Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan industri pengolahan sawit telah mampu menggerakkan aktivitas produktif kegiatan usaha, khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
"Jadi, turut menjaga kedaulatan ekonomi khususnya terkait substitusi impor dan teritorial di perbatasan negara,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, Kamis.
Dikatakannya, hal tersebut karena kontribusi komoditas kelapa sawit mendominasi kinerja perekonomian Indonesia selama dua dekade terakhir.
Ia mengatakan, minyak sawit telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, non-pangan, hingga bahan bakar terbarukan, bahkan juga menjadi komoditas ekspor unggulan untuk menambah devisa negara dari produk yang bernilai tambah tinggi.
Dijelaskan, industri pengolahan tersebut telah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan di timur Indonesia.
"Penumbuhan pusat baru industri berbasis sawit di luar Jawa, yang sudah ada saat ini antara lain di Dumai-Riau, Sei Mangkei-Sumut, Tarjun-Kalsel, Kotawaringin Barat-Kalteng, Bitung-Sulut, dan Balikpapan-Kaltim. Ini juga artinya menumbuhkan aglomerasi atau kawasan industri baru berbasis sawit,” kata dia.
Lebih lanjut Putu mengatakan, ragam jenis produk hilir sawit semakin meningkat signifikan. Pihaknya mencatat pada tahun 2010 hanya terdapat 54 jenis diversifikasi sawit, lalu meningkat menjadi 193 jenis pada tahun 2023.
Sementara itu, rasio ekspor bahan baku dan produk hilir sawit juga kian melonjak, mengingat pada tahun 2010, rasionya hanya sebesar 40 persen bahan baku dan 60 persen produk hilir sawit. Namun kini naik drastis masing-masing menjadi 7 persen dan 93 persen di tahun 2023.
“Ini menandakan bahwa kebijakan hilirisasi berjalan dengan baik,” ujarnya.
Selanjutnya, dampak luas lain yang diberikan industri pengolahan sawit yakni jumlah penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung sebanyak 17 juta orang. Kemudian, sektor ini memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 3,5 persen.
"Jadi, turut menjaga kedaulatan ekonomi khususnya terkait substitusi impor dan teritorial di perbatasan negara,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, Kamis.
Dikatakannya, hal tersebut karena kontribusi komoditas kelapa sawit mendominasi kinerja perekonomian Indonesia selama dua dekade terakhir.
Ia mengatakan, minyak sawit telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, non-pangan, hingga bahan bakar terbarukan, bahkan juga menjadi komoditas ekspor unggulan untuk menambah devisa negara dari produk yang bernilai tambah tinggi.
Dijelaskan, industri pengolahan tersebut telah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan di timur Indonesia.
"Penumbuhan pusat baru industri berbasis sawit di luar Jawa, yang sudah ada saat ini antara lain di Dumai-Riau, Sei Mangkei-Sumut, Tarjun-Kalsel, Kotawaringin Barat-Kalteng, Bitung-Sulut, dan Balikpapan-Kaltim. Ini juga artinya menumbuhkan aglomerasi atau kawasan industri baru berbasis sawit,” kata dia.
Lebih lanjut Putu mengatakan, ragam jenis produk hilir sawit semakin meningkat signifikan. Pihaknya mencatat pada tahun 2010 hanya terdapat 54 jenis diversifikasi sawit, lalu meningkat menjadi 193 jenis pada tahun 2023.
Sementara itu, rasio ekspor bahan baku dan produk hilir sawit juga kian melonjak, mengingat pada tahun 2010, rasionya hanya sebesar 40 persen bahan baku dan 60 persen produk hilir sawit. Namun kini naik drastis masing-masing menjadi 7 persen dan 93 persen di tahun 2023.
“Ini menandakan bahwa kebijakan hilirisasi berjalan dengan baik,” ujarnya.
Selanjutnya, dampak luas lain yang diberikan industri pengolahan sawit yakni jumlah penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung sebanyak 17 juta orang. Kemudian, sektor ini memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 3,5 persen.