London (ANTARA) - Hujan turun dengan derasnya, seakan mengamini duka yang dikabarkan akun Twitter keluarga kerajaan: Ratu Elizabeth II meninggal dengan damai di Istana Balmoral, Skotlandia, Kamis malam.

Header situs terpadu pemerintah Britania Raya, gov.uk, pun berubah jadi hitam.

Sebelumnya, jagat kosmopolitan Twitter sudah ramai dengan spekulasi kondisi mendiang Sang Ratu saat Istana menyebut kesehatan Ratu buruk dan sedang dipantau dokter kerajaan.

Kasak-kusuk juga sampai di ruang obrolan virtual mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di London; menggambarkan apapun ragam opini soal relevansi keluarga kerajaan saat ini.

Kematian salah satu penguasa monarki terlama yang pernah ada tetaplah signifikan bagi kehidupan orang-orang biasa, termasuk yang tidak diperintahnya.

Paling tidak, sejumlah pelajar bertanya-tanya apakah meninggalnya Sang Ratu akan memberikan dampak bagi keseharian saat tinggal di London.

Sehari pascakematian Ratu Elizabeth II, hujan masih turun dan langit masih kelabu. Di stasiun kereta bawah tanah, papan pengumuman yang biasanya menyiarkan disrupsi jadwal kereta, kadang juga berisi puisi atau sekadar salam penyemangat bagi para komuter, kini bertuliskan ucapan duka, pun layar-layar pengiklan.

Penumpang yang menunggu kedatangan kereta di peron dan juga yang telah duduk di dalam gerbong terlihat membaca koran dengan potret monokrom Sang Ratu di halaman depan.

Di Istana Buckingham, bendera Union Jack diturunkan setengah tiang. Pelayat memayungi diri di tengah turunnya hujan, membaringkan bunga di depan pagar istana.

Kerumunan ini barangkali nyaris serupa dengan yang pernah ada memenuhi pelataran Istana pada Juni 2022.

Beberapa bulan yang lalu orang-orang di negri kerajaan itu berdesakan gegap-gempita meramaikan perayaan Yubelium platinum buat Sang Ratu.

Hari ini, kerumunan datang untuk menghormati sosok yang sama, tapi dengan suasana yang berbeda; kini suram dan syahdu.

Soal kedekatan emosional dengan keluarga kerajaan, utamanya dengan Sang Ratu, mungkin ada beragam rasa bagi warga Britania Raya—ada tidaknya, sedikit banyaknya—wafatnya dia adalah sebuah catatan sejarah.

Sepanjang 96 tahun hidupnya, Ratu Elizabeth II duduk di tahta kebesarannya selama 70 tahun; lebih dari setengah hidupnya.

Karena itu, Ratu Elizabeth II tercatat menjadi pemimpin monarki yang menjabat paling lama dan tertua di dunia.

Dia diangkat sebagai ratu setelah ayahnya, Raja George VI, meninggal dunia pada 6 Februari 1952, ketika Elizabeth berusia 25 tahun.

Elizabeth muda pun dinobatkan sebagai Ratu Inggris pada Juni setahun kemudian.

Kebanyakan penduduk Inggris Raya pun mungkin belum pernah mengalami prosesi kematian penguasa monarki sebelumnya. Meskipun begitu, apa yang akan terjadi saat Sang Ratu meninggal sudah diketahui kebanyakan orang.

Nonwarga negara, seperti penulis pun, bisa menginput Operation London Bridge di mesin pencarian untuk mengetahui apa yang terjadi bila Sang Ratu meninggal dunia.

Media setempat mengabarkan Inggris akan menjalani waktu berkabung resmi selama 10 hari mulai Jumat (9/9).

Kode rahasia “London Bridge” dipakai untuk menyiarkan berita wafatnya Ratu, sebagaimana dirangkum The Guardian dari dokumen Operasi London Bridge.

Dokumen tersebut menyebut dengan detail prosesi pada Hari-H, H+1 hingga H+10 wafatnya Ratu.

Membaca artikel yang terbit tahun 2017 tersebut kini terasa seperti menyadari terawangan masa depan; menonton secara langsung H+1 dan seterusnya bergantian terjadi seperti yang digariskan dokumen dari Istana.

Rasanya aneh bisa ada di tanah asing sambil menyaksikan negara ini mengalami sebuah perubahan yang monumental.

Putra pertama Ratu Elizabeth II, Charles Philip Arthur George, otomatis menjadi raja Inggris yang juga memimpin 14 negara persemakmuran.

Charles pun menyampaikan bahwa kematian sang ibu merupakan kesedihan terbesar baginya dan keluarga.

"Wafatnya Ibunda saya yang tercinta, Yang Mulia Ratu, merupakan momen kesedihan terbesar bagi saya dan seluruh anggota keluarga saya," ujar Raja Charles III dalam sebuah pernyataan pada Jumat.

Secepat apa kiranya masyarakat bisa terbiasa dengan sebutan Raja untuk penguasa monarki Inggris berikutnya; secepat apa stempel, prangko, uang kertas, dan simbol-simbol lainnya berganti dari potret Ratu Elizabeth II menjadi Raja Charles III?

Wafatnya Ratu menjadi momen yang begitu dekat secara fisik, namun barangkali berjarak secara emosional.

Belum lagi kontroversi keluarga kerajaan Inggris yang jenuh dari dosa-dosa masa lalu; apa yang harus dirasakan seorang mahasiswa asing yang berasal dari negara yang tak sampai sedekade lalu masih harus berjuang lepas dari penjajahan di tengah berita wafatnya Ratu dari negara yang terkenal dengan imperialismenya ini?

Kemarin, penulis menerima SMS dari operator kereta antarnegara jika kereta kepulangan dari Paris pekan depan dibatalkan karena unjuk rasa pekerja.

Namun Jumat (9/9) ini, berita menyiarkan bahwa demonstrasi dibatalkan untuk menghormati berkabungnya keluarga kerajaan atas wafatnya Ratu.

Kemungkinan besar kereta yang ditumpangi penulis dari Paris akan tetap berjalan untuk kembali ke London yang masih akan berkabung saat itu.

Mungkin, hal-hal seperti inilah yang bisa diceritakan saat melewati masa berkabung wafatnya Ratu Elizabeth II. Penulis pun merasa perlu berterima kasih kepada mendiang Ratu karena kereta kepulangan tidak jadi dibatalkan.

*) Penulis adalah mahasiswi Indonesia di University College London.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saat London kelabu usai ditinggal Ratu

Pewarta : Nea Ningtyas *)
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024