Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan kasus meninggalnya tiga siswa yang diduga karena depresi dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) merupakan peringatan bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem belajar daring tersebut.
"Jangan dianggap seolah-olah PJJ ini baik-baik saja. Kalau ada anak yang sampai meninggal tiga orang berarti ada yang tidak beres," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Oleh karena itu, lanjut dia, harus ada monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan PJJ. Sebab, dikhawatirkan dapat menambah korban lainnya yang diduga karena depresi.
Di sisi lain, Retno menyadari dilematis apabila sekolah melakukan pembelajaran tatap muka dalam kondisi pandemi COVID-19 yang belum kunjung mereda. Namun, jika PJJ tetap diperpanjang maka harus ada perbaikan.
"Ini kan sudah masuk fase kedua, fase pertama itu Maret hingga Juni. Makanya harus ada perubahan," katanya.
Sejauh ini, KPAI menilai belum ada perubahan yang signifikan dari implementasi PJJ di Tanah Air, meskipun Kementerian Pendidikan (Kemendikbud) telah mengeluarkan sejumlah kebijakan.
Dari hasil tinjauan lapangan yang dilakukan oleh KPAI, banyak sekolah kebingungan dengan penerapan PJJ. Padahal, sebenarnya panduan PJJ sudah ada di surat edaran Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut, katanya, jelas menerangkan apa saja yang mesti dilakukan guru, sekolah hingga orang tua. Namun, problem yang terjadi ialah beberapa daerah tidak tahu karena kurangnya sosialisasi.
"Jadi dinas pendidikan juga tidak pernah menyosialisasikan kepada sekolah," ujarnya.
Artinya, kata dia, Kemendikbud memiliki masalah dalam hal sosialisasi kepada daerah, dinas pendidikan dan tingkat satuan pendidikan yang berdampak pada pelaksanaan PJJ.
Sebagaimana diketahui, tiga siswa yang meninggal tersebut terjadi di tingkat sekolah dasar yang diduga adanya penganiayaan oleh orang tua, kemudian siswi sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Gowa bunuh diri dan satu pelajar madrasyah tsanawiyah (MTs) di Kota Tarakan.
"Jangan dianggap seolah-olah PJJ ini baik-baik saja. Kalau ada anak yang sampai meninggal tiga orang berarti ada yang tidak beres," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Oleh karena itu, lanjut dia, harus ada monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan PJJ. Sebab, dikhawatirkan dapat menambah korban lainnya yang diduga karena depresi.
Di sisi lain, Retno menyadari dilematis apabila sekolah melakukan pembelajaran tatap muka dalam kondisi pandemi COVID-19 yang belum kunjung mereda. Namun, jika PJJ tetap diperpanjang maka harus ada perbaikan.
"Ini kan sudah masuk fase kedua, fase pertama itu Maret hingga Juni. Makanya harus ada perubahan," katanya.
Sejauh ini, KPAI menilai belum ada perubahan yang signifikan dari implementasi PJJ di Tanah Air, meskipun Kementerian Pendidikan (Kemendikbud) telah mengeluarkan sejumlah kebijakan.
Dari hasil tinjauan lapangan yang dilakukan oleh KPAI, banyak sekolah kebingungan dengan penerapan PJJ. Padahal, sebenarnya panduan PJJ sudah ada di surat edaran Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut, katanya, jelas menerangkan apa saja yang mesti dilakukan guru, sekolah hingga orang tua. Namun, problem yang terjadi ialah beberapa daerah tidak tahu karena kurangnya sosialisasi.
"Jadi dinas pendidikan juga tidak pernah menyosialisasikan kepada sekolah," ujarnya.
Artinya, kata dia, Kemendikbud memiliki masalah dalam hal sosialisasi kepada daerah, dinas pendidikan dan tingkat satuan pendidikan yang berdampak pada pelaksanaan PJJ.
Sebagaimana diketahui, tiga siswa yang meninggal tersebut terjadi di tingkat sekolah dasar yang diduga adanya penganiayaan oleh orang tua, kemudian siswi sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Gowa bunuh diri dan satu pelajar madrasyah tsanawiyah (MTs) di Kota Tarakan.