Makassar (ANTARA) - Proses eksekusi rumah adat Toraja berupa Tongkonan Ka'pun di Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 5 Desember 2025, masih menyisakan kepedihan bagi masyarakat terutama yang peduli pada kelestarian adat dan sejarah.
Bagaimana tidak, kawasan rumah adat yang dipercaya berusia sekitar tiga ratus tahun itu rata dengan tanah setelah pihak Pengadilan Negeri Makale memutuskan untuk mengesekusi Tongkonan berikut alang (lumbung padi) karena sengketa dimenangkan oleh pihak penggugat.
Sengketa tanah yang sebenarnya masih melibatkan keluarga besar itu tak terelakkan setelah masing-masing pihak mengklaim tanah dan bangunan itu miliknya berdasarkan sejarah dan kisah mereka.
Sementara itu, berdasarkan tesis Dr Sulastriyono SH MSi seorang mahasiswa S2 Kenotariatan Universitas Gajah Mada (UGM) yang berjudul "Sengketa Pewarisan Tanah Tongkonan Kering di Tana Toraja (Studi Penyelesaian Sengketa Mwnurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 3264/PDT/90)" menunjukkan penyelesaian sengketa tanah tongkonan berdasarkan putusan Mahkamah Agung tidak sesuai dengan sistem pewarisan adat di Tana Toraja.
Ketentuan anak angkat tidak berhak atas tanah tongkonan, menyatakan bahwa peralihan tanah tongkonan kering didasarkan pada kedudukan waris. Alasan dari para pihak menguasai tanah tongkonan kering secara pribadi karena kedua belah pihak merasa mereka adalah keturunan dari warga tongkonan yang berhak untuk menguasai tanah tongkonan.
Kedua belah pihak merupakan warga Tongkonan Tanete yang berhak atas tanah sengketa. Para tergugat sebagai anak angkat berhak untuk menguasai tanah tongkonan kering karena mereka telah melakukan kewajiban-kewajiban terhadap orang tua angkatnya.
Dalam tesis itu disebutkan tanah tongkonan adalah hak bersama yang dikuasai oleh masyarakat adat Tana Toraja, dimana semua warga tongkonan memiliki atau mempunyai hak yang sama terhadap tanah tersebut berdasarkan suatu pertalian keturunan. Tidak terbaginya kepemilikan tanah tongkonan karena merupakan simbol persatuan keluarga.
Namun, sengketa Tongkonan Ka'pun yang dimulai sejak tahun 1980-an itu tidak berhasil menemukan jalan damai. Pihak Pengadilan Negeri Makale di Kabupaten Tana Toraja beberapa kali melakukan mediasi. Bahkan Bupati pun turut turun gunung mendamaikan para pihak yang bersengketa, tapi berakhir buntu. Akhirnya, tongkonan dirobohkan. Jika ditelisik, tak ada pihak yang menang ataupun kalah. Tongkonan sebagai jati diri adat Toraja musnah.
Sebenarnya kasus sengketa berujung eksekusi tongkonan sudah terjadi beberapa kali di wilayah Toraja, baik itu di Kabupaten Tana Toraja maupun di Kabupaten Toraja Utara.
Berdasarkan penuturan warga setempat, sengketa lahan dan tongkonan disebabkan beberapa hal antara lain keturunan anak angkat yang dibesarkan pemilik tongkonan mengklaim memiliki tanah dan bangunan itu di kemudian hari. Selanjutnya, adanya pemilik tongkonan yang memiliki istri kedua yang kemudian akan menuai permasalahan pada ratusan tahun selanjutnya terkait hak waris.
Selain itu, pada ratusan tahun lalu, para bangsawan atau orang kaya di Toraja yang masih mengenal kasta meminta budak atau pekerja untuk menjaga lahan atau tongkonan ketika bangsawan itu bepergian ke daerah lain. Para pekerja itu diberikan lahan di belakang tongkonan untuk mendirikan rumah sembari menjaga tongkonan. Lambat laun, setelah belasan atau puluhan tahun sang pemilik tongkonan tidak atau belum pulang, penjaga yang dipercaya tadi justru memperluas bangunan bahkan membuat tongkonan baru dan berketurunan di lokasi itu.
