Ambon,   (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi ( Kejati) Maluku telah melaporkan dugaan penyimpangan Uang Untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) di Sekretariat Daerah setempat tahun 2006 senilai Rp15 miliar ke KPK untuk ditangani proses hukumnya.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku, Efenddy Harahap, di Ambon, Kamis, mengatakan, kasus tersebut dilaporkan ke KPK karena kurang seriusnya Pemprov Maluku maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan setempat dalam mendukung proses penegakan hukum itu.

"Jadi kasusnya dilaporkan ke KPK bersamaan dengan BPKP perwakilan Maluku yang sengaja mengulur waktu perhitungan kerugian negara telah diminta setahun lebih," ujarnya.

Efenddy mengisyaratkan Pemprov Maluku maupun BPKP perwakilan setempat mengulur waktu itu karena dugaan keterlibatan Mardin Simanjuntak yang pada 8 Oktober 2011 dilantik Gubernur setempat, Karel Albert Ralahalu menjadi Kepala Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dari sebelumnya Kepala Inspektorat Maluku.

Apalagi Marlen ini sebelumnya adalah staf di BPK perwakilan Maluku.

"Saya mengindikasikan adanya pemainan bersangkutan karena saat dikoordinasikan ke BPKP beralasan belum menerima data dari Inspektorat Maluku sehingga perhitungan kerugian negara dari dugaan penyimpangan UUDP hingga saat ini belum diterima Kejati Maluku," tandas Efenddy.

Dia berharap KPK setelah menerima laporan tersebut sesegera mungkin menindaklanjutinya karena dugaan kasus tersebut diindikasikan melibatkan sejumlah pejabat maupun pimpinan DPRD Maluku.

"KPK memiliki kewenangan untuk menangani dugaan penyimpangan tersebut karena Kejati Maluku memandang perlu melaporkannya agar tidak berbelit - belit dalam penegakan hukum," kata Efenddy.

Pada kesempatan lain, Pelaksana harian (Plh) Kajari Ambon, Syaiful Anwar, mengatakan, pihaknya menunggu hasil audit dari BPKP perwakilan Maluku yang dimintakan untuk  menghitung kerugian negara tersebut.

"Kok permintaan sudah setahun lebih belum ada tanggapan dari perhitungan nilai kerugian negara terhadap dugaan penyimpangan UUDP,"  ujarnya.

Syaiful Anwar  memastikan hasil audit BPKP perwakilan Maluku yang menentukan perkaranya dilanjutkan atau bagaimana.

Begitu pun soal pemeriksaan mereka yang telah diindikasikan menjadi tersangka berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi maupun penyitaan dokumen di kantor Gubernur Maluku pada 7 Oktober 2011, menyusul 2009.

"Jujur kejaksaan tidak bisa menghitung kemungkinan terjadi kerugian negara karena mekanismenya rumit dan berbelit - belit mengingatkan UUDP ini terkait dengan pejabat di Pemprov Maluku maupun DPRD setempat periode 2004 - 2009," tegas Syarif.  

Sebagaimana diketahui pada pemeriksaan Juni 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Maluku telah menemukan dugaan penyimpangan UUDP pada Sekretariat Daerah Maluku Tahun 2006 senilai Rp15 miliar lebih.

Dana tersebut bermasalah, karena seharusnya dana itu dikembalikan ke kas daerah, namun ternyata dibagikan ke 18 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemprov Maluku, termasuk DPRD Maluku.

Dari jumlah uang yang harus dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp15,98 miliar Itu, ternyata Rp4,57 miliar masih berada di dalam saldo kas rekening Setda Maluku pada PT. Bank Maluku dengan nomor rekeningnya 0101000700.

Sementara Rp11,40 miliar masih berada di 18 SKPD, termasuk di dalamnya DPRD Maluku yang dipolemikkan sebagai dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) bagi pimpinan dan anggota DPRD Maluku dan Dana Operasional (DO) khusus bagi pimpinan DPRD. (Ant)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024