Jakarta (ANTARA) - Senyum merekah terkembang dari wajah Andre Sanjaya (26), salah seorang wisudawan magister Universitas Tarumanagara Jakarta pada akhir pekan lalu.

Dari atas kursi roda, Andre tak mampu menyembunyikan rasa gembiranya pada hari itu. Dalam kesempatan itu, Andre mendapatkan prestasi sebagai salah satu lulusan berprestasi non-akademik. Andre lulus dari pendidikan magister psikologi dengan IPK 3,84.

“Penghargaan ini diberikan karena kiprah saya pada bidang pengabdian masyarakat,” ujar Andre sumringah.

Meski memiliki keterbatasan secara fisik, tapi tak menyurutkan semangat Andre untuk melanjutkan pendidikan dan mengabdi pada masyarakat. Salah satunya, ia aktif melakukan donor darah sejak 2013. Ia berkomitmen untuk melakukan donor darah setiap dua bulan sekali. Selain itu, ia juga pernah mewakili Indonesia dalam ajang ASEAN Youth Interfaith Camp pada 2021.

“Awalnya melakukan donor darah karena panggilan hati, karena saya membaca Indonesia masih kekurangan darah. Dari situ, tergerak untuk melakukan donor darah,” terang dia.

Disinggung mengenai pendidikannya, Andre yang mengalami disabilitas fisik tersebut mengatakan awalnya ingin masuk ke fakultas kedokteran. Akan tetapi pada saat itu, dijelaskan bahwa penyandangan disabilitas fisik tidak diperkenankan untuk mengambil program studi kedokteran.

Dari situ, ia mencari jalan tengah agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi yang sesuai minatnya. Akhirnya, ia pun memilih masuk ke program studi psikologi.

Penyandang Cereblal Palsy

Ia mengaku kesulitan belajar karena merupakan penyandang cereblal palsy yaitu mempunyai kekurangan di mana antara otak dan gerak anggota tubuh tidak nyambung. "Saya butuh usaha lebih dan harus fokus untuk menggerakkan tubuh,” kata dia lagi.

Bahkan saat belajar pun, ia tak bisa mendengarkan dan mencatat materi sekaligus. Harus fokus pada salah satu kegiatan. Dalam membaca pun, ia butuh 10 kali lebih lama dibandingkan mahasiswa lainnya. Solusinya pun, ia merekam semua materi perkuliahan yang diberikan dosennya.

Beruntung, dia memiliki teman-teman kuliah yang mengerti dengan kondisi dirinya dan mau meminjamkan catatan perkuliahan, sehingga ia bisa menyelesaikan perkuliahan.

Begitu juga, dengan para dosennya di Universitas Tarumanagara juga mengerti dengan kendala yang dihadapinya. Sehingga, ia tak kesulitan dalam menempuh perkuliahan.

“Ke depan, saya akan melanjutkan pendidikan ke pendidikan profesi psikologi,” jelas Andre yang saat ini fokus pada bidang psikologi olahraga itu.

Andre merupakan salah satu tenaga ahli psikologi olahraga yang memiliki sertifikasi KONI. Ia merupakan satu dari dua penyandang disabilitas yang mendapatkan sertifikasi dari KONI tersebut.

Ke depan, ia berharap semakin banyak penyandang disabilitas yang bisa mendapatkan kesempatan mengenyam di pendidikan tinggi dan berkiprah di berbagai bidang.

Menurut dia, keterbatasan tidak menghalanginya untuk dapat menempuh pendidikan tinggi dan meraih cita-cita. Ia juga berharap semakin banyak fasilitas layanan pendidikan yang ramah dengan disabilitas. Misalnya dengan memberikan rekaman bagi mahasiswa yang mengalami kendala dalam belajar. Hal tersebut telah dilakukan oleh Universitas Tarumanagara.

“Saya juga berharap Indonesia yang ramah dengan disabilitas. Khususnya pada sektor pendidikan dan tidak yang tertinggal di belakang. Saya berharap ada aksi nyata dari pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif,” harap dia.

Selain itu juga masyarakat diharapkan juga dapat menerima para penyandang disabilitas untuk dapat berkiprah di berbagai bidang di Tanah Air.

 

Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Gufroni Sakaril, mengatakan tingkat partisipasi sekolah penyandang disabilitas masih rendah. Padahal tanpa pendidikan yang baik, maka penyandang disabilitas akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat mandiri.

Data dari Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan, hanya 56 persen anak penyandang disabilitas yang lulus Sekolah Dasar, dan hampir 3 dari 10 anak dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.

Berdasarkan Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia lima tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen. Penyandang disabilitas yang belum atau tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,91 persen. Sementara itu, penyandang disabilitas yang tidak bersekolah lagi sebesar 70,62 persen.

“Tentu ini menjadi perhatian bagi kita semua, karena tingkat partisipasi sekolah penyandang disabilitas yang rendah dapat menjadi persoalan bangsa di kemudian hari,” kata Gufroni.

Menurut dia, banyak tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

Rektor Universitas Tarumanagara, Prof Agustinus Purna Irawan, mengatakan pihaknya berkomitmen untuk menjalankan pendidikan yang inklusif. Komitmen tersebut diwujudkan dengan melakukan penerimaan mahasiswa disabilitas di berbagai program studi di kampus itu.

“Kami menyediakan fasilitas pendukung dan pendampingan untuk mempermudah mahasiswa disabilitas mengakses pembelajaran,” kata Agustinus.

Saat ini di Universitas Tarumanagara terdapat setidaknya 50 mahasiswa disabilitas yang menempuh di berbagai program studi di kampus itu. Hanya satu program studi yakni pendidikan kedokteran yang belum menerima mahasiswa penyandang disabilitas karena berdasarkan aturan dari Kemendikbudristek.

“Sejak awal penerimaan mahasiswa baru, kami selalu terbuka menyampaikan pada orang tua mahasiswa terkait kebutuhan dari mahasiswa. Dengan demikian, dapat membantu mahasiswa dalam menjalani perkuliahan di kampus ini,” imbuh Agustinus.
 


Pewarta : Indriani
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024