Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menepis kabar hoaks yang ramai di media sosial mengenai pesawat yang diduga menyebarkan chemical trails atau jejak kimia di langit Jakarta yang menyebabkan adanya COVID-19 varian Omicron.
Kabar hoaks tersebut menyebutkan narasi bahwa diduga pesawat terbang menyebarkan jejak kimia di langit, menimbulkan garis awan yang tampak pada malam Senin (14/2) dini hari.
Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan Edison Kurniawan saat dikonfirmasi di Jakarta menyatakan fenomena tersebut merupakan contrails, kependekan dari condensation trails, atau jejak kondensasi.
"Itu fenomena alam yang umum terjadi," ujar Edison.
Contrails, kata Edison, adalah fenomena alam yang terjadi saat pesawat terbang tinggi di angkasa. Pesawat terbang seolah mengeluarkan berkas putih seperti asap dari mesinnya dan membentuk garis lintasan atau jejak di belakang pesawat terbang yang terlihat cukup indah dari permukaan bumi.
"Banyak orang mengira bahwa jejak asap itu dengan sengaja dikeluarkan oleh pilot sebagai tanda tertentu. Padahal sebenarnya itu merupakan peristiwa alam biasa sebagai akibat proses kimia-fisika antara gas buang yang ke luar dari mesin (engine) pesawat dengan suhu udara sekitarnya," kata Edison.
Dari hasil riset, diketahui bahwa pada ketinggian lebih dari 8.000 meter atau 26.000 kaki di atas permukaan laut, suhu udaranya sangat dingin dan bisa mencapai suhu -40 sampai dengan -50 derajat Celsius.
Di sisi lain, bahan bakar pesawat mengandung senyawa hidrokarbon yang terdiri dari zat hidrogen dan karbon. Dalam proses pembakaran di mesin pesawat Hidro-Carbon dibuang oleh mesin pesawat.
Karbon sisa pembakaran menciptakan asap karbon dioksida (CO2) sedangkan hidrogen bereaksi dengan Oksigen (O2) menghasilkan H2O dalam bentuk uap air.
Edison menjabarkan kondensasi atau pengembunan adalah perubahan wujud dari gas ke cair. Kondensasi terjadi ketika gas mengalami proses pendinginan sehingga menjadi cairan.
Selain itu, kondensasi juga dapat terjadi jika gas dikompresi dengan tekanan yang tinggi sehingga menjadi cairan, atau mengalami kondensasi dari pendinginan dan kompresi. Cairan yang telah terkondensasi tersebut dikenal sebagai kondensat (Condensate).
"Jadi jika gas buang sisa pembakaran mesin pesawat itu ke luar dan bereaksi dengan udara sekitarnya yang suhunya lebih dingin, maka gas tersebut akan terkondensasi menjadi kondensat dan akhirnya menciptakan jejak atau berkas putih yang menyerupai awan Cirus," kata dia.
Sementara itu, Edison menjelaskan kondensat yang terbentuk dapat berupa butiran mikroskopis air es halus menyerupai kabut, tapi dapat juga berbentuk kristal es kecil jika udara di sekitarnya sangat dingin.
Ada constrails yang segera menghilang, namun ada juga yang bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Lama atau tidaknya constrail itu menghilang sangat tergantung dari beberapa faktor, yakni perbedaan suhu yang cukup tinggi antara gas buang dan udara sekitarnya dan juga kecepatan angin.
"Jika perbedaan suhu cukup tinggi dan kecepatan angin relatif cukup tinggi maka constrail akan lama bertahan, demikian pula sebaliknya. Constrail mempengaruhi suhu bumi, sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global meskipun tidak signifikan," ujar dia.
Kabar hoaks tersebut menyebutkan narasi bahwa diduga pesawat terbang menyebarkan jejak kimia di langit, menimbulkan garis awan yang tampak pada malam Senin (14/2) dini hari.
Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan Edison Kurniawan saat dikonfirmasi di Jakarta menyatakan fenomena tersebut merupakan contrails, kependekan dari condensation trails, atau jejak kondensasi.
"Itu fenomena alam yang umum terjadi," ujar Edison.
Contrails, kata Edison, adalah fenomena alam yang terjadi saat pesawat terbang tinggi di angkasa. Pesawat terbang seolah mengeluarkan berkas putih seperti asap dari mesinnya dan membentuk garis lintasan atau jejak di belakang pesawat terbang yang terlihat cukup indah dari permukaan bumi.
"Banyak orang mengira bahwa jejak asap itu dengan sengaja dikeluarkan oleh pilot sebagai tanda tertentu. Padahal sebenarnya itu merupakan peristiwa alam biasa sebagai akibat proses kimia-fisika antara gas buang yang ke luar dari mesin (engine) pesawat dengan suhu udara sekitarnya," kata Edison.
Dari hasil riset, diketahui bahwa pada ketinggian lebih dari 8.000 meter atau 26.000 kaki di atas permukaan laut, suhu udaranya sangat dingin dan bisa mencapai suhu -40 sampai dengan -50 derajat Celsius.
Di sisi lain, bahan bakar pesawat mengandung senyawa hidrokarbon yang terdiri dari zat hidrogen dan karbon. Dalam proses pembakaran di mesin pesawat Hidro-Carbon dibuang oleh mesin pesawat.
Karbon sisa pembakaran menciptakan asap karbon dioksida (CO2) sedangkan hidrogen bereaksi dengan Oksigen (O2) menghasilkan H2O dalam bentuk uap air.
Edison menjabarkan kondensasi atau pengembunan adalah perubahan wujud dari gas ke cair. Kondensasi terjadi ketika gas mengalami proses pendinginan sehingga menjadi cairan.
Selain itu, kondensasi juga dapat terjadi jika gas dikompresi dengan tekanan yang tinggi sehingga menjadi cairan, atau mengalami kondensasi dari pendinginan dan kompresi. Cairan yang telah terkondensasi tersebut dikenal sebagai kondensat (Condensate).
"Jadi jika gas buang sisa pembakaran mesin pesawat itu ke luar dan bereaksi dengan udara sekitarnya yang suhunya lebih dingin, maka gas tersebut akan terkondensasi menjadi kondensat dan akhirnya menciptakan jejak atau berkas putih yang menyerupai awan Cirus," kata dia.
Sementara itu, Edison menjelaskan kondensat yang terbentuk dapat berupa butiran mikroskopis air es halus menyerupai kabut, tapi dapat juga berbentuk kristal es kecil jika udara di sekitarnya sangat dingin.
Ada constrails yang segera menghilang, namun ada juga yang bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Lama atau tidaknya constrail itu menghilang sangat tergantung dari beberapa faktor, yakni perbedaan suhu yang cukup tinggi antara gas buang dan udara sekitarnya dan juga kecepatan angin.
"Jika perbedaan suhu cukup tinggi dan kecepatan angin relatif cukup tinggi maka constrail akan lama bertahan, demikian pula sebaliknya. Constrail mempengaruhi suhu bumi, sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global meskipun tidak signifikan," ujar dia.