Kampala (ANTARA) - Seperti anak-anak lain di Uganda, Bridget Nabawanuka tak sabar ingin bertemu kawan-kawannya lagi setelah sekolahnya yang ditutup lama akibat pandemi dibuka kembali. Namun, melonjaknya biaya pendidikan telah mengubur keinginannya.
Bocah perempuan tujuh tahun itu kini membantu ibunya berjualan makanan di Ibu Kota Kampala. Dia adalah satu dari sekian banyak anak Uganda yang terpaksa keluar dari sekolah karena orang tua mereka tak mampu membayar biaya pendidikan.
"Setiap pagi dia tanya ke saya kapan dia bisa sekolah lagi," kata ibunya, Agnes Nangabi, yang berharap bisa menabung cukup uang untuk mendaftarkan anaknya di sekolah negeri yang biayanya lebih murah.
Pendidikan dasar dan menengah seharusnya gratis di negara Afrika Barat itu, tapi sebagian besar sekolah milik pemerintah mengaku tak mendapat dana yang cukup untuk menutupi biaya operasional.
Sekolah-sekolah itu akhirnya mengenakan biaya apa pun pada orang tua murid, mulai dari ujian sampai tisu toilet.
Banyak kepala sekolah mengabaikan seruan kementerian pendidikan untuk tidak mengenakan biaya lebih besar dari sebelum pandemi, kata dua advokat hak asasi manusia.
Keduanya telah mengajukan gugatan terhadap pemerintah agar biaya pendidikan diatur sesuai janji mereka pada 2018. Gugatan itu akan disidangkan lagi pada 25 April.
"Banyak sekali anak-anak yang drop out, karena berkurangnya penghasilan… dan efek langsung dari kenaikan uang sekolah," kata salah satu advokat, Andrew Karamagi, yang menggambarkan situasi itu sebagai "privatisasi tanpa regulasi".
Saat dimintai komentarnya tentang gugatan itu, kementerian pendidikan mengatakan mereka sedang menyelesaikan regulasi biaya pendidikan yang akan mencakup sanksi bagi sekolah yang melanggar aturan.
Kementerian tidak melarang sekolah mengenakan biaya tetapi mereka harus mengajukan permohonan secara formal jika ingin menaikkan uang sekolah, kata juru bicara Mugimba Dennis.
Sekolah pemerintah umumnya meminta bayaran sekitar 200 ribu shilling (Rp804 ribu) per termin, sedangkan uang sekolah swasta mulai dari 500 ribu sampai 1 juta shilling (Rp4,02 juta).
Tahun ajaran di Uganda berlangsung dari Februari sampai Desember dan dibagi ke dalam tiga termin.
Nangabi memiliki dua anak lain dan menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Penghasilannya yang sekitar 15-30 ribu shilling per hari tak cukup untuk membayar biaya sekolah Bridget yang mencapai 170 ribu shilling (Rp683 ribu), naik 20 persen dari sebelum pandemi.
Karamagi mengatakan biaya sekolah yang mencekik akan berdampak tidak adil bagi keluarga-keluarga miskin.
"Pendidikan, yang seharusnya merupakan penyetara, telah menjadi pemisah (atau) pembeda masyarakat," kata dia.
Penutupan Sekolah
Gugatan hukum tersebut diajukan di tengah keprihatinan masyarakat tentang dampak jangka panjang dari penutupan sekolah akibat pandemi yang berlangsung lama.
Badan anak-anak PBB, UNICEF, memperingatkan tentang "generasi yang hilang" jika pemerintah negara-negara tidak mengambil langkah-langkah mendesak agar siswa bisa kembali menempuh pendidikan.
Para ekonom juga mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa krisis pendidikan dapat menyebabkan negara-negara seperti Uganda kehilangan angkatan kerja terampil yang mereka perlukan di masa depan.
UNICEF mengatakan sekitar satu dari 10 anak di Uganda tidak kembali ke sekolah pada Januari, sedangkan Otoritas Perencanaan Nasional (NPA), sebuah badan pemerintah, memperkirakan bahwa tahun lalu hingga 30 persen anak drop out karena terdampak pandemi COVID-19.
