Jakarta (ANTARA) - Peneliti sekaligus sejarahwan lulusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Christopher Reinhart mengungkapkan singkong yang selama ini dikenal sebagai makanan tradisional Indonesia ternyata dibawa ke negeri ini dari Peru pada tahun 1850 oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Ini menjadi salah satu temuan Reinhart melalui penelitiannya yang masih berlangsung mengenai pangan alternatif di Indonesia pada masa Kolonial Belanda dan studi ini direncanakan rampung di 2024.
"Singkong baru diperkenalkan ke Indonesia tahun 1850-an, dibawa dari Peru oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ditanam pertama kali di Maluku," kata dia di sela diskusi publik bertema "Mereka Ulang Warisan Sejarah dalam Relevansi Masa Kini" di Jakarta, Kamis.
Maluku saat itu, imbuh Reinhart sebatas menjadi lokasi percobaan. Dari sana, barulah singkong diproduksi dan didistribusikan secara masif di Pulau Jawa yang kala itu sedang mengalami krisis beras dan kelaparan akibat pemberlakuan sistem tanam paksa. Namun, belum ada jawaban mengenai alasan pemilihan Maluku sebagai lokasi percobaan.
Kemudian, berbicara alasan pemerintah Kolonial memilih singkong dan membawanya ke Indonesia, ini karena berkaca dari keberhasilan Spanyol menjadikannya sebagai pangan alternatif di Peru.
Menurut Reinhart, pemerintah Kolonial Belanda hingga abad ke-20 melihat indikator suatu wilayah sedang mengalami krisis pangan atau kelaparan dengan singkong. Belanda saat itu tak memikirkan pilihan pangan alternatif lainnya, juga tidak mempertimbangkan masyarakat setempat menyukainya atau tidak.
Di sisi lain, Belanda yang terpengaruh kesuksesan revolusi di Prancis dan Inggris memandang singkong sebagai makanan kelas bawah, sehingga menurut mereka tepat untuk memberikannya pada masyarakat di daerah jajahan.
"Ini buat orang jajahan, saya ambil yang jelek saja. Makanya diambilah singkong. Karena pada waktu itu, kalau jagung misalnya juga alternatif, tetapi jagung digunakan juga di Eropa. Eropa kan makan jagung juga," jelas Reinhart yang juga mengatakan tak sebatas pangan, pandangan serupa juga berlaku pada pakaian dan hal-hal lainnya.
Namun, Reinhart merujuk beberapa arsip mengungkapkan pengenalan singkong di Jawa pada awalnya tidak begitu sukses karena masyarakat setempat tak menyukai singkong.
Singkong baru mengalami puncak popularitas waktu periode penjajahan Jepang karena saat itu sudah tidak ada makanan lagi.
"(Singkong) baru terkenal itu tahun 1940-an. Sepanjang 1850 pertama diperkenalkan sampai akhir kolonial, itu singkong tidak terlalu terkenal. Baru periode Jepang, booming, tiwul dan sebagainya," kata Reinhart yang sudah mempublikasikan 19 artikel dan jurnal tentang sejarah Indonesia itu.
Demi memperkuat temuan ini, dia mengatakan, pada relief di Candi Borobudur yang menceritakan makanan asli Indonesia, tak ada singkong di antara makanan seperti nangka dan pisang.
"Di relief Borobudur yang menceritakan tentang makanan asli Indonesia itu tidak ada (singkong). Di situ ada nangka, pisang, asem, tetapi tidak ada singkong. Cabai juga tidak ada karena cabai baru datang," kata dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peneliti ungkap singkong di Indonesia dibawa dari Peru tahun 1850
Ini menjadi salah satu temuan Reinhart melalui penelitiannya yang masih berlangsung mengenai pangan alternatif di Indonesia pada masa Kolonial Belanda dan studi ini direncanakan rampung di 2024.
"Singkong baru diperkenalkan ke Indonesia tahun 1850-an, dibawa dari Peru oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ditanam pertama kali di Maluku," kata dia di sela diskusi publik bertema "Mereka Ulang Warisan Sejarah dalam Relevansi Masa Kini" di Jakarta, Kamis.
Maluku saat itu, imbuh Reinhart sebatas menjadi lokasi percobaan. Dari sana, barulah singkong diproduksi dan didistribusikan secara masif di Pulau Jawa yang kala itu sedang mengalami krisis beras dan kelaparan akibat pemberlakuan sistem tanam paksa. Namun, belum ada jawaban mengenai alasan pemilihan Maluku sebagai lokasi percobaan.
Kemudian, berbicara alasan pemerintah Kolonial memilih singkong dan membawanya ke Indonesia, ini karena berkaca dari keberhasilan Spanyol menjadikannya sebagai pangan alternatif di Peru.
Menurut Reinhart, pemerintah Kolonial Belanda hingga abad ke-20 melihat indikator suatu wilayah sedang mengalami krisis pangan atau kelaparan dengan singkong. Belanda saat itu tak memikirkan pilihan pangan alternatif lainnya, juga tidak mempertimbangkan masyarakat setempat menyukainya atau tidak.
Di sisi lain, Belanda yang terpengaruh kesuksesan revolusi di Prancis dan Inggris memandang singkong sebagai makanan kelas bawah, sehingga menurut mereka tepat untuk memberikannya pada masyarakat di daerah jajahan.
"Ini buat orang jajahan, saya ambil yang jelek saja. Makanya diambilah singkong. Karena pada waktu itu, kalau jagung misalnya juga alternatif, tetapi jagung digunakan juga di Eropa. Eropa kan makan jagung juga," jelas Reinhart yang juga mengatakan tak sebatas pangan, pandangan serupa juga berlaku pada pakaian dan hal-hal lainnya.
Namun, Reinhart merujuk beberapa arsip mengungkapkan pengenalan singkong di Jawa pada awalnya tidak begitu sukses karena masyarakat setempat tak menyukai singkong.
Singkong baru mengalami puncak popularitas waktu periode penjajahan Jepang karena saat itu sudah tidak ada makanan lagi.
"(Singkong) baru terkenal itu tahun 1940-an. Sepanjang 1850 pertama diperkenalkan sampai akhir kolonial, itu singkong tidak terlalu terkenal. Baru periode Jepang, booming, tiwul dan sebagainya," kata Reinhart yang sudah mempublikasikan 19 artikel dan jurnal tentang sejarah Indonesia itu.
Demi memperkuat temuan ini, dia mengatakan, pada relief di Candi Borobudur yang menceritakan makanan asli Indonesia, tak ada singkong di antara makanan seperti nangka dan pisang.
"Di relief Borobudur yang menceritakan tentang makanan asli Indonesia itu tidak ada (singkong). Di situ ada nangka, pisang, asem, tetapi tidak ada singkong. Cabai juga tidak ada karena cabai baru datang," kata dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peneliti ungkap singkong di Indonesia dibawa dari Peru tahun 1850