Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan memaparkan hasil identifikasi tantangan pembangunan di Indonesia.

“Pertama adalah pendapatan disposable income (pendapatan yang siap dibelanjakan) masyarakat yang menunjukkan tren penurunan,” ujarnya dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI bersama Bappenas yang dipantau secara virtual, Jakarta, Senin.

Menurut BPS, disposable income menggambarkan nilai maksimum pendapatan masyarakat yang tersedia (setelah dikurangi pajak) yang dapat digunakan untuk konsumsi. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan Bappenas dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2025.

Sepanjang periode 2010-2023, proporsi pendapatan individu yang dikeluarkan untuk konsumsi menunjukkan tren penurunan relatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Meskipun pendapatan disposable meningkat, lanjut dia, tetapi nilainya secara riil untuk konsumsi relatif menurun.

Penurunan pendapatan riil dipengaruhi tekanan inflasi sebagai akibat ketidakpastian global seperti COVID-19, perang Rusia-Ukraina, perang dagang, serta naiknya biaya hidup secara umum.
 

Per tahun 2023, proporsi disposable income terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita tahun 2023 sebesar 72,7 persen.

Selain itu, mayoritas penduduk masih bekerja di sektor non produktif. Berdasarkan data per Februari 2024, 18,9 juta orang bekerja di sektor manufaktur, pertanian 40,7 juta orang, jasa-jasa 71,3 juta orang, dan lainnya 11,3 juta orang.

Adapun warga Indonesia yang bekerja paruh waktu sekitar 36,8 juta orang, 12,1 juta orang setengah pengangguran, dan 93,3 juta orang pekerja penuh.

Sektor yang menyerap tenaga kerja besar juga memberikan upah di bawah rata-rata nasional (Rp3,04 juta), mencakup industri pengolahan Rp3,03 juta, konstruksi Rp2,95 juta, pendidikan Rp2,84 juta, pengadaan air Rp2,69 juta, perdagangan Rp2,54 juta, pertanian Rp2,24 juta, akomodasi dan makan minum Rp2,24 juta, serta aktivitas jasa lainnya Rp1,74 juta.

Ketiga, produktivitas Indonesia relatif rendah dibandingkan negara lain pada semua sektor, utamanya di sektor jasa dan industri. Negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan memiliki produktivitas tinggi pada sektor industri dan jasa.

“Jadi, ini juga hal yang perlu kita perbaiki bersama kita coba hadapi di dalam RKP di tahun 2025. Kalau kita lihat produktivitas agrikultur, kemudian produktivitas industri, dan produktivitas jasa, kita itu jauh lebih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, sehingga kita butuhkan upaya untuk bisa meningkatkan value added (nilai tambah) ekonomi kita selain juga meningkatkan economy complexity (Indeks Pembangunan Ekonomi Berbasis Produk) di Indonesia,” ungkap Scenaider.

Pihaknya disebut sudah mengidentifikasi sejumlah strategi untuk mengatasi tantangan tersebut. Pertama adalah hilirisasi produk untuk mengolah raw material menjadi produk setengah jadi atau produk jadi sehingga rantai produk semakin panjang, lalu peningkatan productive knowledge guna menghasilkan produk baru dengan memanfaatkan kemampuan yang sudah ada, dan diversifikasi ke arah produk padat inovasi dan berteknologi menengah-tinggi.
 

 


Pewarta : M Baqir Idrus Alatas
Editor : Faidin
Copyright © ANTARA 2024