Jakarta (ANTARA) - Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK)-Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dianggap menjadi salah satu jalur pilihan mereka yang bercita-cita untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) walaupun diwarnai persaingan relatif kompetitif khususnya untuk jurusan-jurusan populer.
Hal ini salah satunya karena PTN masih lebih diminati dibandingkan lembaga pendidikan tinggi lainnya, baik karena nilai akreditasinya, maupun karena keterjangkauannya dari sisi biaya.
Persaingan pada program studi PTN pun menyisakan dua hasil yakni lulus dan gagal. Mereka yang gagal, umumnya disebabkan berbagai hal di luar faktor dirinya semisal sakit.
Satu di antaranya ada jurang antara kemampuan dan jurusan di perguruan tinggi yang dipilih saat ujian.
VP Marketing Ruangguru, Ignatius Untung Surapati berpendapat, saat memutuskan memilih jurusan tertentu dengan pesaing yang banyak, terkadang anak tak mengukur kemampuan diri. Komitmen yang dia punya juga tak tinggi sehingga berujung kegagalan.
"UTBK ada strategi, anak-anak mau masuk salah satu jurusan yang peminatnya banyak, pesaingnya banyak. Jadi, maunya tinggi tetapi komitmennya enggak begitu tinggi sehingga akhirnya gagal," kata dia dalam sebuah konferensi pers virtual, Selasa.
Menurut Untung, bila pada nantinya anak bisa mengukur kemampuannya, mengatur kembali pilihan jurusan bisa dilakukan. Misalnya, memilih jurusan dengan tingkat persaingan yang tidak terlalu tinggi, namun sesuai dengan minatnya.
Memilih jurusan yang sama di kampus berbeda dari pilihan awal juga bisa menjadi jalan keluar saat anak kembali mengikuti ujian pada kesempatan lain.
Tak hanya perkara kemampuan, kebiasaan menunda-nunda belajar juga bisa menjadi penyebab kegagalan dalam ujian. Untung mengatakan, orang cenderung berorientasi pada tujuan jangka pendek sehingga mudah sekali melihat apa yang ada di depan matanya.
Terkadang, pilihan untuk main bersama teman seperti naik gunung yang tinggal menghitung jam lebih menarik ketimbang mempersiapkan diri untuk UTBK yang masih beberapa bulan mendatang.
Selain itu, anak-anak juga cenderung tidak bisa menjaga konsistensi semisal dalam hal motivasi, ditambah tak ada sosok yang bisa mengajari sehingga kemampuan belajar mereka pun kecil. Pada akhirnya, motivasi yang mungkin awalnya tinggi perlahan menjadi mulai turun.
Penyebab lainnya, menurut Untung yakni faktor dukungan dari orang tua dan keluarga pada anak. Orang tua disarankan memberikan opsi pada anak terkait pilihannya, bagaimana menjalaninya dan di sisi lain orang tua memberi pandangan mereka.
Pada dasarnya, anak bisa mengambil keputusan yang baik walau tidak sempurna ketika informasi dia miliki. Hanya sayangnya, tak semua anak memiliki wawasan yang dia perlukan.
"Tugas orang tua memberi wawasan. Ketika wawasan sudah diberikan dan dia memilih kalau good enough buat orang tua yasudah, kalau belum orang tua bisa menginfluence. Seringkali cara memanage ekspektasi dan support tidak match sehingga anak stres dan jadi gagal," papar Untung.
Bangkitkan optimisme anak usai episode kegagalan
Sebuah kabar baik, ujian salah satunya UTBK-SBMPTN memberi kesempatan pada siswa yang pernah gagal untuk kembali mengikuti ujian serupa hingga dua tahun berturut-turut. Siswa yang sudah lulus SMA bisa mengikuti ujian ini sebanyak tiga kali dalam tiga tahun berturut-turut.
Namun pertanyaannya, apakah motivasi dan optimisme mereka bisa sama atau bahkan lebih tinggi dari sebelumnya? Jika tidak, bagaimana membangkitkannya?
Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan sebenarnya anak-anak ini memiliki satu kelebihan dibandingkan mereka yang baru kali pertama mengikuti ujian.
Anak-anak yang pernah gagal lalu mencoba kembali umumnya sudah mengenali situasi dan merasakan momentum-momentum stres serta kegugupan menjelang hingga saat ujian.
