Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mengungkapkan sistem pengawasan rutan yang lemah memberi peluang bagi narapidana untuk menjadikannya sebagai tempat transaksi narkoba.
"Yang paling mendesak ada di tingkat pengawasan yang lemah. Kementerian Hukum dan HAM secara monitoring evaluasinya tidak berjalan," ujar Trubus di Jakarta, Selasa.
Pernyataan itu disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti itu menyikapi peristiwa penyalahgunaan narkoba yang melibatkan pengelola lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan (rutan) serta narapidana dari dalam penjara.
Salah satunya saat polisi menangkap seorang narapidana dari Lapas Salemba berinisial AU (42) dan seorang kurir ekstasi berinisial MW (36) karena diduga memproduksi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang di salah satu ruangan pribadi Rumah Sakit (RS) Swasta AR.
Menurut Trubus peristiwa pada Rabu (19/8) itu luput dari pengawasan pengelola penjara.
"Berarti ada dugaan persekongkolan, tidak mungkin berjalan kalau tidak ada yang melindungi, mereka sama-sama tahu ada aktor intelektual yang atur, ada eksekutor, dan ada jaringannya. Ini juga ada perantaranya," katanya.
Trubus juga menyoroti peristiwa seorang narapidana narkoba yang meninggal dunia dengan gejala sesak napas di Rutan Salemba pada Senin (7/9).
Kejadian narapidana berinisial HS yang meninggal dunia saat mendapatkan penanganan medis di Rumah Sakit Pengayoman Cipinang saat ini masih dalam penyelidikan otoritas terkait.
Trubus mengatakan jaringan narkoba di lingkup lapas seakan menjadi fenomena "gunung es" sebab para pelakunya telah menjalankan aksi mereka secara rapi.
"Eksekutor di lapangan bisa saja melibatkan oknum sipir. Pertanyaannya, dapat bahan baku dari mana mereka?, berarti kan ada pemasok dan ada permintaan, ada bandarnya yang tampung dari hasil produksi itu, termasuk ada yang memasarkan dan jaringan," katanya.
Dibutuhkan komitmen kuat dari para pemangku kebijakan untuk menuntaskan kasus tersebut.
"Tidak mudah dibongkar, butuh keberanian orang kuat. Kejadian itu bentuk salah langkah, perlu evaluasi juga. Harus dibersihkan. Sistem pengawasannya lemah dan pembinaannya juga. Napi bisa leluasa, berarti kan ada yang memberikan akses, siapa mereka? itu orang-orang yang perlu diganti untuk memutus mata rantai distribusi," katanya.
Sebelumnya Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Pusat Arief Gunawan mengatakan sedang menyelidiki meninggalnya seorang narapidana kasus narkoba.
"Kami sedang melakukan penyelidikan. Jadi belum bisa menyampaikan informasi lainnya," katanya.
Menurut dia, sudah ada dua pihak yang diperiksa, yaitu dari perawat dan teman-teman sekamarnya.
"Sekarang kami serahkan penyelidikan semua ke tim keamanan," ujar Arief.
"Yang paling mendesak ada di tingkat pengawasan yang lemah. Kementerian Hukum dan HAM secara monitoring evaluasinya tidak berjalan," ujar Trubus di Jakarta, Selasa.
Pernyataan itu disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti itu menyikapi peristiwa penyalahgunaan narkoba yang melibatkan pengelola lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan (rutan) serta narapidana dari dalam penjara.
Salah satunya saat polisi menangkap seorang narapidana dari Lapas Salemba berinisial AU (42) dan seorang kurir ekstasi berinisial MW (36) karena diduga memproduksi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang di salah satu ruangan pribadi Rumah Sakit (RS) Swasta AR.
Menurut Trubus peristiwa pada Rabu (19/8) itu luput dari pengawasan pengelola penjara.
"Berarti ada dugaan persekongkolan, tidak mungkin berjalan kalau tidak ada yang melindungi, mereka sama-sama tahu ada aktor intelektual yang atur, ada eksekutor, dan ada jaringannya. Ini juga ada perantaranya," katanya.
Trubus juga menyoroti peristiwa seorang narapidana narkoba yang meninggal dunia dengan gejala sesak napas di Rutan Salemba pada Senin (7/9).
Kejadian narapidana berinisial HS yang meninggal dunia saat mendapatkan penanganan medis di Rumah Sakit Pengayoman Cipinang saat ini masih dalam penyelidikan otoritas terkait.
Trubus mengatakan jaringan narkoba di lingkup lapas seakan menjadi fenomena "gunung es" sebab para pelakunya telah menjalankan aksi mereka secara rapi.
"Eksekutor di lapangan bisa saja melibatkan oknum sipir. Pertanyaannya, dapat bahan baku dari mana mereka?, berarti kan ada pemasok dan ada permintaan, ada bandarnya yang tampung dari hasil produksi itu, termasuk ada yang memasarkan dan jaringan," katanya.
Dibutuhkan komitmen kuat dari para pemangku kebijakan untuk menuntaskan kasus tersebut.
"Tidak mudah dibongkar, butuh keberanian orang kuat. Kejadian itu bentuk salah langkah, perlu evaluasi juga. Harus dibersihkan. Sistem pengawasannya lemah dan pembinaannya juga. Napi bisa leluasa, berarti kan ada yang memberikan akses, siapa mereka? itu orang-orang yang perlu diganti untuk memutus mata rantai distribusi," katanya.
Sebelumnya Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Pusat Arief Gunawan mengatakan sedang menyelidiki meninggalnya seorang narapidana kasus narkoba.
"Kami sedang melakukan penyelidikan. Jadi belum bisa menyampaikan informasi lainnya," katanya.
Menurut dia, sudah ada dua pihak yang diperiksa, yaitu dari perawat dan teman-teman sekamarnya.
"Sekarang kami serahkan penyelidikan semua ke tim keamanan," ujar Arief.