Dalam KTT Ke-44 dan Ke-45 ASEAN di Vientiane, Laos, Junta Militer Myanmar mengirimkan perwakilan melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun sejak kudeta tahun 2021.
"Walaupun Myanmar hadir pada tingkat KTT dan juga pertemuan para menteri luar negeri, namun apabila ada proses pengambilan keputusan, maka Myanmar tidak boleh mem-block proses pengambilan keputusan," kata Menlu Retno dalam keterangan pers di sela-sela KTT Ke-44 dan Ke-45 ASEAN di Vientiane, Laos, Rabu (9/10).
Menlu Retno mengatakan bahwa sejak krisis di Myanmar terjadi pada 2021, para pemimpin ASEAN memutuskan tidak mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan. Namun, Myanmar tidak diperbolehkan mengirim perwakilan politisnya.
Hal itu dilakukan agar Myanmar tidak menghambat kerja ASEAN secara keseluruhan, dan tidak diperkenankan untuk mengambil maupun menolak keputusan yang ditetapkan para pemimpin ASEAN.
Sejak Keketuaan Brunei Darussalam Tahun 2021, Kamboja Tahun 2022 dan Indonesia Tahun 2023, Myanmar memutuskan tidak mengirimkan perwakilan pada pertemuan tingkat tinggi tahunan itu.
"Aturannya sama, tetapi Myanmar mensikapinya berbeda. Kalau di bawah keketuaan Brunei, Kamboja dan Indonesia, Myanmar memutuskan untuk tidak mengirim (perwakilan non politis). Tetapi di tahun ini dia memutuskan untuk mengirim. Tetapi tetap tidak mengubah keputusan ASEAN. Bahwa yang hadir di situ adalah (perwakilan) non political level," kata Menlu.
Di sisi lain, ada atau tidaknya perwakilan non politis yang dikirim Myanmar tidak mengubah keputusan bahwa Konsensus Lima Poin (Five Point Consensus/5PC) harus tetap dijalankan.
Konsensus Lima Poin itu, kata Retno, telah sejalan dan didukung oleh dunia internasional, dengan ditunjuknya Mantan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop sebagai utusan khusus PBB untuk Myanmar.
"Saya tidak tahu pertimbangan mereka apa. Tetapi yang dapat saya sampaikan, ini (Konsensus Lima Poin) harus dijalankan," kata Retno.