Jakarta (ANTARA) - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen TNI (Purn) Muhamad Herindra harus memperkuat BIN dari serangan siber yang dapat mengganggu stabilitas negara.
"Bentuk-bentuk ancaman baru di depan mata seperti serangan siber, propaganda, disinformasi, terorisme, dan infiltrasi oleh aktor-aktor nonnegara telah menjadi perhatian utama," kata Fahmi dalam siaran pers yang diberikan kepada ANTARA, Jumat.
Menurut Fahmi, saat ini ancaman militer tidak hanya berupa konflik fisik berupa perkembangan alat utama sistem senjata (alutsista) dan operasi militer.
Saat ini dunia dihadapkan dengan ancaman siber berupa perampasan informasi, propaganda, spionase hingga peretasan data nasional.
Hal tersebut, lanjut Fahmi, sering disebut sebagai ancaman asimetris, karena tidak bersifat langsung dan sulit diprediksi.
Kejadian tersebut pun sempat menimpa Indonesia tahun ini kala terjadi peretasan data nasional oleh pihak-pihak tertentu.
Karena hal tersebut, Herindra pun dituntut harus melakukan peningkatan kualitas di bidang teknologi agar dapat mengantisipasi adanya serangan siber terhadap negara.
Teknologi tersebut, menurut Fahmi juga bisa dipakai BIN untuk misi infiltrasi menggunakan siber. Hal tersebut layak dilakukan agar BIN dapat mendeteksi ancaman serangan dari pihak luar.
Namun demikian, seluruh teknologi tersebut hanya dapat berfungsi jika BIN juga meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
"Pengembangan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam menganalisis informasi dan merumuskan kebijakan responsif terhadap ancaman," kata Fahmi.
Dengan pengalaman Herindra menjadi Wakil Menteri Pertahanan dan Danjen Kopassus, Fahmi yakin Herindra dapat membawa BIN menjawab ragam tantangan tersebut.
"Bentuk-bentuk ancaman baru di depan mata seperti serangan siber, propaganda, disinformasi, terorisme, dan infiltrasi oleh aktor-aktor nonnegara telah menjadi perhatian utama," kata Fahmi dalam siaran pers yang diberikan kepada ANTARA, Jumat.
Menurut Fahmi, saat ini ancaman militer tidak hanya berupa konflik fisik berupa perkembangan alat utama sistem senjata (alutsista) dan operasi militer.
Saat ini dunia dihadapkan dengan ancaman siber berupa perampasan informasi, propaganda, spionase hingga peretasan data nasional.
Hal tersebut, lanjut Fahmi, sering disebut sebagai ancaman asimetris, karena tidak bersifat langsung dan sulit diprediksi.
Kejadian tersebut pun sempat menimpa Indonesia tahun ini kala terjadi peretasan data nasional oleh pihak-pihak tertentu.
Karena hal tersebut, Herindra pun dituntut harus melakukan peningkatan kualitas di bidang teknologi agar dapat mengantisipasi adanya serangan siber terhadap negara.
Teknologi tersebut, menurut Fahmi juga bisa dipakai BIN untuk misi infiltrasi menggunakan siber. Hal tersebut layak dilakukan agar BIN dapat mendeteksi ancaman serangan dari pihak luar.
Namun demikian, seluruh teknologi tersebut hanya dapat berfungsi jika BIN juga meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
"Pengembangan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam menganalisis informasi dan merumuskan kebijakan responsif terhadap ancaman," kata Fahmi.
Dengan pengalaman Herindra menjadi Wakil Menteri Pertahanan dan Danjen Kopassus, Fahmi yakin Herindra dapat membawa BIN menjawab ragam tantangan tersebut.