Faktor-faktor seperti kemiskinan, pekerja anak, pernikahan dini, dan kehamilan remaja, meningkat selama sekolah ditutup.
Kenaikan biaya sekolah telah menjadi penghambat bagi keluarga berpenghasilan rendah untuk menyekolahkan anak mereka, kata Inisiatif bagi Hak Sosial dan Ekonomi (ISER), organisasi masyarakat madani yang ikut menjadi penggugat.
Di Kyambogo College School, sekolah pemerintah di Uganda tengah, kepala sekolah Hellen Twongyeirwe mengatakan kenaikan biaya pendidikan di banyak sekolah disebabkan oleh peningkatan biaya hidup.
Sekolah-sekolah swasta, yang jumlahnya lebih banyak dari sekolah negeri dan disukai banyak orang tua, juga menaikkan bayaran mereka. Para kepala sekolahnya menyalahkan inflasi sebagai penyebab kenaikan biaya operasional.
Anak-Anak Miskin Terhambat
Di Kampala, Bridget kini mengisi hari-harinya dengan membantu sang ibu berjualan makanan di pinggir jalan.
"Waktu anak-anak lain pulang sekolah, dia selalu ingin tahu soal hal-hal baru yang mereka pelajari," kata ibunya.
Sambil membilas piring di kios mereka, Bridget mengatakan dia suka sains dan ingin menjadi dokter. Dia mengaku bekerja keras membantu ibunya untuk menabung agar dia bisa kembali bersekolah.
Siswa-siswa lainnya sudah memupus harapan untuk kembali ke sekolah.
Adella Asiimwe, 15 tahun, terpaksa berhenti setelah sekolahnya di Isingiro, Uganda barat, pada Februari menaikkan bayaran sebesar 20 persen menjadi 350.000 shilling (Rp1,41 juta).
Orang tuanya memutuskan untuk memprioritaskan pendidikan dasar adik-adiknya.
"Saya melihat teman-teman bersekolah lagi dan merasa iri," kata Adella, yang bercita-cita menjadi jurnalis dan kini berjualan dekoder TV di jalanan Kampala.
"Tadinya saya berharap orang tua bisa menyekolahkan saya, tapi saya mengerti mereka sudah tak punya apa-apa."
Sumber: Reuters
Bocah perempuan tujuh tahun itu kini membantu ibunya berjualan makanan di Ibu Kota Kampala. Dia adalah satu dari sekian banyak anak Uganda yang terpaksa keluar dari sekolah karena orang tua mereka tak mampu membayar biaya pendidikan.
"Setiap pagi dia tanya ke saya kapan dia bisa sekolah lagi," kata ibunya, Agnes Nangabi, yang berharap bisa menabung cukup uang untuk mendaftarkan anaknya di sekolah negeri yang biayanya lebih murah.
Pendidikan dasar dan menengah seharusnya gratis di negara Afrika Barat itu, tapi sebagian besar sekolah milik pemerintah mengaku tak mendapat dana yang cukup untuk menutupi biaya operasional.
Sekolah-sekolah itu akhirnya mengenakan biaya apa pun pada orang tua murid, mulai dari ujian sampai tisu toilet.
Banyak kepala sekolah mengabaikan seruan kementerian pendidikan untuk tidak mengenakan biaya lebih besar dari sebelum pandemi, kata dua advokat hak asasi manusia.
Keduanya telah mengajukan gugatan terhadap pemerintah agar biaya pendidikan diatur sesuai janji mereka pada 2018. Gugatan itu akan disidangkan lagi pada 25 April.
"Banyak sekali anak-anak yang drop out, karena berkurangnya penghasilan… dan efek langsung dari kenaikan uang sekolah," kata salah satu advokat, Andrew Karamagi, yang menggambarkan situasi itu sebagai "privatisasi tanpa regulasi".
Saat dimintai komentarnya tentang gugatan itu, kementerian pendidikan mengatakan mereka sedang menyelesaikan regulasi biaya pendidikan yang akan mencakup sanksi bagi sekolah yang melanggar aturan.
Kementerian tidak melarang sekolah mengenakan biaya tetapi mereka harus mengajukan permohonan secara formal jika ingin menaikkan uang sekolah, kata juru bicara Mugimba Dennis.