"Kalau kita gambarkan otot-otot di badannya itu sudah pernah mengalami hal itu. Kalau anak-anak yang baru UTBK ini mungkin nervous-nya level 7 dia mungkin sudah 5 karena pernah mengalami sebelumnya," tutur Vera.
Di sini, mereka memerlukan bantuan baik itu dari orang tua ataupun keluarganya untuk mengembalikan optimisme dan motivasinya sekali lagi.
Anak-anak perlu diberi pemahaman alasan kegagalan pada ujian sebelumnya. Apakah faktor jurusan di PTN yang kurang realistis bagi dia, situasi tertentu yang membuatnya drop saat ujian.
Di sisi lain, ajari anak memiliki rencana lain bila hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Vera mengatakan, walaupun UTBK penting, tetapi ini bukan satu-satunya jalan untuk anak bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
"Ini perlu ditanamkan pada anak-anak. Kalau misalnya tidak masuk, planning-nya apa," kata dia.
Menurut Vera, ada satu hal yang bisa membuat anak-anak jatuh, rapuh, frustasi itu yakni karena dia tidak bisa melihat jalan lain. Mereka tidak pernah diajak melihat ada pilihan lain.
Terkadang, orang tua atau orang di sekitar anak enggan atau tidak memberikan wawasan pada anak terkait adanya pilihan lain dengan berbagai alasan, salah satunya khawatir anak tak fokus pada pilihan awalnya.
Vera mengatakan, cara berpikir ini salah. Menurut dia, memberikan anak-anak memungkinkan mereka bisa lebih leluasa bergerak dalam hidupnya sehingga tidak terbatas pada satu jalur itu saja.
Selain itu, jangan lupa tanyakan pada anak tentang apa yang dia suka dan inginkan dalam hidupnya. Seiring perkembangan anak, cara berpikirnya pun bisa berubah. Inilah yang bisa mengubah pertanyaan siapa dirinya dan apa yang dia suka.
Dengan demikian, pesan penting bagi mereka yang pernah gagal dalam ujian, yakni mengevaluasi penyebab kegagalan bisa menjadi langkah penting sebelum mengikuti ujian di tahun berikutnya, sembari berusaha membangkitkan optimisme yang mungkin sempat redup usai episode kegagalan.
Hal ini salah satunya karena PTN masih lebih diminati dibandingkan lembaga pendidikan tinggi lainnya, baik karena nilai akreditasinya, maupun karena keterjangkauannya dari sisi biaya.
Persaingan pada program studi PTN pun menyisakan dua hasil yakni lulus dan gagal. Mereka yang gagal, umumnya disebabkan berbagai hal di luar faktor dirinya semisal sakit.
Satu di antaranya ada jurang antara kemampuan dan jurusan di perguruan tinggi yang dipilih saat ujian.
VP Marketing Ruangguru, Ignatius Untung Surapati berpendapat, saat memutuskan memilih jurusan tertentu dengan pesaing yang banyak, terkadang anak tak mengukur kemampuan diri. Komitmen yang dia punya juga tak tinggi sehingga berujung kegagalan.
"UTBK ada strategi, anak-anak mau masuk salah satu jurusan yang peminatnya banyak, pesaingnya banyak. Jadi, maunya tinggi tetapi komitmennya enggak begitu tinggi sehingga akhirnya gagal," kata dia dalam sebuah konferensi pers virtual, Selasa.
Menurut Untung, bila pada nantinya anak bisa mengukur kemampuannya, mengatur kembali pilihan jurusan bisa dilakukan. Misalnya, memilih jurusan dengan tingkat persaingan yang tidak terlalu tinggi, namun sesuai dengan minatnya.
Memilih jurusan yang sama di kampus berbeda dari pilihan awal juga bisa menjadi jalan keluar saat anak kembali mengikuti ujian pada kesempatan lain.
Tak hanya perkara kemampuan, kebiasaan menunda-nunda belajar juga bisa menjadi penyebab kegagalan dalam ujian. Untung mengatakan, orang cenderung berorientasi pada tujuan jangka pendek sehingga mudah sekali melihat apa yang ada di depan matanya.
Terkadang, pilihan untuk main bersama teman seperti naik gunung yang tinggal menghitung jam lebih menarik ketimbang mempersiapkan diri untuk UTBK yang masih beberapa bulan mendatang.
