Jakarta (Antara News) - Pemilihan Presiden kali ini menjadi sangat menarik bukan hanya karena tajamnya perseteruan antara kedua kubu Capres-Cawapres yang ada melainkan juga karena pola pemikiran yang mereka cuatkan.  

          Pemikiran-pemikiran pasangan Prabowo-Hatta menjadi dianggap sebagian orang hanya sebagai retorika dan mimpi-mimpi besar belaka karena beliau berdua dianggap "gagal" menjelaskan detail dari pemikiran-pemikiran yang mereka sampaikan.

         Sebaliknya, sebagian orang lain beranggapan pemikiran-pemikiran pasangan Jokowi-JK sangat terasa hanya bersifat "populis" belaka tanpa adanya kelogisan dari apa yang disampaikan.

         Terlepas dari perseteruan yang semakin tajam dan sudah mulai saling "merobek baju di dada", maka pada akhir dari masa kampanye ini kiranya diperlukan suatu kedewasaan berfikir yang objektif dan berguna bagi pencerahan bangsa ini ke depan.

         Semua pihak harus sadar untuk mengantarkan bangsa ini bisa segera keluar dari pola-pola demokrasi yang bersifat primordial dan rasis. Kita semua harus mau untuk berkaca dan jujur mengakui berbagai kekurangan dan kesalahan kita masing-masing selama ini; karena sejatinya sejarah sudah mencatat bahwa tidak ada satu pihak pun yang benar-benar bersih dan luput dari kesalahan.

         Kita semua juga harus sadar tentang berbagai kekuatan eksternal yang tidak menginginkan bangsa ini menjadi segera maju.

         Mencermati berbagai dinamika yang sedang terjadi selama masa kampanye ini, maka beberapa hal berikut ini barangkali menarik dan baik untuk kita renungkan bersama:

1. Hakikat Slogan

         Di antara sekian banyak slogan pergerakan yang diajukan masing-masing kubu, maka slogan "Revolusi Mental" yang diusung oleh Jokowi-JK terasa menjadi "hambar" dibandingkan dengan  slogan "Restorasi Indonesia" yang telah diluncurkan oleh Partai Nasdem sejak 4-5 tahun yang lalu.

         Meskipun suatu proses "revolusi" mental adalah diperlukan untuk melakukan suatu proses Restorasi Indonesia namun hakikat "revolusi-mental" tersebut menjadi sangat kecil artinya dibandingkan dengan hakikat "Restorasi Indonesia" yang sudah digaungkan selama ini ioleh Partai Nasdem.

         Atas hal ini, maka dapat dikatakan kubu Jokowi-JK "gagal" berfikir lebih tajam untuk menemukan slogan gerakan yang lebih baik dari slogan salah satu partai yang menjadi koalisinya sendiri.

         Selanjutnya slogan "Kalau Bukan Kita Siapa Lagi" dan "Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi" yang disuarakan oleh Kubu Prabowo-Hatta bukan hanya terasa sangat biasa saja melainkan juga terasa menjadi sangat "njomplang" dengan pemikiran-pemikiran besar yang disuarakan oleh Prabowo-Hatta dalam masa kampanyenya.

         Pemikiran-pemikiran yang bersifat sangat visioner dan kebangsaan yang disuarakan dengan lantang oleh Prabowo selama ini menjadi "terjun-bebas" dengan slogan yang mereka bangun selama kampanye itu.

         Alangkah akan membahananya jika pemikiran-pemikiran yang bersifat visioner dan kebangsaan yang disuarakan Prabowo itu dibungkus dengan slogan (katakanlah) Gerakan Indonesia Raya (yang sekaligus merupakan nama partai Prabowo sendiri); atau untuk menghormati kemajemukan atas adanya koalisi yang ada saat ini maka slogannya bisa diperbesar misalnya menjadi "Gerakan Nusantara Raya".

         Atas hal ini, maka dapat dikatakan bahwa kubu Prabowo pun gagal menemukan slogan yang terbaik untuk mereka.

