Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebutkan bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka memiliki program untuk mencapai kedaulatan energi."Ke depan Pak Prabowo dan Mas Gibran itu punya satu program, di antaranya kedaulatan energi, jadi ada kedaulatan pangan dan kedaulatan energi," kata Bahlil dalam Penganugerahan Penghargaan Keselamatan Migas Tahun 2024 di Jakarta, Senin malam.
Meski begitu, Bahlil tidak menjelaskan secara rinci program kedaulatan energi dari pemerintahan baru ke depannya.
Bahlil menegaskan bahwa keberhasilan program kedaulatan energi sangat bergantung pada dukungan semua pihak di sektor energi, termasuk kontraktor di sektor hulu.
"Saya berpikir bahwa penting saya hadir (di sini) karena program Pak Prabowo ke depan tentang kedaulatan energi bisa sukses tergantung bapak-bapak semua yang ada di dalam ruangan ini," ujarnya.
Demi mendukung program pemerintahan baru dalam meningkatkan produksi minyak dalam negeri, Bahlil mengaku meski dalam kondisi kurang sehat, dirinya rela menghadiri kegiatan tersebut untuk mendorong sektor hulu sehingga bisa mewujudkan kembali kedaulatan energi Indonesia.
"Karena itu saya merasa berkepentingan sekalipun badan loyo tapi saya pikir untuk pengabdian kita kepada Ibu Pertiwi harus kita lakukan secara total untuk kita mewujudkan kedaulatan energi di bangsa kita," tutur Bahlil.
Dia mengungkapkan bahwa Indonesia dulu pernah berada pada masa kejayaan dalam ekspor minyak, terutama pada tahun 1996 dan 1997, di mana lifting minyak mencapai 1.000.600 barel per hari, sementara konsumsi domestik hanya sekitar 600 hingga 700 ribu barel.
Saat itu, Indonesia mampu mengekspor sekitar 1 juta barel per hari, yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara, mencapai 40 hingga 50 persen dari sektor minyak dan gas.
Namun, situasi kini telah berubah. Pada tahun 2022 hingga 2024, produksi minyak terus mengalami penurunan, hingga saat ini hanya mencapai sekitar 600 ribu barel per hari.
Sebaliknya, konsumsi minyak dalam negeri meningkat hingga mencapai 1 juta barel per hari, memaksa Indonesia untuk mengimpor jumlah yang sama. Hal ini mencerminkan kondisi yang berbalik dari 30 tahun lalu, ketika Indonesia masih merupakan negara pengekspor minyak.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, Bahlil mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam upaya meningkatkan lifting minyak.
Meskipun upaya-upaya itu belum mampu mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor, pemerintah terus mendorong berbagai inovasi dan intervensi teknologi untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri.
"Saya sangat menghargai dari KKKS, kontraktor dari hulu yang sudah melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan lifting (minyak) kita," kata Bahlil.