Jakarta (ANTARA) - Konten media sosial dan konten media massa di jagad maya kerap menimbulkan pro dan kontra yang menjadi buah bibir di masyarakat.
Kendati masyarakat akar rumput kerap membanding-bandingkan keduanya, namun media massa tidak menjadikan media sosial sebagai saingan.
"Media sosial dan jurnalisme (media massa) saling melengkapi," tulis Aliansi Jurnalis Independen dalam situs resminya aji.or.id pada Jumat (13/7/2012).
AJI menulis bahwa kebenaran yang terdapat di media sosial dan media massa tidak dapat disebut sebagai suatu persaingan.
Faktanya, kedua sarana itu hanyalah sebagai penyampai informasi yang saling melengkapi satu sama lain.
Karena itulah, keduanya bisa saling memberi referensi satu sama lain untuk membuat konten informasi baru yang lebih baik lainnya.
Informasi yang didapat dari media sosial dapat dipakai sebagai referensi awal dalam membuat berita. Media sosial dapat dimanfaatkan media massa untuk memantau dan mengoreksi berita.
Dan jangan lupakan media cetak, karena di sana lah informasi dari media sosial dan media massa itu dapat disampaikan secara utuh kepada pembaca. Dan juga media televisi, bisa memuat informasi bergambar yang mungkin tidak bisa diakses oleh penduduk Indonesia yang tidak memiliki kuota internet nun jauh di sana.
Membanding-bandingkan media sosial dan media massa adalah sebuah distorsi atau penyimpangan, karena sebetulnya keduanya tidak saling bermusuhan.
Lalu mengapa ada saja yang sibuk mengomentari untuk membandingkan keduanya? Jawabannya mungkin cuma dua. Pertama, pelaku hanya ingin 'panjat sosial', atau pelaku justru ingin mendistorsi informasi yang sebenarnya kredibel menjadi tidak kredibel.
Mengapa pelaku bisa 'panjat sosial'? Karena pelaku tahu bahwa warga internet suka dengan adanya konflik. Pelaku ingin mengambil kesempatan dengan memicu konflik yang berakhir dengan banyaknya orang dunia maya yang mengikuti mereka.
Tak jarang, mereka bahkan ikut nimbrung dengan membuat akun 'fiktif', hanya untuk memanaskan situasi. Sehingga konten adu domba mereka semakin banyak dilihat dan akhirnya pengikut (followers) pun meningkat.
Perdebatan demi perdebatan yang terjadi adalah panggung bagi para penikmat panjat sosial ini.
Dan entah mengapa warganet kadang menjadikan mereka sebagai influencer dadakan, bahkan untuk tindakan 'nyeleneh'.
Yang kedua, ada orang-orang yang sengaja mendistorsi informasi-informasi yang dikeluarkan media massa atau media sosial, sehingga yang awalnya kredibel menjadi tidak kredibel.
Contohnya, ketika ada bencana pandemi COVID-19, informasi kredibel yang disampaikan seperti menjaga jarak fisik, memakai masker, mencuci tangan. Namun informasi kemudian dipecah dengan munculnya informasi yang mengarah-arahkan pandemi ini ke arah konspirasi.
Tujuannya, agar menjadikan orang-orang malas mencari informasi yang benar.
Efeknya, bagi masyarakat di perkotaan mungkin tidak terlalu terasa. Tapi mereka yang ada nun jauh di sana lebih terasa. Masyarakat yang diberi asupan informasi konspirasi COVID-19 menjadi tidak percaya adanya pandemi tersebut.
Robot dunia maya
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menjelaskan bahwa opini publik sehari-hari sering juga disetir oleh robot-robot (bot) di dunia maya.
Giri mencontohkan penggiringan opini dan framing yang coba dilakukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi perang informasi media sosial itu pakai metodologi. Perang bertujuan membuat bimbang sikap publik pada pemberantasan korupsi. Dalam rangka menggiring opini pembenaran atau justifikasi, digunakan bot-bot. Seperti yang diulas para pakar media sosial," ujar Giri kepada ANTARA.