    
2. Perseteruan Orang Pintar.

    
         Dinamika perseteruan "orang pintar" selama masa kampanye Pilpres menjadi menarik dan perlu untuk kita cermati bersama untuk pembelajaran ke depan; baik perseteruan kelompok resmi pemenangan Capres-Wapres dari kedua kubu ataupun perseteruan para pengamat, para narasumber maupun para simpatisan.

         Terlepas dari berbagai bentuk dan ragam dinamika "permainan" semantik, dialektika maupun propaganda yang bisa kita ikuti di berbagai media masa, maka satu hal yang sangat mencolok selama ini terjadi pada semua pihak adalah dominannya pola berfikir linier.

         Hampir tidak satu pun di antara mereka yang mampu memakai pola berfikir lateral yang dilahirkan dalam kemampuan membangun antitesis untuk menjelaskan berbagai isu yang sedang digulirkan masing-masing pihak.  

         Debat antara Anis Baswedan dan Mahfud MD (sebagai kampiun tim pemenangan)  menjadi ibarat pertarungan "petinju kelas berat" dengan "pelatih tinju kelas berat" belaka.

         Keagresifan Anis dalam berdebat menjadi bukan hanya tidak menarik untuk diikuti melainkan juga menjadi "lebay" serta penuh kesinisan dibandingkan dengan respon Mahfud MD yang terlalu kalem, bijak dan berwibawa.

         Demikian juga dengan para moderator dalam debat resmi para Capres-Cawapres, mereka terlihat seperti "tidak merdeka" dan  terlalu berhati-hati dalam memainkan peran untuk menghidupkan perbedatan yang ada.

         Selain pertanyaan-pertanyaan yang mereka bangun hanya bersifat "old-fashion" mereka juga seperti tidak mempunyai ruang untuk mempertajam pertanyaan dan menghangatkan perdebatan.

         Terlepas dari masalah etika-debat  yang mereka sepakati, salah satu hal yang sangat merugikan kita dalam seri debat Capres-Cawapres tersebut  adalah kita sama sekali tidak bisa melihat performa yang optimal dari kedua kubu.  

         Jika semua dinamika "perseteruan orang pintar" yang terjadi selama masa kampanye Pilpres tersebut di atas dikaitkan dengan hakekat "pintar" itu sendiri, maka dapat dikatakan bahwa para orang pintar yang terlibat dalam semua proses tersebut di atas secara hakiki  masih gagal untuk  dapat dikatakan sebagai pintar yang sesungguhnya.

         Secara hakikat, suatu kepintaran adalah harus memenuhi delapan kriteria, yaitu: 1, pintar dalam melihat, 2, pintar dalam mendengar, 3 dan 4 pintar dalam berpikir dan pintar dalam merasakan serta memaknai apa yang dilihat dan didengar.

         Kemudian 5, pintar dalam menuliskan apa yang sudah dilihat/didengar/dipikir/dirasakan, 6, pintar dalam mengartikulasikan apa yang  dilihat/didengar/dipikir/dirasakan, 7, pintar dalam melakukan pengetahuan dan ilmu yang telah dikuasai dalam 6 tahap sebelumnya dan terakhir adalah 8, pintar untuk mengajarkan/menularkannya pada orang lain.

          Dalam dinamika yang ada selama ini, dengan tidak optimalnya performa para Capres-Cawapres dalam berbagai perdebatan yang ada, maka dapat  dikatakan bahwa para orang pintar tersebut telah "gagal" menjadi pintar untuk menjadikan para Capres-Cawapres yang mereka dukung menjadi pintar juga saat dalam proses  perdebatan resmi yang telah ada.

          Meskipun "kegagalan" orang pintar tersebut dapat disembunyikan dibalik  alibi kondisi keterbatasan persiapan waktu kampanye dan dinamika "koalisi mendadak" yang terjadi pada semua kubu, namun dinamika "kegagalan" orang pintar tersebut, saat ini, adalah juga dapat menjadi indikator objektif tentang kemampuan mereka sesungguhnya dalam bekerja sama secara efektif dan cepat.

