Jakarta,  (Antara News) - Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) menggugat ketentuan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) yang selama ini dilakukan secara langsung oleh rakyat ke Mahkamah konstitusi, Kamis.

         FKHK bersama perorangan yang mengatasnamakan mahasiswa yakni Kurniawan, Denny Rudini, Amanda Anggraeni Saputri, dan Hamid Aklis menguji Pasal 56 ayat (1) UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaran Pemilu menyebutkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis berdasarkan asas luber dan jurdil.

         "Kedua pasal itu tidak mengindahkan norma hukum yang berlaku," kata Pengurus FKHK Ryan Muhammad, saat membacakan permohonannya dalam sidang perdana di MK Jakarta, Kamis.

         Menurut mereka, kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 1 angka 3 UUD 1945 karena tak memenuhi kaidah hukum yang berlaku dalam sebuah pembentukan norma hukum.

         Pasal 56 ayat (1) UU Pemda menyebutkan kepala daerah atau wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

         Sedangkan  Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu menyebutkan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dilakukan secara demokratis dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.

         Ryan mengatakan kedua pasal itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena mekanisme Pilkada dipilih secara demokratis, bukan dipilih secara langsung.

         Sementara mengacu Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 makna frasa 'dipilih secara demokratis' dipilih melalui mekanisme musyawarah/perwakilan bukan dipilih secara langsung seperti pemilihan presiden/wakil presiden dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.

         "Dipilih secara demokratis seharusnya mengacu pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Pancasila sila ke-4, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Pasal itu pemaknaan secara demokratis harus melalui mekanisme musyawarah dan perwakilan," katanya.  
     Sedangkan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena asas Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tersebut hanya untuk Pemilu anggota legislatif, bukan untuk Pilkada.

         Dengan demikian kedua pasal itu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, kata Ryan.

         Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin Arief Hidayat sebagai ketua majelis panel didampingi Wahiduddin Adam dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota.

         Hakim Konstitusi Wahiduddin mengkritik permohonan ini tidak menguraikan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon.

         "Pemohon tidak menunjukkan bukti konkret kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Kerugian konkret baik potensial atau aktual mesti diuraikan dalam permohonan," kata Wahiduddin.

         Dia juga mengungkapkan bahwa ketentuan ini sedang dibahas dalam revisi UU Pemda dan RUU Pilkada di DPR dimana saat ini dewan masih  meminta masukan masyarakat terkait mekanisme pemilihan kepala daerah melalui perwakilan.

         "Ini saluran 'legislative review' terkait pemilihan kepala daerah (gubernur, wali kota/bupati, red) secara langsung atau perwakilan. Saluran itu bisa Saudara manfaatkan," katanya.

         Sedangkan Fadlil Sumadi meminta agar permohonan dirumuskan ulang seperti struktur atau format baku permohonan yang berlaku. Seperti dimulai dengan identitas para pemohon, legal standing, kewenangan MK, alasan pokok permohonan (posita), dan petitum (tuntutan) permohonan.

         "Anda harus uraikan kerugian konstitusional pemohon itu apa baik secara perorangan maupun lembaga," kata Fadlil.    
    Fadlil juga meminta pemohon menguraikan bentuk uraian pertentangan norma yang dimohonkan pengujian terkait Pilkada secara langsung, misalnya Pilkada langsung bisa menghilangkan kedaulatan rakyat.

         "Apakah pemilihan langsung atau perwakilan secara demokratis bertentangan dengan UUD 1945. Ini yang harus dijawab dalam permohonan saudara," katanya.

         Untuk itu, majelis panel memberikan kesempatan 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

Pewarta : Joko Susilo
Editor :
Copyright © ANTARA 2024