Jenewa (ANTARA) - Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Palestina Francesca Albanese menegaskan bahwa klaim adanya pemimpin negara yang bisa "kebal" terhadap perintah penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah tak berdasar sama sekali.
Hal tersebut disampaikan Albanese pada Kamis (28/11) untuk menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot bahwa sejumlah pemimpin negara, dalam hal ini kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan pejabat pertahanannya Yoav Gallant, "bisa memiliki kekebalan" di bawah Statuta Roma.
Argumen tersebut, kata Albanese, "tidak berdasar karena isu tersebut telah dijawab oleh Mahkamah dalam kasus Omar Al-Bashir yang lalu".
Omar Al-Bashir adalah mantan pemimpin Sudan yang didakwa oleh ICC pada tahun 2009 dan 2010 atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap rakyat sipil di daerah Darfur.
"Argumen akan adanya kekebalan negara tertentu tidak sah. Mahkamah sendiri yang menegaskannya," kata pelapor khusus PBB itu.
Ia mengingatkan bahwa upaya menghalang-halangi penegakan surat perintah penangkapan ICC adalah pelanggaran Pasal 77 Statuta Roma.
"Perintangan terhadap upaya pelaksanaan peradilan sendirinya adalah sebuah tindak kriminal," ucap Albanese.
Albanese juga menyebut perbedaan respons Prancis antara perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2023 dengan perintah yang sama kepada Netanyahu dan Gallant sebagai "standar ganda".
Pekan lalu, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina.
Israel sendiri saat ini juga menghadapi gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) atas agresinya ke Jalur Gaza yang tidak kunjung berhenti.
Sementara itu, bertolak belakang dari pernyataan Menlu Barrot, Kementerian Luar Negeri Prancis menegaskan komitmennya mematuhi kewajiban sesuai dengan Statuta Roma.
"Prancis akan menghargai kewajiban internasionalnya dan memahami bahwa Statuta Roma menuntut kepatuhan penuh terhadap Mahkamah Pidana Internasional," demikian pernyataan Kemlu Prancis.
Kemlu Prancis juga menegaskan bahwa suatu negara "tak bisa dituntut untuk bertindak dengan cara-cara yang bertolak belakang terhadap kewajibannya terhadap hukum internasional" terkait kekebalan negara-negara yang bukan merupakan pihak terhadap ICC.
Sumber: Anadolu
Hal tersebut disampaikan Albanese pada Kamis (28/11) untuk menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot bahwa sejumlah pemimpin negara, dalam hal ini kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan pejabat pertahanannya Yoav Gallant, "bisa memiliki kekebalan" di bawah Statuta Roma.
Argumen tersebut, kata Albanese, "tidak berdasar karena isu tersebut telah dijawab oleh Mahkamah dalam kasus Omar Al-Bashir yang lalu".
Omar Al-Bashir adalah mantan pemimpin Sudan yang didakwa oleh ICC pada tahun 2009 dan 2010 atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap rakyat sipil di daerah Darfur.
"Argumen akan adanya kekebalan negara tertentu tidak sah. Mahkamah sendiri yang menegaskannya," kata pelapor khusus PBB itu.
Ia mengingatkan bahwa upaya menghalang-halangi penegakan surat perintah penangkapan ICC adalah pelanggaran Pasal 77 Statuta Roma.
"Perintangan terhadap upaya pelaksanaan peradilan sendirinya adalah sebuah tindak kriminal," ucap Albanese.
Albanese juga menyebut perbedaan respons Prancis antara perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2023 dengan perintah yang sama kepada Netanyahu dan Gallant sebagai "standar ganda".
Pekan lalu, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina.
Israel sendiri saat ini juga menghadapi gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) atas agresinya ke Jalur Gaza yang tidak kunjung berhenti.
Sementara itu, bertolak belakang dari pernyataan Menlu Barrot, Kementerian Luar Negeri Prancis menegaskan komitmennya mematuhi kewajiban sesuai dengan Statuta Roma.
"Prancis akan menghargai kewajiban internasionalnya dan memahami bahwa Statuta Roma menuntut kepatuhan penuh terhadap Mahkamah Pidana Internasional," demikian pernyataan Kemlu Prancis.
Kemlu Prancis juga menegaskan bahwa suatu negara "tak bisa dituntut untuk bertindak dengan cara-cara yang bertolak belakang terhadap kewajibannya terhadap hukum internasional" terkait kekebalan negara-negara yang bukan merupakan pihak terhadap ICC.
Sumber: Anadolu