    
3. Pemikiran Deduktif dan Induktif para Capres-Cawapres.

    
         Secara sederhana, pemikiran-pemikiran yang diajukan Prabowo-Hatta dapat dikatakan sebagai  pemikiran-pemikiran yang bersifat visioner yang harus dimiliki dan dibutuhkan semua bangsa di dunia ini, sedangkan pemikiran-pemikiran yang diajukan Jokowi-JK adalah pemikiran-pemikiran populis yang juga tidak bisa dinafikan kebutuhannya untuk menjawab persoalan kebangsaan yang sedang terjadi di negara kita saat ini.

         Kedua pemikiran tersebut adalah sangat diperlukan oleh bangsa kita, namun sayangnya pemikiran-pemikiran tersebut ternyata keluar dari dua kubu yang berbeda.

         Dalam konteks akademis, pola pemikiran Prabowo-Hatta adalah tergolong pemikiran yang bersifat deduktif, sedangkan pemikiran Jokowi-JK adalah tergolong pemikiran yang bersifat induktif.

         Semua bangsa dan negara di muka bumi ini harus memiliki visi yang digaungkan dengan pemikiran-pemikiran yang bersifat deduktif, sedangkan implementasi keseharian juga perlu dilaksanakan secara detail dan bersifat induktif.

         Dalam suatu pembangunan suatu bangsa, kedua pola berfikir dan bertindak itu adalah selalu dibutuhkan, namun demikian  perlu kita sadari bersama bahwa tanpa skenario pembangunan yang baik dan benar, maka pemikiran-pemikiran deduktif hanya akan berujung pada retorika belaka; sedangkan sebaliknya kita juga perlu mengakui bahwa dalam banyak hal pola-pola induktif adalah selalu bersifat "time-consuming" dan cenderung tidak efisien.

         Memperhatikan kondisi yang dimiliki bangsa kita saat ini, maka proses induktif akan punya kecederungan sangat tidak efisien; baik karena kualitas SDM yang dimiliki bangsa ini saat ini maupun karena dinamika eforia reformasi yang masih terus terjadi hingga saat ini.

         Dalam konteks globalisasi saat ini, pemikiran deduktif dan visioner Prabowo-Hatta adalah perlu untuk diartikulasikan secara  taktis dan sistematis. Berbagai pemikiran untuk "mengembalikan" kedaulatan bangsa secara utuh (termasuk kedaulatan ekonomi dalam segala bidang) adalah sangat  mungkin untuk dilakukan sesuai berbagai visi yang mereka canangkan, namun demikian ungkapan semangat Prabowo yang terlalu menggebu selama masa kampanye perlu "direm" dan diartikulasikan secara diplomatis.

         Jika tidak, maka "political-game" yang harus dimenangkan oleh bangsa ini dalam percaturan politik internasional akan "layu sebelum berkembang".

         Ada pun pemikiran induktif  yang diusung Jokowi-JK perlu untuk disiasati efisiensi dan efektifitasnya dalam proses penyelesaian seluruh persoalan bangsa.

         Pilihan Jokowi-JK untuk menunggangi pemikiran populis dalam kampanye pilpres adalah suatu kecerdasan mereka dalam mencari suara dari populasi pemilih yang sebagian besar masih hanya berfikir dan hidup dalam taraf  "bagaimana bisa makan hari ini".

         Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar yang menjadi ikon program riil dari Jokowi-JK (terlepas dari perdebatan siapa sesungguhnya yang menjadi pemilik orisinil dari program tersebut) adalah diperlukan dan pasti disukai banyak calon pemilih, namun pemikiran tersebut harus secara objektif diukur dan dipetakan efektifitasnya dalam menyelesaikan seluruh persoalan bangsa saat ini.

