Jakarta (ANTARA) - Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengungkap kejahatan jaringan pembuat dan pengedar obat ilegal yang beroperasi tanpa izin di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Agus Andrianto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, mengatakan pabrik obat ilegal tersebut memproduksi bermacam-macam obat keras yang peredarannya dilarang BPOM RI, seperti Trihex, DMP, Double L, Irgaphan 20 Mg, dan Hexymer.
"Pabrik ini tidak memiliki izin, tapi memproduksi dan menjual obat keras yang dilarang peredarannya," kata Agus.
Dalam perkara ini, sebanyak tiga tersangka ditangkap. Mereka merupakan pembuat dan pengedar obat ilegal jaringan DIY-Jawa Barat-Jakarta-Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.
Menurut Agus, obat keras yang diproduksi dan diedarkan secara ilegal tersebut memiliki efek buruk bagi kesehatan.
"Obat terlarang ini bisa menimbulkan efek depresi, sulit berkonsentrasi, mudah marah, dan gangguan koordinasi seperti kesulitan berjalan atau berbicara, kejang-kejang, serta cemas/halusinasi," kata Agus.
Agus menjelaskan pengungkapan kasus berawal ketika tim penyidik melakukan penyelidikan terkait dugaan jual beli obat keras tersebut di kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, Jawa Barat dan kawasan Jakarta Timur.
Dari hasil penyelidikan itu, polisi menangkap Maskuri dan delapan orang lainnya yang mengedarkan. Kemudian tim penyidik melakukan pengembangan.
Hasil pemeriksaan, lanjut Agus, Maskuri dan rekannya mengaku kepada penyidik bahwa obat keras tersebut diproduksi di wilayah D.I.Yogyakarta.
Berbekal informasi itu, penyidik Bareskrim langsung berkoordinasi dengan Polda D.I.Yogyakarta untuk melakukan pengembangan.
Lebih lanjut, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar menambahkan pabrik, gudang pembuatan, dan penyimpanan obat keras tersebut ditemukan penyidik pada tanggal 21 September 2021, sekitar pukul 23.00 WIB.
Gudang dan pabrik obat ilegal tersebut ditemukan di Jalan PGRI I Sonosewu Nomor 158, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta
Di pabrik itu, kata dia, petugas menangkap tersangka Wisnu Zulan. Lalu, meminta keterangan Ardi selaku saksi.
Selain menemukan obat terlarang, katanya, petugas menemukan mesin dan bahan baku yang digunakan para pelaku untuk memproduksi obat terlarang itu.
"Ada juga kardus kemasan siap pakai," ujar Krisno.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku dan saksi, lanjut Krisno, pabrik itu dipimpin oleh seorang bernama Leonardus Susanto Kincoro alias Daud.
Hasil pengembangan, penyidik menangkap Daud di Perum Griya Taman Mas, Karang Jati, Dusun Jetis, Desa Taman Tirto, Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Daud memiliki satu pabrik lagi di sebuah gudang yang terletak di Jalan Siliwangi, Ring Road Barat, Pelem Gurih, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta.
Polisi langsung menyelidiki tempat yang diduga menjadi gudang pembuatan obat ilegal. Pada 22 September 2021, polisi menggeledah pabrik tersebut. Dari penggeledahan itu, polisi menemukan obat keras jenis Hexymer, Thirex, DMP, dan Doubel L. Lalu, polisi menyita mesin, bahan baku, dan kardus kemasan siap pakai.
Kepada penyidik Daud menyebut pemilik semua pabrik itu adalah Joko Slamet Riyadi Widodo yang merupakan abang kandungnya.
"Kemudian, kami lakukan penangkapan terhadap Joko pada 22 September 2021 di Jalan Kabupaten KM 2, Dusun Biru, Desa Tri Hanggo Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta," ujar Krisno.
Selang beberapa hari kemudian, lanjut Krisno, pihaknya kembali menangkap pelaku lainnya bernama Sri Astuti.
Penyidik menetapkan sebagai tersangka, Sri berperan sebagai pemasok bahan baku yang digunakan untuk produksi obat di kedua pabrik tersebut.
"Dari pemeriksaan para tersangka, pabrik obat keras illegal tersebut sudah beroperasi selama dua tahun. Dalam sehari memproduksi dua juta butir obat keras berbagai jenis," kata Krino.
Dari pengungkapan tersebut polisi menyita sejumlah barang bukti berupa satu unit truk Colt Disel benomor polisi AB 8608 IS dan sebanyak 30.345.000 butir obat keras yang dikemas menjadi 1.200 koli paket dus.
Kemudian, sembilan mesin cetak pil Hexymer, DMP, Doubel L, lima mesin oven obat, dua mesin pewarna obat, satu mesin cording/printing untuk pencetak, 300 sak lactose dengan berat total sekitar 800 kg, 100 kg adonan bahan pembuatan obat keras, 500 Kardus warna cokelat, dan 500 botol kosong tempat penyimpanan obat keras.
Krisno mengatakan para tersangka dijerat Pasal 60 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tas perubahan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan subsider Pasal 196 dan/atau Pasal 198 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Juncto Pasal 55 KUHP. Dengan ancaman pidana selama 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar subsider 10 tahun penjara.
