Jakarta (ANTARA) - Kabar duka kembali menyelimuti sepak bola Indonesia. Laga derbi Jawa Timur yang mempertemukan Arema FC vs Persebaya berakhir dengan tragedi memilukan.
Sampai tulisan ini dibuat, tercatat sebanyak 130 orang yang terdiri atas 128 suporter Arema dan dua personel dari kepolisian meninggal dunia. Sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang ini juga turut menyita perhatian berbagai media internasional. The Guardian, misalnya, mewartakan peristiwa ini dengan judul "More than 120 people reportedly killed in riot at Indonesian football match".
Sementara Daily Star menyoroti peristiwa ini dengan menuliskan laga derbi dengan judul "Over 100 football fans and two police officer have died after a riot reportedly broke out following a derby match between Arema FC and Persebaya Surabaya in Indonesia".
Sorotan media internasional terhadap tragedi Kanjuruhan jelas sangat beralasan. Karena tragedi ini tercatat menempati peringkat kedua di dunia dalam hal jumlah korban yang meninggal akibat kerusuhan yang berlangsung di stadion.
Sebelumnya kita sering mendengar berbagai tragedi kerusuhan di stadion yang menyebabkan banyak korban jiwa. Salah satu yang populer ialah tragedi Heysel yang menewaskan 39 orang dalam laga Final Liga Champions antara Liverpool dan Juventus pada tahun 1985.
Akibat peristiwa tersebut menyebabkan banyak klub Inggris yang dilarang tampil di seluruh kompetisi Eropa selama lima musim.
Tragedi Heysel begitu disoroti dunia mengingat dari aspek level kompetisi dan statusnya sebagai laga final yang dianggap sakral. Padahal dari aspek jumlah korban sebenarnya tragedi Heysel bahkan tidak menempati peringkat 10 besar dunia.
Jumlah korbannya tidak setara dengan jumlah korban yang meninggal akibat kerusuhan yang pernah terjadi di stadion lain, misalnya, di Peru, Ghana, Nepal, dan Argentina yang di antaranya mencapai ratusan jiwa.
Adapun peringkat tertinggi dipegang oleh tragedi di Estadio Nacional di Peru ketika pertandingan Peru vs Argentina pada 24 Mei tahun 1964 yang menewaskan 328 orang.
Banyaknya korban meninggal menempatkan insiden di Kanjuruhan masuk urutan kedua dalam 10 besar tragedi kerusuhan di stadion yang menelan korban jiwa terbesar. Adapun rincian sebagai berikut:
1. Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru, 328 orang tewas (24 Mei 1964)
2. Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Indonesia, 130 orang tewas (1 Oktober 2022)
3. Accra Sports Stadium Disaster, Accra, Ghana, 126 orang tewas (9 Mei 2001)
4. Hillsborough Disaster, Sheffield, Inggris, 96 orang tewas (15 April 1989)
5. Kathmandu Hailstorm Disaster, Kathmandu, Nepal, 93 orang tewas (12 Maret 1988)
6. Mateo Flores National Disaster, Guatemala City, Guatemala, 80 orang tewas (16 Oktober 1996)
7. Port Said Staduim Riot, Port Said, Mesir, 70 orang tewas (1 Februari 2012)
8. Puerta 12 Estadion Monumental, Buenos Aires, Argentina, 71 orang tewas (23 Juni 1968).
9. Second Ibrox Stadium Disaster; Galsgow Skotlandia, 66 orang tewas (1971)
10. Luzhiniki disaster; Lenin Stadium Moscow Rusia, 66 orang tewas (20 Oktober 1982).
Secara keseluruhan data mengenai jumlah korban jiwa terbesar dalam kerusuhan di stadion di seluruh dunia tercatat sebanyak 20 kejadian lebih.
Mayoritas dari kejadian itu berlangsung ketika stadion diisi oleh dua kubu suporter dari tim yang tengah berlaga. Sementara dalam kasus di Kanjuruhan, hanya terdapat suporter dari tim tuan rumah.
Kekecewaan terhadap hasil akhir diyakini menjadi salah satu sebab terbesar yang mendorong terjadinya kericuhan di dalam stadion.
Terlebih terdapat fakta yang dianggap menyakitkan oleh Aremania mengingat selama 23 tahun lamanya Arema tidak pernah kalah di kandang ketika menghadapi Persebaya. Rekor apik tersebut kemudian sirna tatkala Persebaya berhasil menaklukkan Arema.
Selain kekecewaan, kericuhan ini juga tampaknya disebabkan oleh berbagai akumulasi ketidakdisiplinan suporter di Indonesia secara umum.
