Jakarta (Antara News) - Pasca elaksanaan Pemilu Legislatif 2014, berbagai lembaga survei mengeluarkan hasil hitung cepat dan semuanya menyebutkan ada 10 partai politik yang lolos ambang batas parlemen atau parlementary treshold, sehingga jumlah itu lebih banyak dibandingkan Pemilu 2009.

        Misalnya hitung cepat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) hingga data yang terkumpul 99,9 persen menyebutkan PDI Perjuangan meraih 18,9 persen, Golkar 14,97 persen, Gerindra 11,96 persen, Demokrat 10,02 persen, PKB 9,07 persen, PAN 7,65 persen.

        PKS 6,9 persen, Nasdem 6,68 persen, PPP 6,32 persen, Hanura 5,13 persen sedangkan PBB 1,43 persen dan PKPI 0,99 persen dan kedua partai itu tidak lolos ambang batas parlemen.

        Hasil hitung cepat itu tentu saja mengejutkan berbagai kalangan karena beberapa parpol khususnya berbasis massa Islam diprediksi tidak lolos ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen.

        Misalnya survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia pada 6-16 Januari 2014 yang menyebutkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasional Demokrat (NasDem), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) terancam tidak lolos PT.

        Kelima partai itu diperkirakan memperoleh suara di bawah 3,5 persen, seperti PAN 3,3 persen, PKS 2,2 persen, Nasdem dua persen, PBB 0,7 persen, dan PKPI 0,5 persen.

        Hal yang perlu ditekankan pasca hitung cepat tersebut adalah bagaimana dampak berjalannya pemerintahan lima tahun kedepan dengan format 10 parpol yang ada di parlemen? Lalu apakah efektif pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia?

        Ide mengenai penyederhanaan parpol di parlemen dengan penerapan ambang batas parlemen yang tinggi sempat mengemuka menjelang pelaksanaan pemilu. Tarik- menarik kepentingan antar partai pun menguat karena berkaitan dengan eksistensi parpol masing-masing di parlemen.

        Pasal 202 ayat (1) UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5 persen suara nasional (pemilu DPR) untuk mendapatkan kursi DPR.

        Lalu angka 2,5 persen itu naik menjadi 3,5 persen yang disebutkan dalam Pasal 208 UU No 8 tahun 2012.

         Ambang batas parlemen itu sebenarnya merupakan langkah untuk penyederhanaan partai politik yang berada di parlemen tentu tujuannya untuk memperkuat sistem presidensial.

        Tentu saja proses penyederhanaan parpol itu tidak mudah, ada tantangan dari berbagai pihak misalnya partai yang berada di parlemen yang mematok angka PT itu tidak terlalu tinggi.

    
                                       Tidak mudah
        Wakil Ketua MPR yang juga Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari mengatakan dalam demokrasi penyederhanaan parpol memang tidak mudah namun harus dilakukan secara sistemik.

        Hajriyanto menilai bahwa 10 parpol yang lolos ke parlemen masih terlalu banyak dan belum kompatibel dengan sistem presidensial di Indonesia.

        "Penyederhanaan parpol harus dilakukan dengan sabar dan sistemik berdasarkan kedaulatan rakyat. Rakyatlah yg bertindak sebagai "hakim" untuk memutuskan eksistensi dan survivalitas sebuah parpol," kata Hajriyanto di Jakarta, Minggu (13/4).

        Dia menilai dengan komposisi 10 parpol itu pengambilan keputusan akan tetap kompleks kecuali terwujud koalisi yang permanen menjelang Pilpres.

        Hajriyanto optimis bila koalisi itu terwujud maka proses penguatan sistem presidensial dapat berjalan secara bertahap.

        Namun dia menegaskan jumlah parpol di parlemen tidak terkait langsung dengan stabilitas pemerintahan, hanya proses pengambilan keputusan menjadi sangat kompleks dan panjang.

