Jakarta (ANTARA) - Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) nonaktif Nurdin Abdullah divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap dan gratifikasi senilai 350 ribu dolar Singapura dan Rp8,087 miliar.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Nurdin Abdullah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif pertama dan kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun ditambah denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Ibrahim, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar, Senin malam.
Sidang dilakukan dengan menggunakan fasilitas teleconference, dengan Nurdin Abdullah mengikuti sidang dari Gedung KPK Jakarta, sedangkan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dan sebagian penasihat hukum hadir di Pengadilan Negeri Makassar, Sulsel.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Nurdin Abdullah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Nurdin dinyatakan terbukti melakukan dua dakwaan, yaitu dakwaan kesatu pertama dari Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan dakwaan kedua Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Menetapkan agar terdakwa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp2,187 miliar dan 350 ribu dolar Singapura selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap," kata hakim.
Bila Nurdin Abdullah tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda Nurdin akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
"Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama 3 tahun," ujar hakim pula.
Majelis hakim juga menetapkan pencabutan hak politik Nurdin dalam periode tertentu.
"Menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," kata hakim.
Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan Nurdin.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga yang perlu dinafkahi, sopan dan kooperatif serta tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang mengakibatkan persidangan tidak lancar," ujar hakim.
Dalam dakwaan pertama, Nurdin Abdullah terbukti menerima suap dari Agung Sucipto selaku pemilik PT Agung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Sepang Bulukumba senilai Rp2,5 miliar dan 150 ribu dolar Singapura.
Nurdin Abdullah meminta agar Agung Sucipto dapat memberikan uang untuk membantu partai yang mendukung kepala daerah yang akan mengikuti pilkada, lalu Nurdin menerima uang tunai sejumlah 150 ribu dolar Singapura dari Agung Sucipto.
Nurdin pada 2019 lalu mengangkat orang-orang kepercayaannya di Pemprov Sulsel, yaitu Plt Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sari Pudjiastuti, dan Edy Rahmat sebagai Kasi Bina Marga Dinas PUTR.
Nurdin meminta Sari Pudjiastuti agar memenangkan beberapa kontraktor dalam pelelangan, di antaranya adalah Agung Sucipto untuk paket pekerjaan Jalan Ruas Palampang-Munte-Botolempangan 1 yang dananya bersumber dari Dana PEN Tahun Anggaran 2020.
Sari pun memenangkan PT Cahaya Sepang Bulukumba milik Agung Sucipto yaitu paket Jalan Ruas Palampang-Munte-Botolempangan 1 yang dananya bersumber dari Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Tahun Anggaran 2020 TA 2020 dengan pagu anggaran Rp19.295.078.867,18, dengan kontrak sebesar Rp19.062.235.132,34.
Pada 21 Februari 2021, Agung lalu menyiapkan uang sejumlah Rp2,5 miliar dengan rincian Rp1,45 miliar dari rekening pribadi Agung, dan Rp1,05 miliar dari Harry Syamsuddin.
Agung lalu menyerahkan uang itu kepada Edy Rahmat pada 26 Februari 2021 sekitar pukul 20:25 WITA, di pinggir jalan tidak jauh Rumah Makan Nelayan Makassar.
Dalam dakwaan kedua, Nurdin Abdullah dinilai terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp5,587 miliar dan 200 ribu dolar Singapura terkait dengan jabatannya sebagai Gubernur Sulsel periode 2018-2023.
Sejak 5 September 2018 sampai 26 Februari 2021, Nurdin dinilai terbukti menerima gratifikasi berupa uang yang berasal dari para kontraktor dan Direksi Bank Sulselbar maupun rekening Sulsel Peduli Bencana, yaitu:
1. Pada pertengahan tahun 2020 menerima uang yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti dari kontraktor/pemilik PT Gangking Raya dan CV Michella Robert Wijoyo.
2. Pada 18 Desember 2020 menerima uang Rp2 miliar masing-masing Rp1 miliar dari kontraktor/pemilik PT Mega Bintang Utama dan PT Bumi Ambalat, Nuwardi bin Pakki alias H Momo dan Haji Andi Indar.