Mereka tidak melihat rambu-rambu sportivitas sebagai batas yang nyata yang seharusnya dipegang teguh. Aroma rivalitas membuat banyak suporter klub-klub di Indonesia kerap gelap mata.
Rivalitas di luar batas
Rivalitas dalam sepak bola adalah hal biasa. Bahkan banyak klub besar di Eropa sebagai parameter sepak bola dunia juga memiliki tradisi rivalitas yang besar dan mengakar.
Contoh itu bisa kita lihat dari rivalitas antara Real Madrid dan Barcelona. Atau antara tim sekota Milan yakni Inter Milan dan AC Milan.
Akan tetapi rivalitas tersebut tidak sedalam dan sebrutal rivalitas klub-klub yang berlaga di liga Indonesia.
Kita dapat menyaksikan ketegangan yang terjadi akibat rivalitas antarklub di liga Indonesia selanjutnya berujung pada larangan suporter tim tamu untuk datang ke stadion.
Misalnya, ketika Persija menjamu Persib di Jakarta, maka praktis tidak akan ada suporter dari Persib yang di izinkan untuk datang ke stadion. Demikian pula sebaliknya.
Pemandangan ini tentu tidak akan ditemukan di liga-liga Eropa. Pendukung AC Milan tetap bisa datang dalam pertandingan tandang (away) ketika berjumpa dengan Inter Milan. Pendukung Schalke 04 tetap bisa bersorak dalam Revierderby di Stadion Signal Iduna Park di Dortmund.
Artinya, rivalitas itu hanya terjadi di atas lapangan dan di dalam stadion.
Di luar itu rivalitas memang masih ada tetapi persaingan tersebut masih dalam batas yang wajar sehingga tidak sampai menimbulkan tindakan brutal. Hal itu terlihat sekurang-kurangnya selama 2 dekade terakhir ini.
Sementara di Indonesia, rivalitas meluas keluar stadion. Bahkan nampaknya rivalitas di luar stadion menjadi terlalu dominan sehingga dalam banyak situasi mengarah pada tindakan di luar batas yang wajar. Terhitung sejak tahun 1990-an, kasus kekerasan dalam sepak bola Indonesia yang berujung luka berat dan menelan korban jiwa tercatat sebanyak 48 kejadian.
Jumlah tersebut tentu menjadi jumlah yang terbilang tinggi di kawasan Asia Tenggara bahkan Asia.
Sanksi dan penyadaran kolektif
Kenyataan pahit terkait tragedi di Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari seratus orang ini merupakan catatan hitam sepak bola di Tanah Air ketika upaya untuk berbenah dan meningkatkan prestasi gencar dilakukan oleh PSSI.
Hal ini juga penting untuk dilihat sebagai peringatan tentang perlunya membenahi sepak bola Indonesia dari banyak sisi termasuk yang menjangkau urusan suporter.
Sebanyak 48 kejadian kekerasan selama kurun waktu 3 dekade yang menimpa sepak bola nasional adalah terlalu banyak untuk didiamkan dengan sanksi yang terbatas.
PSSI harus berani untuk mengambil tindakan tegas dan nyata yang dapat menimbulkan efek jera. Tindakan tersebut, antara lain, dengan menghentikan sama sekali kompetisi selama bertahun-tahun.
Atau melarang seluruh suporter untuk datang ke stadion bermusim-musim lamanya. Sebab denda terhadap klub atau sanksi administratif saja tidaklah cukup bila dibandingkan dengan kegetiran akibat melayangnya banyak nyawa.
Kita ingin menyaksikan liga Indonesia dihiasi pemandangan yang penuh dengan keakraban dan menjunjung sportivitas satu sama lain.
Kita tidak ingin lagi mendengar peristiwa memilukan di dunia sepak bola nasional yang selama ini lebih terlihat seperti medan perang yang menagih korban jiwa ketimbang sebagai olahraga yang menyenangkan dan mempersatukan.
Di lain hal, kita juga harus menyadari bahwa upaya untuk mengakhiri rentetan catatan buruk tindakan suporter di Tanah Air adalah tugas mahapenting yang harus ditanggung tidak hanya oleh PSSI, tetapi juga semua pihak.
Pemerintah, tokoh masyarakat, maupun peran vital keluarga sebagai unit terkecil, diharapkan mampu memberikan edukasi.
Oleh karena sepak bola hanyalah olah raga biasa yang tidak akan pernah sebanding dengan nyawa manusia, maka penyadaran kolektif perlu dilakukan berbagai pihak agar tragedi pilu tidak lagi terulang, apa pun alasannya.
*) Hasan Sadeli adalah Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) dan pecinta sepakbola Indonesia
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menelisik jejak historis kerusuhan suporter sepak bola