Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan HAM merancang jabatan fungsional analis hak asasi manusia (HAM) untuk mengoptimalkan pelaksanaan HAM dalam berbagai regulasi.
“Sebelum ayam berkokok pada Januari 2025, insyaallah sudah ada jabatan fungsional ini,” ujar Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI Dhahana Putra dalam podcast bertajuk “Pengarusutamaan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, di Jakarta, Rabu.
Dhahana menekankan bahwa pemerintah perlu memiliki jabatan fungsional analis HAM karena memiliki fungsi strategis untuk mencapai tujuan Indonesia ke depannya.
Ia mencontohkan, salah satu pilar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 melalui delapan misi Asta Cita, adalah memperkokoh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta hak asasi manusia.
“Begitu besarnya hak asasi manusia. Jadi, hemat kami, pembentukan jabatan fungsional analis HAM ini sangat strategis,” ucapnya.
Terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pedoman Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diyakini oleh Dhahana membuka ruang untuk membentuk jabatan fungsional analis HAM.
Sebagai respons dari rencana pembentukan jabatan fungsional analis HAM itu, Dhahana mengungkapkan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB) mengundang Kemenkumham untuk menjelaskan soal pembentukan jabatan fungsional analis HAM.
“Kami diminta oleh Kemenpan RB untuk mengekspos tentang pembentukan jabatan fungsional analis HAM. Ini menjadi suatu ruang yang sangat baik untuk mengoptimalkan pelaksanaan HAM itu,” kata dia.
Dhahana meyakini bahwa kehadiran jabatan fungsional analis HAM dapat mendorong pengarusutamaan hak asasi manusia dalam berbagai produk hukum.
Mengutip Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Dhahana mengingatkan bahwa tanggung jawab negara adalah memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
“Oleh karena itu, pada saat pemerintah menyiapkan suatu kebijakan dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak hanya perspektif hukum, tetapi juga hak asasi manusia,” kata Dhahana.
“Sebelum ayam berkokok pada Januari 2025, insyaallah sudah ada jabatan fungsional ini,” ujar Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI Dhahana Putra dalam podcast bertajuk “Pengarusutamaan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, di Jakarta, Rabu.
Dhahana menekankan bahwa pemerintah perlu memiliki jabatan fungsional analis HAM karena memiliki fungsi strategis untuk mencapai tujuan Indonesia ke depannya.
Ia mencontohkan, salah satu pilar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 melalui delapan misi Asta Cita, adalah memperkokoh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta hak asasi manusia.
“Begitu besarnya hak asasi manusia. Jadi, hemat kami, pembentukan jabatan fungsional analis HAM ini sangat strategis,” ucapnya.
Terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pedoman Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diyakini oleh Dhahana membuka ruang untuk membentuk jabatan fungsional analis HAM.
Sebagai respons dari rencana pembentukan jabatan fungsional analis HAM itu, Dhahana mengungkapkan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB) mengundang Kemenkumham untuk menjelaskan soal pembentukan jabatan fungsional analis HAM.
“Kami diminta oleh Kemenpan RB untuk mengekspos tentang pembentukan jabatan fungsional analis HAM. Ini menjadi suatu ruang yang sangat baik untuk mengoptimalkan pelaksanaan HAM itu,” kata dia.
Dhahana meyakini bahwa kehadiran jabatan fungsional analis HAM dapat mendorong pengarusutamaan hak asasi manusia dalam berbagai produk hukum.
Mengutip Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Dhahana mengingatkan bahwa tanggung jawab negara adalah memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
“Oleh karena itu, pada saat pemerintah menyiapkan suatu kebijakan dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak hanya perspektif hukum, tetapi juga hak asasi manusia,” kata Dhahana.