         Pemikiran tentang "E-system" (e-procurement, e-purchasing, e-monitoring dll) yang dicanangkan oleh Jokowi-JK adalah juga sangat baik dan perlu, namun dalam implementasinya program tersebut harus secara objektif dikatakan tidak bisa menjadi "significant and effective program" untuk menyelesaikan persoalan bangsa dalam masa pemerintahan mereka nanti.

         Implementasi dari pembangunan E-system tersebut setidak-tidaknya akan memakan waktu 3 tahun, yaitu terdiri dari  satu tahun proses membangun "software", satu tahun proses memasang instlasi "hardware" dan setahun proses percobaan.

         Jika Jokowi-JK menang, maka program itupun belum akan bisa mereka laksanakan mulai tahun 2015; yaitu sejalan dengan telah dikuncinya RAPBN pada tahun ini oleh DPR saat ini.

         Atas hal itu, nantinya jika Jokowi menang, maka orang-orang pintar di lingkungan Jokowi-JK perlu untuk bekerja keras untuk mewujudkan janji Jokowi tersebut; jika tidak maka janji Jokowi tersebut hanya akan berujung pada belanja jasa konsultan dan produk IT belaka dan tidak akan menghasilkan uang untuk pembangunan lain.

         Janji Jokowi-JK untuk membangun tol-laut, guna mengatasi masalah transportasi dan distribusi serta harga berbagai material  kebutuhan hidup masyarakat, bukan hanya perlu dipertanyakan tentang kelayakan teknis, waktu dan finansialnya saja, melainkan juga perlu dipertanyakan kebenarannya secara objektif.

         Keberadaan tol-laut, jika mampu diwujudkan dalam 5 tahun masa pemerintahan, barangkali memang akan memperlancar jalur distribusi dan transportasi, namun demikian sangat diragukan akan mampu menurunkan harga secara signifikan.

         Persoalan kemahalan harga di wilayah tengah dan timur Indonesia adalah bukan semata karena kelangkaan infrastuktur perhubungan, melainkan  adalah lebih disebabkan karena ketimpangan sentra produksi dan ekonomi.

         Tol-laut hanya akan memperlancar transportasi, namun tidak akan pernah mengurangi jarak transportasi dari wilayah pusat produksi dan ekonomi  di Jawa; sehingga apapun juga biaya distribusi barang pasti akan tetap lebih mahal.  

         Selain itu, pemikiran Jokowi-JK yang akan menerapkan politik anggaran dalam membangun keharmonisan pemerintah pusat dan daerah juga adalah hal yang sangat perlu untuk dipertanyakan dan dikoreksi bersama.

         Sejarah bangsa ini telah menunjukkan bahwa politk-anggaran tersebut sudah pernah diimplementasikan Belanda saat jaman penjajahan dulu dan hanya berujung menjadi suatu dinamika "devide et impera" saja, sedangkan pada era reformasi politik anggaran telah melahirkan "perlawanan" yang keras dari daerah kepada pemerintah pusat pula.

          Meskipun semua uraian di atas bisa terasa pedas oleh banyak pihak, namun barangkali hal itu bisa menjadi obat untuk memperbaiki perjalanan kita semua ke depan.

          Untuk menjadikan bangsa ini bisa memilih dengan objektif, maka barangkali akan menjadi sangat baik jika pada sisa masa kampanye ini kedua kubu Capres-Cawapres dapat meresumekan pemikiran mereka dalam tiga kelompok persoalan bangsa kita saat ini, yaitu: bagaimana menyelesaikan permasalahan masa lalu, bagaimana menjawab kebutuhan jangka pendek saat ini, serta bagaimana mereka akan mempersiapkan bangsa untuk menjawab persoalan dan kebutuhan masa datang.

          Kejelian masing-masing kubu dalam membangun benang merah tiga kelompok persoalan bangsa tersebut tentukan dapat menjadi indikator objektif bagi kita dalam melihat kesiapan mereka untuk memimpin bangsa kita lima tahun ke depan. ***1***

* Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB.

Pewarta : Oleh Dr. Ir. Ricky Avenzora M.Sc.*
Editor :
Copyright © ANTARA 2024