Kendari, (Antara News) - Dalam menyelamatkan lingkungan dari tangan-tangan jahil pengusaha di sektor pertambangan, maka pemerintah harus tegas menerapkan Undang-Undang Minerba, kata Gubernur Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Sultra, Rusli Piabang.
"Pelarangan ekspor mineral dalam bentuk mentah yang tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2014 hingga mengakibatkan gulung tikar sejumlah perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara (Sultra), bukan melahirkan pengangguran tetapi memberi efek jera terhadap perusahaan tambang," katanya di Kendari, Kamis.
Menurut Rusli, penghentian aktivitas pertambangan di sejumlah kabupaten di Sultra bukan tujuan akhir menambah pengangguran terhadap ribuan buruh tambang, tetapi memberi efek jera terhadap perusahaan tambang yang melanggar aturan undang-undang pertambangan.
"Memang dari sisi kesejahteraan, tentu akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat," katanya.
Namun pada prinsipnya, dirinya mengingatkan seluruh perusahaan tambang yang mengantongi izin pengolahan agar mendirikan pabrik di daerah, sehingga pekerja tambang kembali pada aktivitasnya.
"Sebenarnya aturan undang-undang Minerba itu mengajarkan untuk taat pada aturan, olehnya itu jika perusahaan profesional, silahkan ikuti aturan undang-undang," ujarnya menambahkan.
Ia menambahkan, maraknya aktivitas pertambangan di bumi anoa Sulawesi Tenggara, diduga kuat adanya oknum pejabat daerah termasuk petinggi aparat hukum yang ikut terlibat, hingga memanfaatkan fasilitas milik negara atau daerah dan bahkan mengorbankan kepentingan umum.
"Jelas aturan tidak boleh menggunakan jalan negara atau jalan produksi, ternyata banyak menggunakan fasilitas negara itu hingga salah satu sekolah di Kabupaten Konawe utara tergusur karena masuk dalam areal pertambangan," katanya.
Selama diterapkan peraturan pemerintah tentang pertambangan mineral dan batu bara, gelombang aksi unjuk rasa di gedung DPRD Sultra terus bermunculan hingga terjadi pro dan kontra.
Bahkan data dari Dinas tenaga Kerja dan transmigrasi Sultra menyebutkan bahwa dengan UU Minerba tersebut sedikitnya ada 4000-an tenaga kerja yang sudah terkena pemutusan hubung kerja (PHK) dari ratusan perusahaan tambang yang beroperasi di Sultra.
"Pelarangan ekspor mineral dalam bentuk mentah yang tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2014 hingga mengakibatkan gulung tikar sejumlah perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara (Sultra), bukan melahirkan pengangguran tetapi memberi efek jera terhadap perusahaan tambang," katanya di Kendari, Kamis.
Menurut Rusli, penghentian aktivitas pertambangan di sejumlah kabupaten di Sultra bukan tujuan akhir menambah pengangguran terhadap ribuan buruh tambang, tetapi memberi efek jera terhadap perusahaan tambang yang melanggar aturan undang-undang pertambangan.
"Memang dari sisi kesejahteraan, tentu akan berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat," katanya.
Namun pada prinsipnya, dirinya mengingatkan seluruh perusahaan tambang yang mengantongi izin pengolahan agar mendirikan pabrik di daerah, sehingga pekerja tambang kembali pada aktivitasnya.
"Sebenarnya aturan undang-undang Minerba itu mengajarkan untuk taat pada aturan, olehnya itu jika perusahaan profesional, silahkan ikuti aturan undang-undang," ujarnya menambahkan.
Ia menambahkan, maraknya aktivitas pertambangan di bumi anoa Sulawesi Tenggara, diduga kuat adanya oknum pejabat daerah termasuk petinggi aparat hukum yang ikut terlibat, hingga memanfaatkan fasilitas milik negara atau daerah dan bahkan mengorbankan kepentingan umum.
"Jelas aturan tidak boleh menggunakan jalan negara atau jalan produksi, ternyata banyak menggunakan fasilitas negara itu hingga salah satu sekolah di Kabupaten Konawe utara tergusur karena masuk dalam areal pertambangan," katanya.
Selama diterapkan peraturan pemerintah tentang pertambangan mineral dan batu bara, gelombang aksi unjuk rasa di gedung DPRD Sultra terus bermunculan hingga terjadi pro dan kontra.
Bahkan data dari Dinas tenaga Kerja dan transmigrasi Sultra menyebutkan bahwa dengan UU Minerba tersebut sedikitnya ada 4000-an tenaga kerja yang sudah terkena pemutusan hubung kerja (PHK) dari ratusan perusahaan tambang yang beroperasi di Sultra.