Setelah melalui beberapa generasi, masalah timbul di era sekarang. Para keluarga, terutama pemilik lahan ingin mensertipikatkan lahan dan bangunannya, ternyata mendapat perlawanan dari para keturunan dari anak angkat, keturunan dari istri yang dianggap tidak sah, atau keturunan para pekerja yang sudah beranak pinak hingga berakhir di meja hijau.
Tongkonan yang merupakan simbol budaya dan sejarah yang tinggi akhirnya menjadi korban. Bangunan yang dianggap sakral itu musnah akibat kebekuan hati dan ego masing-masing keluarga.
Tindakan pemerintah
Berbagai kejadian eksekusi tongkonan di Toraja sebenarnya sangat disayangkan berbagai pihak mengingat sejarah bangunan dan nilai budayanya. Pemerintah melalui Pengadilan Negeri maupun kepala daerah juga beberapa kali melakukan mediasi agar eksekusi tidak terjadi.
Belum lama ini, Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan Restu Gunawan mengatakan pemerintah menghormati proses hukum terkait peristiwa eksekusi Tongkonan Ka’pun di Kabupaten Tana Toraja.
Peristiwa ini dianggap isu penting yang menyangkut keberlanjutan warisan budaya Toraja. Eksekusi tongkonan tidak hanya berdampak pada bangunan fisik, tetapi juga pada nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat adat.
“Peristiwa ini bukan sekadar sengketa lahan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan warisan budaya Toraja yang memiliki nilai sejarah, arsitektur, dan identitas sosial masyarakatnya. Negara wajib hadir memastikan bahwa proses hukum tidak berdampak pada hilangnya nilai tradisi,” ujar Restu.
Eksekusi Tongkonan Ka'pun ini merupakan tindak lanjut dari proses sengketa lahan yang telah berlangsung sejak 1986 antara keluarga Sarra dan keluarga Roreng.
Objek sengketa lahan meliputi satu bangunan tongkonan yang sudah berusia ratusan tahun, dua bangunan tongkonan baru, enam bangunan lumbung padi, serta dua rumah semi permanen.
Hasil penelusuran awal menunjukkan bahwa Tongkonan Ka’pun yang dibongkar tidak memiliki fungsi adat.
Selain itu, Tongkonan Ka’pun belum berstatus cagar budaya, meskipun pernah didata sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) tingkat kabupaten tahun 2017.
Temuan ini menjadi pengingat perlunya pemutakhiran data dan identifikasi menyeluruh terhadap pemukiman tradisional Toraja, kompleksitas kepemilikan tanah, dan pola permukiman adat yang tersebar.
Penguatan pelindungan budaya harus mencakup aspek regulasi, kelembagaan adat, tata ruang wilayah, dan mekanisme penetapan cagar budaya.
Sebagai langkah tindak lanjut, Kementerian Kebudayaan akan memperkuat pemetaan kawasan pemukiman tradisional Toraja melalui kerja sama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Sulawesi Selatan, pemerintah daerah, akademisi, BRIN, dan lembaga adat setempat.
Selain itu, pemerintah akan mendorong penyempurnaan kebijakan pelestarian kebudayaan di tingkat daerah guna memastikan rumah adat dan sistem budaya terlindungi dalam perencanaan pembangunan.
Eksekusi tongkonan ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua. Jangan sampai tongkonan bersejarah ini habis. Tak hanya warga Toraja, masyarakat Indonesia dan dunia masih ingin melihat secara langsung tongkonan yang masih asli berusia ratusan tahun, tak hanya melalui video, gambar atau hanya cerita dari mulut ke mulut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jangan robohkan tongkonan kami