Sekolah pemerintah umumnya meminta bayaran sekitar 200 ribu shilling (Rp804 ribu) per termin, sedangkan uang sekolah swasta mulai dari 500 ribu sampai 1 juta shilling (Rp4,02 juta).
Tahun ajaran di Uganda berlangsung dari Februari sampai Desember dan dibagi ke dalam tiga termin.
Nangabi memiliki dua anak lain dan menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Penghasilannya yang sekitar 15-30 ribu shilling per hari tak cukup untuk membayar biaya sekolah Bridget yang mencapai 170 ribu shilling (Rp683 ribu), naik 20 persen dari sebelum pandemi.
Karamagi mengatakan biaya sekolah yang mencekik akan berdampak tidak adil bagi keluarga-keluarga miskin.
"Pendidikan, yang seharusnya merupakan penyetara, telah menjadi pemisah (atau) pembeda masyarakat," kata dia.
Penutupan Sekolah
Gugatan hukum tersebut diajukan di tengah keprihatinan masyarakat tentang dampak jangka panjang dari penutupan sekolah akibat pandemi yang berlangsung lama.
Badan anak-anak PBB, UNICEF, memperingatkan tentang "generasi yang hilang" jika pemerintah negara-negara tidak mengambil langkah-langkah mendesak agar siswa bisa kembali menempuh pendidikan.
Para ekonom juga mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa krisis pendidikan dapat menyebabkan negara-negara seperti Uganda kehilangan angkatan kerja terampil yang mereka perlukan di masa depan.
UNICEF mengatakan sekitar satu dari 10 anak di Uganda tidak kembali ke sekolah pada Januari, sedangkan Otoritas Perencanaan Nasional (NPA), sebuah badan pemerintah, memperkirakan bahwa tahun lalu hingga 30 persen anak drop out karena terdampak pandemi COVID-19.
Faktor-faktor seperti kemiskinan, pekerja anak, pernikahan dini, dan kehamilan remaja, meningkat selama sekolah ditutup.
Kenaikan biaya sekolah telah menjadi penghambat bagi keluarga berpenghasilan rendah untuk menyekolahkan anak mereka, kata Inisiatif bagi Hak Sosial dan Ekonomi (ISER), organisasi masyarakat madani yang ikut menjadi penggugat.
Di Kyambogo College School, sekolah pemerintah di Uganda tengah, kepala sekolah Hellen Twongyeirwe mengatakan kenaikan biaya pendidikan di banyak sekolah disebabkan oleh peningkatan biaya hidup.
Sekolah-sekolah swasta, yang jumlahnya lebih banyak dari sekolah negeri dan disukai banyak orang tua, juga menaikkan bayaran mereka. Para kepala sekolahnya menyalahkan inflasi sebagai penyebab kenaikan biaya operasional.
Anak-Anak Miskin Terhambat
Di Kampala, Bridget kini mengisi hari-harinya dengan membantu sang ibu berjualan makanan di pinggir jalan.
"Waktu anak-anak lain pulang sekolah, dia selalu ingin tahu soal hal-hal baru yang mereka pelajari," kata ibunya.
Sambil membilas piring di kios mereka, Bridget mengatakan dia suka sains dan ingin menjadi dokter. Dia mengaku bekerja keras membantu ibunya untuk menabung agar dia bisa kembali bersekolah.
Siswa-siswa lainnya sudah memupus harapan untuk kembali ke sekolah.
Adella Asiimwe, 15 tahun, terpaksa berhenti setelah sekolahnya di Isingiro, Uganda barat, pada Februari menaikkan bayaran sebesar 20 persen menjadi 350.000 shilling (Rp1,41 juta).
Orang tuanya memutuskan untuk memprioritaskan pendidikan dasar adik-adiknya.
"Saya melihat teman-teman bersekolah lagi dan merasa iri," kata Adella, yang bercita-cita menjadi jurnalis dan kini berjualan dekoder TV di jalanan Kampala.
"Tadinya saya berharap orang tua bisa menyekolahkan saya, tapi saya mengerti mereka sudah tak punya apa-apa."
Sumber: Reuters