Jakarta (ANTARA) - Indonesia adalah negeri yang tak pernah kekurangan karya besar di bidang riset pertanian. Varietas unggul hasil penelitian anak bangsa terus bermunculan, menjadi bukti bahwa potensi sains dan teknologi di negara ini mampu bersaing di kancah internasional.

Padi yang tahan kekeringan, jagung dengan produktivitas tinggi, hingga kedelai yang cocok untuk lahan marginal, semuanya hadir dengan klaim yang menjanjikan.

Namun, optimisme ini sering terhenti di batas laboratorium. Di lapangan, petani mendapati hasil yang jauh dari janji. Masalahnya terletak pada sesuatu yang mendasar yakni kondisi tanah yang buruk, letih, bahkan nyaris kehilangan daya hidupnya.

Realitas ini mengingatkan semua bahwa pertanian bukan hanya soal teknologi benih. Tanah, elemen yang sering terabaikan dalam diskursus pertanian modern, sesungguhnya menjadi kunci yang menentukan keberhasilan.

Sebagai media tumbuh, tanah di Indonesia telah mengalami tekanan berat selama bertahun-tahun. Alih fungsi lahan, penggunaan pupuk kimia berlebihan, dan praktik pengelolaan yang kurang berkelanjutan telah merusak keseimbangannya.

Apa yang tersisa adalah tanah yang miskin unsur hara, dengan struktur yang rapuh dan tingkat kemasaman yang semakin meningkat.

Di sinilah tantangan besar muncul. Varietas unggul dirancang untuk memberikan hasil maksimal dalam kondisi optimal, tetapi kenyataan di lapangan sering kali jauh dari itu.

Petani kecil di pelosok negeri menghadapi situasi yang tidak ideal, yakni tanah yang sudah terlalu lama dieksploitasi tanpa diberi kesempatan untuk pulih.

Dalam kondisi ini, bahkan benih terbaik pun tidak mampu menunjukkan potensinya. Ini seperti memberikan mesin canggih kepada seseorang tanpa memberinya bahan bakar yang tepat.

Namun, alih-alih mencari siapa yang salah, yang diperlukan saat ini adalah langkah konkret untuk memulihkan fondasi pertanian yaitu tanah itu sendiri.

Tanah bukan hanya kumpulan pasir, liat, dan bahan organik namun ia adalah ekosistem kompleks yang hidup.

Kehidupan mikroba di dalam tanah memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman, tetapi kehidupan ini kini terancam oleh praktik-praktik yang kurang berkelanjutan.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengembalikan tanah ke kondisi sehatnya. Ini berarti menghentikan ketergantungan berlebihan pada pupuk anorganik dan mulai beralih pada pendekatan yang lebih berkelanjutan.

Penggunaan pupuk organik, pengembalian bahan organik ke dalam tanah, dan penerapan teknologi pupuk hayati dapat menjadi solusi awal yang efektif. Dengan kata lain pupuk anorganik wajib dikombinasikan dengan pupuk organik.

Selain itu, program edukasi yang melibatkan petani sebagai aktor utama sangat diperlukan. Petani perlu diberdayakan untuk memahami bahwa tanah adalah investasi jangka panjang yang harus dijaga, bukan sekadar media sementara untuk menanam.

Contoh-contoh kecil dari keberhasilan ini sebenarnya sudah ada di Indonesia. Di beberapa daerah, komunitas tani mulai mengadopsi teknik seperti pembuatan kompos dari limbah organik, penggunaan biochar untuk meningkatkan kualitas tanah, dan rotasi tanaman untuk menjaga keseimbangan unsur hara.

Di Jambi, misalnya, upaya memperbaiki lahan gambut dengan biochar telah memberikan hasil yang menjanjikan.

Bahkan Mahasiswa Universitas Jambi (Unja) misalnya turut menginisiasi dan mengajarkan masyarakat di Desa Senaning, Pemayung, Batanghari, untuk mengolah limbah sekam padi menjadi biochar atau arang hayati agar dapat digunakan untuk mengembalikan kesuburan tanah sekaligus memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Sementara di Jawa Barat, beberapa kelompok tani telah berhasil meningkatkan hasil panen dengan memanfaatkan pupuk hayati berbasis mikroba lokal.


Prioritas Nasional

Meski hasilnya belum menyentuh skala besar, kisah-kisah keberhasilan pemulihan tanah di sejumlah daerah menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin dilakukan.

Namun, upaya itu tidak boleh hanya menjadi inisiatif sporadis. Pemerintah perlu mengambil peran lebih besar dalam memastikan program perbaikan tanah menjadi prioritas nasional.

Alih-alih terus mengandalkan subsidi pupuk anorganik yang efeknya cenderung jangka pendek, fokus anggaran dapat diarahkan pada riset dan implementasi pengelolaan tanah yang berkelanjutan.

Selain itu, kerja sama lintas sektor, antara akademisi, pemerintah, dan swasta perlu digalakkan untuk mendukung inovasi yang langsung dapat diterapkan oleh petani.

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah membangun sistem insentif bagi petani yang menerapkan praktik ramah lingkungan.

Misalnya, dengan memberikan penghargaan bagi mereka yang menjaga kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan bahan kimia sintetis, pemerintah dapat mendorong perubahan perilaku secara kolektif.

Langkah ini tidak hanya bermanfaat bagi petani itu sendiri, tetapi juga bagi ekosistem pertanian nasional.

Indonesia memiliki semua yang diperlukan untuk menjadi kekuatan besar dalam bidang pertanian di antaranya iklim yang mendukung, biodiversitas yang melimpah, dan sumber daya manusia yang kreatif.

Namun, mimpi besar ini hanya akan terwujud jika semua berani mengakui bahwa fondasi pertanian di Indonesia yakni tanah sedang tidak baik-baik saja.

Varietas unggul yang luar biasa tidak akan pernah mencapai potensinya jika tanah yang menjadi tempat hidupnya tidak sehat.

Pertanian adalah soal keseimbangan. Ia tidak bisa hanya mengandalkan teknologi, tetapi harus mengintegrasikan pendekatan yang memperhatikan keberlanjutan.

Bangsa ini membutuhkan pertanian yang tidak hanya produktif tetapi juga selaras dengan alam. Dengan memulihkan tanah, negeri ini tidak hanya menyelamatkan hasil panen, tetapi juga menjaga masa depan generasi mendatang.

Saat ini adalah waktu untuk bertindak. Mari semua bersama-sama memperbaiki apa yang telah rusak, menanam harapan baru di tanah yang lebih sehat.

Karena di sanalah, dalam butiran-butiran tanah yang kecil, masa depan pertanian Indonesia ditentukan.


*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pulihnya tanah yang letih untuk varietas unggul yang inovatif

Pewarta : Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc.*)
Editor : Abdul Azis Senong
Copyright © ANTARA 2025