Kendari (ANTARA) - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) membantah dugaan penggelembungan (markup) harga dalam kegiatan pengadaan wastafel portable cuci tangan Tahun Anggaran 2020.

"Terkait pengadaan wastafel portable cuci tangan 2020 sudah clear, baik antara Dikbud Sultra, pihak ketiga, dan tim asistensi anggaran, yakni di antaranya Kejaksaan, BPKP, Biro Hukum, hingga Inspektorat. Awal pengajuan harga kan sekitar Rp 7 juta lebih, namun setelah melalui asistensi, rupanya masih ada kemahalan harga, kemudian dilakukan penyesuaian kembali menjadi Rp 6 juta sekian," kata Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra La Ode Fasikin MSi di Kendari, Rabu.

La Ode Fasikin yang juga sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) pengadaan wastafel portable cuci tangan tahun anggaran 2020 ini juga mengatakan, itu pun setelah pihak ketika melakukan kegiatan, pihak Dikbud Sultra tetap mengikat perjanjian dengan pihak penyedia bahwa jika sewaktu-waktu hasil audit dari tim asistensi masih terdapat kemahalan harga, maka pihak penyedia atau pihak ketiga bersedia melakukan pengembalian.

Meskipun hasil audit menyatakan masih terdapat kemahalan harga terhadap pengadaan 1.000 unit pengadaan wastafel portable cuci tangan Tahun anggaran 2020, namun itu telah clear sebab pihak ketiga atau penyedia telah melakukan pengembalian, jadi tidak ada markup atau korupsi di dalamnya.

"Jadi sejak awal hingga akhir, kami sebagai PPTK terus melakukan asistensi setiap saat. Jadi tidak ada harganya Rp 6 juta sekian, lalu tandatangan kwitansi Rp 7 juta sekian. Ini uang negara, kita tidak bisa main-main sebab ada tanggung jawab moril dan mendapatkan pengawasan sejak awal hingga akhir dari tim asistensi ini," terangnya.

La Ode Fasikin tidak menyesali adanya kritikan dari pihak tertentu terhadap pengadaan barang jasa tersebut, sebab sebagai abdi negara merupakan salah satu risiko yang harus diterima dan juga sebagai kontrol.

Hanya saja, lanjutnya, sangat disayangkan jika pada era keterbukaan informasi dan kebebasan menyampaikan pendapat, mengabaikan etika dan norma, dengan langsung menetapkan seseoarang atau lembaga melakukan markup atau korupsi bahkan melangkahi lembaga-lembaga yang lebih berkompeten melakukan tugas pengawasan maupun audit.

Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Sultra Asrun Lio, secara terpisah, mengungkapkan mekanisme pengadaan barang dan jasa di masa pandemi Covid-19 sesuai dengan aturan yang ada, termasuk pengadaan 1000 unit pengadaan wastafel portable cuci tangan Tahun Anggaran 2020.

Lanjut lulusan S3 The Australian National University (ANU) Canberra ini bahwa pengelolaan anggaran bersumber dari dana penanggulangan COVID-19 Dikbud Sultra, melalui program pengadaan alat kesehatan seperti alat cuci tangan menggunakan tandon untuk mematuhi protokol kesehatan di area institusi pendidikan mengacu pada surat edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dengan melakukan pengadaan langsung melalui penyedia dengan harga sementara yang tertuang dalam RKA.

Jadi, pengadaan alat cuci tangan menggunakan tandon dilakukan secara transparan dan akuntabel. Sebab, proses pengadaannya melalui beberapa tahapan dan didampingi tim asistensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan pihak terkait.

Ia menjelaskan, pengelolaan perbendaharaan dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan penuh keterbukaan. Setiap tahapan selalu di asistensi oleh tim APIP yang didalamnya tergabung dari Kejaksaan, BPKP, Biro Hukum, Inspektorat dan OPD yang tergabung dalam pengadaan barang dan jasa itu. Jadi semua yang terlibat diminta atau tidak diminta mereka akan memberikan asistensinya.

Terkait pengadaan tempat cuci tangan di sekolah, kata Asrun Lio, Dikbud telah membuat rencana pembiayaan kegiatan yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dengan nilai satuannya Rp7,5 juta per unit. Namun angka tersebut tidak menjadi angka mutlak yang harus dibelanjakan tetapi ada prosedur yang harus dilalui.

"Anggara Rp7,5 juta di RKA tidak menjadi angka mutlak tetapi ada prosedurnya. Misal kita harus melalui proses negosisasi dengan penyedia, lalu ada kesepakatan harga sesuai harga rill di lapangan. Karena setiap tim dalam tim asistensi mempertanyakan harga sampai satuan terkecil. Misal pihak kejaksaan mempertanyakan bagaimana dengan pengadaan, itu diasistensi oleh tim sampai ada kesepakatan harga kemudian dikontrak," jelas mantan Kepala Pusat Studi Eropa UHO ini.

Pewarta : Abdul Azis Senong
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024