    
                                 Kualitas Koalisi Harus Ditekankan
        Pasca memenangi Pemilu 2009, Partai Demokrat langsung menggalang koalisi dengan menggandeng lima partai seperti Partai Golkar, PKS, PKB, PPP, dan PAN dari total sembilan partai di parlemen.

        Langkah itu untuk mengamankan kekuatan dari tiga partai oposisi pemerintah di parlemen seperti PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.

        Strategi Demokrat itu tentu saja dilihat sebagai bentuk untuk menjaga stabilitas kebijakan di pemerintahan maupun di parlemen.

        Namun tetap saja kebijakan yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono banyak dipertanyakan parpol di parlemen terutama dari partai koalisi misalnya dalam kasus "bailout" Bank Century dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang ditentang beberapa parpol koalisi seperti PKS dan Partai Golkar.

        Kondisi itu mengisyaratkan "oversize coalition" tidak serta merta menjamin soliditas dalam menjaga kebijakan di parlemen sementara wakil partai koalisi di pemerintahan mengikuti kebijakan yang diambil presiden.

        Tentu saja langkah Demokrat itu menjadi evaluasi bagi parpol kedepan dalam upayanya mewujudkan stabilitas pemerintahannya karena jumlah partai koalisi tidak berbanding luirus dalam menciptakan stabilitas pemerintahan khususnya di parlemen.

        Pengamat politik dari Sugeng Sarjadi Syndicate, Ridho Imawan Hanafi menilai soliditas pemerintahan mendatang akan ditentukan oleh kualitas koalisi yang dibangun, bukan berdasarkan kuantitas atau banyaknya partai yang bergabung.

        "Soliditas pemerintahan ke depan tidak ditentukan secara kuantitaf anggota koalisinya, namun lebih pada kualitas anggotanya. Itu sudah terlihat pada koalisi dari hasil Pemilu 2009," katanya di Jakarta, Minggu (13/4).

        Dia mengatakan stabilitas pemerintahan akan sedikit banyak ditentukan bangunan koalisi dalam pemerintahan, apabila hal itu menghasilkan kekuatan politik yang solid maka pemerintahan diharapkan dapat bekerja dengan baik dan stabil.

        Partai-partai yang tergabung dalam koalisi di pemerintahan menurut dia, tentu akan mengawal sebaik mungkin peta perpolitikan parlemen dalam menghadapi partai oposisi.

        "Hal itu dengan catatan bahwa bangunan koalisi di pemerintahan solid," tegasnya.

        Ridho mencontohkan pada Pemilu 2009 ketika koalisi dengan melibatkan banyak partai namun pada kenyataannya tidak jarang anggota koalisi partai pendukung pemerintah tidak satu suara dengan komando koalisi.

        Hal itu menurut dia pada akhirnya yang terjadi adalah kegaduhan meskipun dalam rentang waktu yang lain mereka dapat menyelesaikan kegaduhan tersebut.

        Di sisi lain, Hajriyanto Thohari tidak terlalu mempersoalkan apakah sistem yang dijalankan adalah presidensial murni, parlementer murni, atau campuran diantara keduanya.

        "Hal penting adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi atau 'democratic injunction' dipraktekkan dalam sistem politik Indonesia," katanya.

        Keberadaan 10 parpol di parlemen tentu bukan hanya dinilai sebatas pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan namun seberapa besar keberadaanya bermanfaat dalam mengatasi permasalahan bangsa.

        Misalnya saja bagaimana menurunkan angka gini rasio Indonesia yang saat ini sudah mencapai 0,41-0,42 yang menandakan kesenjangan pendapatan di masyarakat semakin tinggi.

        Selain itu, keberadaan perwakilan partai di parlemen adalah salah satunya menjalankan proses pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

        Proses "check and balance" itu harus dijalankan tanpa ada unsur politis yaitu mencari "panggung" pencitraan di hadapan publik.

Pewarta : Oleh Imam Budilaksono
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024