Selain itu, anak-anak juga cenderung tidak bisa menjaga konsistensi semisal dalam hal motivasi, ditambah tak ada sosok yang bisa mengajari sehingga kemampuan belajar mereka pun kecil. Pada akhirnya, motivasi yang mungkin awalnya tinggi perlahan menjadi mulai turun.
Penyebab lainnya, menurut Untung yakni faktor dukungan dari orang tua dan keluarga pada anak. Orang tua disarankan memberikan opsi pada anak terkait pilihannya, bagaimana menjalaninya dan di sisi lain orang tua memberi pandangan mereka.
Pada dasarnya, anak bisa mengambil keputusan yang baik walau tidak sempurna ketika informasi dia miliki. Hanya sayangnya, tak semua anak memiliki wawasan yang dia perlukan.
"Tugas orang tua memberi wawasan. Ketika wawasan sudah diberikan dan dia memilih kalau good enough buat orang tua yasudah, kalau belum orang tua bisa menginfluence. Seringkali cara memanage ekspektasi dan support tidak match sehingga anak stres dan jadi gagal," papar Untung.
Bangkitkan optimisme anak usai episode kegagalan
Sebuah kabar baik, ujian salah satunya UTBK-SBMPTN memberi kesempatan pada siswa yang pernah gagal untuk kembali mengikuti ujian serupa hingga dua tahun berturut-turut. Siswa yang sudah lulus SMA bisa mengikuti ujian ini sebanyak tiga kali dalam tiga tahun berturut-turut.
Namun pertanyaannya, apakah motivasi dan optimisme mereka bisa sama atau bahkan lebih tinggi dari sebelumnya? Jika tidak, bagaimana membangkitkannya?
Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan sebenarnya anak-anak ini memiliki satu kelebihan dibandingkan mereka yang baru kali pertama mengikuti ujian.
Anak-anak yang pernah gagal lalu mencoba kembali umumnya sudah mengenali situasi dan merasakan momentum-momentum stres serta kegugupan menjelang hingga saat ujian.
"Kalau kita gambarkan otot-otot di badannya itu sudah pernah mengalami hal itu. Kalau anak-anak yang baru UTBK ini mungkin nervous-nya level 7 dia mungkin sudah 5 karena pernah mengalami sebelumnya," tutur Vera.
Di sini, mereka memerlukan bantuan baik itu dari orang tua ataupun keluarganya untuk mengembalikan optimisme dan motivasinya sekali lagi.
Anak-anak perlu diberi pemahaman alasan kegagalan pada ujian sebelumnya. Apakah faktor jurusan di PTN yang kurang realistis bagi dia, situasi tertentu yang membuatnya drop saat ujian.
Di sisi lain, ajari anak memiliki rencana lain bila hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Vera mengatakan, walaupun UTBK penting, tetapi ini bukan satu-satunya jalan untuk anak bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
"Ini perlu ditanamkan pada anak-anak. Kalau misalnya tidak masuk, planning-nya apa," kata dia.
Menurut Vera, ada satu hal yang bisa membuat anak-anak jatuh, rapuh, frustasi itu yakni karena dia tidak bisa melihat jalan lain. Mereka tidak pernah diajak melihat ada pilihan lain.
Terkadang, orang tua atau orang di sekitar anak enggan atau tidak memberikan wawasan pada anak terkait adanya pilihan lain dengan berbagai alasan, salah satunya khawatir anak tak fokus pada pilihan awalnya.
Vera mengatakan, cara berpikir ini salah. Menurut dia, memberikan anak-anak memungkinkan mereka bisa lebih leluasa bergerak dalam hidupnya sehingga tidak terbatas pada satu jalur itu saja.
Selain itu, jangan lupa tanyakan pada anak tentang apa yang dia suka dan inginkan dalam hidupnya. Seiring perkembangan anak, cara berpikirnya pun bisa berubah. Inilah yang bisa mengubah pertanyaan siapa dirinya dan apa yang dia suka.
Dengan demikian, pesan penting bagi mereka yang pernah gagal dalam ujian, yakni mengevaluasi penyebab kegagalan bisa menjadi langkah penting sebelum mengikuti ujian di tahun berikutnya, sembari berusaha membangkitkan optimisme yang mungkin sempat redup usai episode kegagalan.