Selain itu, para tersangka dijerat Pasal 60 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
"Para tersangka dilakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri," kata Krisno.
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Agus Andrianto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, mengatakan pabrik obat ilegal tersebut memproduksi bermacam-macam obat keras yang peredarannya dilarang BPOM RI, seperti Trihex, DMP, Double L, Irgaphan 20 Mg, dan Hexymer.
"Pabrik ini tidak memiliki izin, tapi memproduksi dan menjual obat keras yang dilarang peredarannya," kata Agus.
Dalam perkara ini, sebanyak tiga tersangka ditangkap. Mereka merupakan pembuat dan pengedar obat ilegal jaringan DIY-Jawa Barat-Jakarta-Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.
Menurut Agus, obat keras yang diproduksi dan diedarkan secara ilegal tersebut memiliki efek buruk bagi kesehatan.
"Obat terlarang ini bisa menimbulkan efek depresi, sulit berkonsentrasi, mudah marah, dan gangguan koordinasi seperti kesulitan berjalan atau berbicara, kejang-kejang, serta cemas/halusinasi," kata Agus.
Agus menjelaskan pengungkapan kasus berawal ketika tim penyidik melakukan penyelidikan terkait dugaan jual beli obat keras tersebut di kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, Jawa Barat dan kawasan Jakarta Timur.
Dari hasil penyelidikan itu, polisi menangkap Maskuri dan delapan orang lainnya yang mengedarkan. Kemudian tim penyidik melakukan pengembangan.
Hasil pemeriksaan, lanjut Agus, Maskuri dan rekannya mengaku kepada penyidik bahwa obat keras tersebut diproduksi di wilayah D.I.Yogyakarta.
Berbekal informasi itu, penyidik Bareskrim langsung berkoordinasi dengan Polda D.I.Yogyakarta untuk melakukan pengembangan.
Lebih lanjut, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar menambahkan pabrik, gudang pembuatan, dan penyimpanan obat keras tersebut ditemukan penyidik pada tanggal 21 September 2021, sekitar pukul 23.00 WIB.
Gudang dan pabrik obat ilegal tersebut ditemukan di Jalan PGRI I Sonosewu Nomor 158, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta
Di pabrik itu, kata dia, petugas menangkap tersangka Wisnu Zulan. Lalu, meminta keterangan Ardi selaku saksi.
Selain menemukan obat terlarang, katanya, petugas menemukan mesin dan bahan baku yang digunakan para pelaku untuk memproduksi obat terlarang itu.
"Ada juga kardus kemasan siap pakai," ujar Krisno.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku dan saksi, lanjut Krisno, pabrik itu dipimpin oleh seorang bernama Leonardus Susanto Kincoro alias Daud.
Hasil pengembangan, penyidik menangkap Daud di Perum Griya Taman Mas, Karang Jati, Dusun Jetis, Desa Taman Tirto, Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Daud memiliki satu pabrik lagi di sebuah gudang yang terletak di Jalan Siliwangi, Ring Road Barat, Pelem Gurih, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta.
Polisi langsung menyelidiki tempat yang diduga menjadi gudang pembuatan obat ilegal. Pada 22 September 2021, polisi menggeledah pabrik tersebut. Dari penggeledahan itu, polisi menemukan obat keras jenis Hexymer, Thirex, DMP, dan Doubel L. Lalu, polisi menyita mesin, bahan baku, dan kardus kemasan siap pakai.
Kepada penyidik Daud menyebut pemilik semua pabrik itu adalah Joko Slamet Riyadi Widodo yang merupakan abang kandungnya.
"Kemudian, kami lakukan penangkapan terhadap Joko pada 22 September 2021 di Jalan Kabupaten KM 2, Dusun Biru, Desa Tri Hanggo Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta," ujar Krisno.
Selang beberapa hari kemudian, lanjut Krisno, pihaknya kembali menangkap pelaku lainnya bernama Sri Astuti.
Penyidik menetapkan sebagai tersangka, Sri berperan sebagai pemasok bahan baku yang digunakan untuk produksi obat di kedua pabrik tersebut.
"Dari pemeriksaan para tersangka, pabrik obat keras illegal tersebut sudah beroperasi selama dua tahun. Dalam sehari memproduksi dua juta butir obat keras berbagai jenis," kata Krino.
Dari pengungkapan tersebut polisi menyita sejumlah barang bukti berupa satu unit truk Colt Disel benomor polisi AB 8608 IS dan sebanyak 30.345.000 butir obat keras yang dikemas menjadi 1.200 koli paket dus.
Kemudian, sembilan mesin cetak pil Hexymer, DMP, Doubel L, lima mesin oven obat, dua mesin pewarna obat, satu mesin cording/printing untuk pencetak, 300 sak lactose dengan berat total sekitar 800 kg, 100 kg adonan bahan pembuatan obat keras, 500 Kardus warna cokelat, dan 500 botol kosong tempat penyimpanan obat keras.
Krisno mengatakan para tersangka dijerat Pasal 60 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tas perubahan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan subsider Pasal 196 dan/atau Pasal 198 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Juncto Pasal 55 KUHP. Dengan ancaman pidana selama 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar subsider 10 tahun penjara.
Selain itu, para tersangka dijerat Pasal 60 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
"Para tersangka dilakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri," kata Krisno.