Kendari (ANTARA News) - Para Petani kakao di Sulawesi Tenggara (Sultra), saat ini mengeluhkan harga kakao fermentasi yang dinilai masih rendah, jauh dari harapan petani.
Petani kakao dari Kolaka, Ramli, di Kendari, Kamis, mengatakan, selisih harga kakao fermentasi dan kakao non fermentasi hanya berkisar Rp2000 per kilogram.
"Kalau harga kakao non fermentasi sekitar Rp21 ribu, maka harga kakao fermentasi yang ada di tempat kami hanya sekitar Rp23 ribu per kilogram," katanya.
Menurutnya, selisih harga yang hanya Rp2000 itu, membuat petani malas melakukan fermentasi kakao, karena untuk melakukan fermentasi kakao butuh perlakuan khusus selama empat hari.
"Setelah dilakukan fermentasi empat hari, bobot kakao kami ini menjadi berkurang, tetapi harga yang ada tidak jauh berbeda dengan non fermentasi," katanya.
Sunandar, petani kakao asal Kabupaten Konawe, juga mengatakan hal yang sama, bahwa selisih harga kakao fermentasi dan non fermentasi di daerahnya juga hanya selisih Rp2000.
"Hal ini berbeda apa yang selalu disampaikan oleh pemerintah setempat bahwa dengan melakukan fermentasi, maka petani bisa memperoleh keuntungan Rp4000 dari harga non fermentasi. Tetapi buktinya hanya Rp2000 selisihnya," katanya.
Untuk itu, ia berharap ada perusahaan besar dari luar Sultra yang mau bermitra dengan seluruh petani kakao di Sultra untuk menetapkan harga yang standar yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.
"Kalau harga kakao fermentasi ini bisa menunjukkan selisih signifikan , maka kita bisa membantu pemerintah mengarahkan dan mendorong teman-teman petani untuk melakukan fermentasi terhadap biji kakaonya," ujarnya.
Kala hal itu tidak segera dipikirkan oleh pemerintah, kata dia, maka masyarakat tidak akan tertarik dengan program kakao fermentasi, dan lebih senang menjual kakaonya dalam bentuk biji gelondongan tanpa fermentasi pada pengumpul biasa. (Ant).
Petani kakao dari Kolaka, Ramli, di Kendari, Kamis, mengatakan, selisih harga kakao fermentasi dan kakao non fermentasi hanya berkisar Rp2000 per kilogram.
"Kalau harga kakao non fermentasi sekitar Rp21 ribu, maka harga kakao fermentasi yang ada di tempat kami hanya sekitar Rp23 ribu per kilogram," katanya.
Menurutnya, selisih harga yang hanya Rp2000 itu, membuat petani malas melakukan fermentasi kakao, karena untuk melakukan fermentasi kakao butuh perlakuan khusus selama empat hari.
"Setelah dilakukan fermentasi empat hari, bobot kakao kami ini menjadi berkurang, tetapi harga yang ada tidak jauh berbeda dengan non fermentasi," katanya.
Sunandar, petani kakao asal Kabupaten Konawe, juga mengatakan hal yang sama, bahwa selisih harga kakao fermentasi dan non fermentasi di daerahnya juga hanya selisih Rp2000.
"Hal ini berbeda apa yang selalu disampaikan oleh pemerintah setempat bahwa dengan melakukan fermentasi, maka petani bisa memperoleh keuntungan Rp4000 dari harga non fermentasi. Tetapi buktinya hanya Rp2000 selisihnya," katanya.
Untuk itu, ia berharap ada perusahaan besar dari luar Sultra yang mau bermitra dengan seluruh petani kakao di Sultra untuk menetapkan harga yang standar yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.
"Kalau harga kakao fermentasi ini bisa menunjukkan selisih signifikan , maka kita bisa membantu pemerintah mengarahkan dan mendorong teman-teman petani untuk melakukan fermentasi terhadap biji kakaonya," ujarnya.
Kala hal itu tidak segera dipikirkan oleh pemerintah, kata dia, maka masyarakat tidak akan tertarik dengan program kakao fermentasi, dan lebih senang menjual kakaonya dalam bentuk biji gelondongan tanpa fermentasi pada pengumpul biasa. (Ant).