"Telah diterima uang sebesar Rp2 miliar dari Haji Momo dan Haji Andi Indar melalui Sari Pudjiastuti yang diserahkan kepada terdakwa sebesar Rp800 juta dan dibayarkan oleh M Irham Samad untuk membeli mesin 'speed boat' sebesar Rp355 juta dan 2 unit 'jetski' yang dibeli terdakwa sebesar Rp797 juta dan sisanya Rp48 juta diambil oleh M Fathul Fauzi Nurdin," ujar hakim.
3. Pada Januari 2021 menerima uang 200 ribu dolar Singapura dari Nuwardi alias H Momo.
4. Pada Februari 2021 menerima sejumlah Rp2,2 miliar dari kontraktor/Komisaris Utama PT Karya Pare Sejahtera Fery Tanriady.
"Dalam pandangan majelis hakim, yang menerima Rp2,2 miliar adalah terdakwa sendiri, terlepas apakah uang itu untuk membantu pembangunan masjid, tapi seperti keterangan terdakwa bahwa Fery Fandriady memberikan uang tersebut tidak terlepas posisi terdakwa sebagai gubernur dan yang menerima uang adalah terdakwa sendiri bukan pengurus masjid," kata hakim.
5. Pada Februari 2021 menerima Rp1 miliar dari kontraktor/pemilik PT Lompulle bernama Haeruddin.
"Karena yang menerima uang Rp1 miliar adalah terdakwa sendiri, terlepas apakah uang akan digunakan untuk pembangunan masjid atau tidak dan belum ada fakta hukum yang menunjukkan uang akan digunakan untuk pembangunan masjid meski terdakwa sudah sering membantu masjid, sehingga dapat disimpulkan uang yang diterima dari Haeruddin adalah untuk kepentingan terdakwa," kata hakim.
6. Pada April 2020 - Februari 2021 untuk kepentingannya menerima uang senilai Rp387,6 juta dari kontraktor/Direktur CV Mimbar Karya Utama Kwan Sakti Rudy Moha.
Terkait perkara ini mantan Kasi Bina Marga Dinas PUTR Edy Rahmat telah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan, karena terbukti menjadi perantara penerima suap dari Agung Sucipto untuk Nurdin Abdullah.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Nurdin Abdullah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif pertama dan kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun ditambah denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Ibrahim, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar, Senin malam.
Sidang dilakukan dengan menggunakan fasilitas teleconference, dengan Nurdin Abdullah mengikuti sidang dari Gedung KPK Jakarta, sedangkan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dan sebagian penasihat hukum hadir di Pengadilan Negeri Makassar, Sulsel.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Nurdin Abdullah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Nurdin dinyatakan terbukti melakukan dua dakwaan, yaitu dakwaan kesatu pertama dari Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan dakwaan kedua Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Menetapkan agar terdakwa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp2,187 miliar dan 350 ribu dolar Singapura selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap," kata hakim.
Bila Nurdin Abdullah tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda Nurdin akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
"Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama 3 tahun," ujar hakim pula.
Majelis hakim juga menetapkan pencabutan hak politik Nurdin dalam periode tertentu.
"Menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," kata hakim.
Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan Nurdin.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga yang perlu dinafkahi, sopan dan kooperatif serta tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang mengakibatkan persidangan tidak lancar," ujar hakim.
Dalam dakwaan pertama, Nurdin Abdullah terbukti menerima suap dari Agung Sucipto selaku pemilik PT Agung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Sepang Bulukumba senilai Rp2,5 miliar dan 150 ribu dolar Singapura.
Nurdin Abdullah meminta agar Agung Sucipto dapat memberikan uang untuk membantu partai yang mendukung kepala daerah yang akan mengikuti pilkada, lalu Nurdin menerima uang tunai sejumlah 150 ribu dolar Singapura dari Agung Sucipto.
Nurdin pada 2019 lalu mengangkat orang-orang kepercayaannya di Pemprov Sulsel, yaitu Plt Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sari Pudjiastuti, dan Edy Rahmat sebagai Kasi Bina Marga Dinas PUTR.
