Menurut dia, aktivitas sejumlah perusahaan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi, ikut andil dalam perusakan kawasan hutan.

"Sebelum perusahaan tambang banyak beroperasi di Sultra (tahun 2009), luas kawasan hutan di daerah itu masih seluas 2.650.137 hektar," katanya.

Saat ini ujarnya, luas kawasan hutan sudah menyusut sisa seluas 2.333.155 hektar atau berkurang sekitar 316.000 hektare lebih.

Untuk memulihkan kondisi kerusakan kawasan hutan tersebut memerlukan keterlibatan semua pihak, terutama dalam menanaminya kembali dengan berbagai pohon pelindung

Dengan begitu kawasan hutan yang sudah mengalami kerusakan serius bisa segera pulih kembali.



Petugas

Baik Kisran Makati maupun Ota menduga kuat pembalakan liar di dalam sejumlah kawasan hutan di provinsi itu melibatkan oknum petugas. Menurut Kisran, pembalakan liar di dalam kawasan hutan lindung di Sultra, melibatkan tiga pemain utama.

"Ketiga pemain utama dalam sindikat pencurian kayu di dalam kawasan hutan di daerah ini, yakni cukong kayu, beking dan oknum aparat sendiri, baik aparat Dinas Kehutanan maupun petugas isntansi lain," katanya.

Ketiga pemain utama tersebut kata Kisran, memainkan peran dalam aksi pembalakan liar sesuai kapasitas masing-masing.

Cukong kayu, memberi jaminan modal kerja dan membeli kayu hasil curian, beking memberikan perlindungan pengamanan dalam memobilisasi kayu keluar dari kawasan hutan dan oknum aparat memberikan informasi kegiatan petugas melakukan operasi pengamanan hutan.

"Pola kerja ketiga pemain itu yang menggunakan kecanggihan teknologi telekomunikasi dan informasi, menyulitkan petugas pengamanan kawasan hutan menangkap para pelaku pencurian kayu," katanya.

Selain memanfaatkan kecanggihan teknologi telekomunikasi dan informasi, para pemain pembalakan liar, juga kerap kali menyelewengkan izin pengolahan kayu tanaman milik masyarakat atau IPKTM.

"Dengan IPKTM, kayu-kayu yang diangkut dari kawasan hutan seolah-seolah memiliki dokumen resmi," kata Kisran.

Padahal kayu-kayu tersebut sesungguhnya ditebang di luar area IPKTM yang diperbolehkan.

Indikasi itu, tampak dari area IPKTM yang diizinkan, kayunya tidak berkurangan sama sekali setelah masa berlakunya IPKTM berakhir.

"Kasus pembalakan liar di dalam kawasan hutan di daerah ini terjadi di semua wilayah kabupaten dan kota di Sultra," katanya.

Dinas Kehutanan Sultra juga kesulitan mengawasi dan mengamankan kawasan hutan di tingkat kabupaten dan kota karena aparat di tingkat kabupaten otonom merasa tugas mengamankan dan menjaga kawasan hutan sudah menjadi wewenang mereka.

"Alasan otonomi daerah itu yang membuat Dinas Kehutanan Sultra tidak bisa berbuat banyak dalam melindungi, menjaga dan mengamankan kawasan hutan dari kegiatan pembalakan liar," katanya.

Pewarta : Oleh: Agus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024