Seorang lelaki berusia 73 tahun menunjuk ke arah sebuah pulau di sebelah barat laut Pantai Petde, Labuan Bajo, sambil berkata, "Di sana, di Pulau Bajo, ada makam orang asli Bajo."

Pria tua renta kelahiran Sape, Bima, bernama Lebu Maga itu lantas mulai bercerita tentang pulau yang awalnya dihuni oleh orang-orang Bajo dari Goa, Makassar, yang merantau mengarungi perairan Flores jauh sebelum Indonesia berdiri, dan menetap di pulau tersebut secara turun-temurun.

Dari para pelaut ulung ini lah  nama Labuan Bajo yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Manggarai Barat berasal. Daerah pesisir yang sepi berangsur-angsur ramai oleh pendatang dan semakin ramai oleh wisatawan domestik dan asing berkat keberadaan komodo di Taman Nasional Komodo.

Pulau Bajo memiliki luas sekitar 73,49 hektare (ha) dan hanya berjarak 200 meter dari daratan Flores, hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan perahu kayu untuk dijangkau. Dan, di tempat itulah penggawa orang-orang Bajo dan keturunannya dimakamkan.

Lebu memang bukan orang Bajo, melainkan menikahi wanita Bajo dan akhirnya menetap di Labuhan Bajo, Manggarai Barat hingga sekarang.

"Saya dari Sape, tetapi istri (Ari Kemiri) orang asli Bajo," kata Lebu sambil tersenyum.  

Lebu mengatakan bahwa orang-orang asli Bajo sudah tidak begitu banyak di sana karena banyak dari mereka telah berbaur menikah dengan suku-suku lain yang juga datang ke daerah pesisir tersebut.

Lebu lantas menengok ke arah sebuah pohon ketapang yang hanya berjarak 20 meter dari bibir Pantai Petde, tidak begitu jauh dari tembok La Prima Hotel di Kelurahan Gorontalo, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo. Tampak beberapa kuburan dengan berbagai jenis batu nisan tepat di bawah pohon ketapang.

"Di sana dikubur bukan semata (orang) Bajo, campur, campurnya (dari) Bugis, Sape. Akan tetapi, kalau (kuburan) hanya orang Bajo, ada di Pulau Bajo," ujar dia.

         
                          Sapaan Lolo
Lebu Maga lantas mengatakan bahwa masyarakat Labuan Bajo punya sapaan khusus bagi orang asli Bajo. Mereka menambahkan kata Lolo di depan nama orang-orang asli Bajo.

"Yang asli (orang) Bajo itu yang dipanggil Lolo. Pak Kepala Desa Gorontalo kita panggil Lolo, dia asli (orang) Bajo," ujar Lebu.

Sebuah bentuk penghormatan bagi masyarakat setempat kepada suku Bajo yang memang menjadi cikal bakal keberadaan Labuan Bajo. Dan, sapaan itu diperuntukkan bagi kaum adam dari suku Bajo.

"Ada Haji Nazar, Bajo, Syamsul, itu Pak Kepala Desa panggil mereka (juga) Lolo karena memang asli Bajo," lanjutnya.

Mereka, menurut Lebu, tetap mencari ikan sebagai nelayan meski telah tersentuh modernisasi dengan perahu bermotor.

"Mereka tetap cari ikan, tetapi pakai mesin. Kalau saya, pakai layar dan pakai dayung," ujar Lebu sambil kembali tersenyum lebar.

Sisa-sisa cerita tentang suku Bajo sebagai pelaut ulung masih tetap ada di tengah masyarakat Labuan Bajo. Mereka tidak sepenuhnya meninggalkan laut, sebagian mereka tetap menggantungkan hidup dengan laut sebagai nelayan.

Keberadaan mereka pun disegani di tengah masyarakat mengingat dari mereka lah perkampungan nelayan kecil di pesisir barat Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini kini makin ramai.

Salah seorang sesepuh suku Bajo yang tetap eksis adalah Lolo Baco. Meski tidak lagi melaut, dia justru membuka sebuah sanggar pencak silat yang diberi nama Sanggar Lolo Baco.

Samsul (13) bersama rekannya Ardin (14) dan Solim (14) hanyalah beberapa dari ratusan murid dari Sanggar Lolo Baco. Samsul mengaku sudah dua tahun ikut berlatih pencak silat di sanggar tersebut.

Lolo Baco, menurut Samsul, tidak hanya mengajar pencak silat anak-anak dan remaja saja, tetapi juga orang-orang dewasa dengan kisaran umur 20--30 tahun. Meski sudah berumur, menurut Samsul, masih kuat melatih sendiri seluruh muridnya.

Lolo Baco tidak hanya mengajarkan anak-anak bela diri tiga kali dalam seminggu. Karena menurut Samsul, Lolo juga mengajar berenang anak-anak di Desa Gorontalo.

"Lolo masih kuat berenang. Biasanya empat kali berenang sampai ke pelampung merah itu," ujar Samsul sambil menunjuk pelampung berwarna merah yang jaraknya sekitar 25 meter dari bibir pantai.     

Orang-orang bajo terkenal sebagai pengembara laut. Kehidupan mereka tidak pernah lepas dari laut, dan gambaran sosok seorang Bajo pun tetap tampak pada Lolo Baco yang pada usia tidak berbeda jauh dengan Lebu Maga (73) masih mampu menaklukkan laut.

Pewarta : Oleh Virna P. Setyorini
Editor :
Copyright © ANTARA 2024