Nurdin meminta Sari Pudjiastuti agar memenangkan beberapa kontraktor dalam pelelangan, di antaranya adalah Agung Sucipto untuk paket pekerjaan Jalan Ruas Palampang-Munte-Botolempangan 1 yang dananya bersumber dari Dana PEN Tahun Anggaran 2020.
Sari pun memenangkan PT Cahaya Sepang Bulukumba milik Agung Sucipto yaitu paket Jalan Ruas Palampang-Munte-Botolempangan 1 yang dananya bersumber dari Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Tahun Anggaran 2020 TA 2020 dengan pagu anggaran Rp19.295.078.867,18, dengan kontrak sebesar Rp19.062.235.132,34.
Pada 21 Februari 2021, Agung lalu menyiapkan uang sejumlah Rp2,5 miliar dengan rincian Rp1,45 miliar dari rekening pribadi Agung, dan Rp1,05 miliar dari Harry Syamsuddin.
Agung lalu menyerahkan uang itu kepada Edy Rahmat pada 26 Februari 2021 sekitar pukul 20:25 WITA, di pinggir jalan tidak jauh Rumah Makan Nelayan Makassar.
Dalam dakwaan kedua, Nurdin Abdullah dinilai terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp5,587 miliar dan 200 ribu dolar Singapura terkait dengan jabatannya sebagai Gubernur Sulsel periode 2018-2023.
Sejak 5 September 2018 sampai 26 Februari 2021, Nurdin dinilai terbukti menerima gratifikasi berupa uang yang berasal dari para kontraktor dan Direksi Bank Sulselbar maupun rekening Sulsel Peduli Bencana, yaitu:
1. Pada pertengahan tahun 2020 menerima uang yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti dari kontraktor/pemilik PT Gangking Raya dan CV Michella Robert Wijoyo.
2. Pada 18 Desember 2020 menerima uang Rp2 miliar masing-masing Rp1 miliar dari kontraktor/pemilik PT Mega Bintang Utama dan PT Bumi Ambalat, Nuwardi bin Pakki alias H Momo dan Haji Andi Indar.
"Telah diterima uang sebesar Rp2 miliar dari Haji Momo dan Haji Andi Indar melalui Sari Pudjiastuti yang diserahkan kepada terdakwa sebesar Rp800 juta dan dibayarkan oleh M Irham Samad untuk membeli mesin 'speed boat' sebesar Rp355 juta dan 2 unit 'jetski' yang dibeli terdakwa sebesar Rp797 juta dan sisanya Rp48 juta diambil oleh M Fathul Fauzi Nurdin," ujar hakim.
3. Pada Januari 2021 menerima uang 200 ribu dolar Singapura dari Nuwardi alias H Momo.
4. Pada Februari 2021 menerima sejumlah Rp2,2 miliar dari kontraktor/Komisaris Utama PT Karya Pare Sejahtera Fery Tanriady.
"Dalam pandangan majelis hakim, yang menerima Rp2,2 miliar adalah terdakwa sendiri, terlepas apakah uang itu untuk membantu pembangunan masjid, tapi seperti keterangan terdakwa bahwa Fery Fandriady memberikan uang tersebut tidak terlepas posisi terdakwa sebagai gubernur dan yang menerima uang adalah terdakwa sendiri bukan pengurus masjid," kata hakim.
5. Pada Februari 2021 menerima Rp1 miliar dari kontraktor/pemilik PT Lompulle bernama Haeruddin.
"Karena yang menerima uang Rp1 miliar adalah terdakwa sendiri, terlepas apakah uang akan digunakan untuk pembangunan masjid atau tidak dan belum ada fakta hukum yang menunjukkan uang akan digunakan untuk pembangunan masjid meski terdakwa sudah sering membantu masjid, sehingga dapat disimpulkan uang yang diterima dari Haeruddin adalah untuk kepentingan terdakwa," kata hakim.
6. Pada April 2020 - Februari 2021 untuk kepentingannya menerima uang senilai Rp387,6 juta dari kontraktor/Direktur CV Mimbar Karya Utama Kwan Sakti Rudy Moha.
Terkait perkara ini mantan Kasi Bina Marga Dinas PUTR Edy Rahmat telah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan, karena terbukti menjadi perantara penerima suap dari Agung Sucipto untuk Nurdin Abdullah.