Untuk itu masyarakat harus lebih cerdas menyikapinya, sebab kemampuan klarifikasi di media arus utama belum bisa mengimbangi penggiringan opini bot-bot tadi.
Kalau dibaca sekarang media arus utama pada komentarnya, misalnya ada 500 komentar yang berbicara jelek soal KPK, ada satu saja yang dukung KPK. "Seakan-akan yang benar yang banyak tadi," ujar Giri.
Padahal, menurut dia, 500 komentar yang menjelekkan KPK, 499 di antaranya adalah robot. Media cetak dan media daring tidak bisa membalikkan opini robot itu karena media tersebut dalam analisis jaringan medsos berada pada posisi arbitrase (di tengah), tidak bisa mengimbangi derasnya opini tersebut.
Konferensi pers dan press release yang biasa dilakukan Juru Bicara dan Humas pun tidak bisa mengimbangi opini itu.
Dalam perang digital ini, kata Giri, masyarakat harus lebih cerdas dari bot tersebut.
"Jadi, masyarakat harus lebih cerdas. Kalau namanya @Rieni7646 belum tentu @Rieni7646 itu manusia. Jangan-jangan bot itu," ujar Giri.
informasi intelijen
Keluh kesah yang disampaikan di media sosial itu, terkadang juga menjadi informasi berharga yang dapat dimanfaatkan intelijen tertentu, baik yang bekerja untuk negara asing maupun yang bekerja mandiri, untuk mengacaukan negara ini.
Apalagi, sampai saat ini, tidak ada pengawas praktik intelijen di ruang siber, kata Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo dalam pernyataannya saat mengisi diskusi daring yang ditayangkan di Youtube Cyberthreat ID, Selasa.
"Jika di ruang konvensional, barang keluar masuk atau orang keluar masuk ada yang mengawasi. Nah, di ruang siber atau ruang digital, yang mengawasi itu tidak ada," kata Sulistyo.
Sementara BSSN merupakan instansi sipil dan bukan bagian dari lembaga intelijen negara. Kendati, tugas-tugas BSSN dalam melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber, BSSN selalu berkoordinasi dengan komunitas intelijen.
"BSSN adalah instansi sipil, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 53 dan 133 tahun 2017, yang tugasnya adalah mengonsolidasikan semua sumber daya siber yang ada di Indonesia di mana tentunya ada juga kemampuan intelijen siber di dalamnya," ujar Sulistyo
Menurut Sulistyo, praktik intelijen di ruang siber perlu untuk diwaspadai, agar informasi itu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kemanfaatan diri dan negara, bukan dipakai untuk kepentingan sekelompok orang atau korporasi untuk menangguk keuntungannya.
Selain itu, edukasi terhadap apa-apa yang boleh dibagikan di ruang digital menjadi poin penting dari keamanan di dunia siber.
Untuk itu, setiap orang harus memahami bahwa informasi pribadi pun, jika dikumpulkan, masih dapat dijadikan sebuah pengetahuan (knowledge) tentang banyak hal.
"Intelijen dapat memanfaatkan kumpulan informasi-informasi pribadi itu," kata Sulistyo.
Karena jika dikumpulkan, informasi pribadi pun dapat dianalisis sehingga dijadikan pengetahuan yang dapat disalurkan untuk berbagai kepentingan, baik itu kepentingan bisnis maupun kepentingan lain yang mungkin melanggar hukum.
Masyarakat Indonesia ini terlalu gampang mengumbar informasi, apa saja dikomentari. Sehingga mudah dipetakan untuk membuat konflik baru.
Bahkan, menurut Sulistyo, sebenarnya seseorang yang bukan intelijen pun bisa mendidik dirinya sendiri agar menjadi private investigator (intelijen mandiri) karena orang Indonesia gampang sekali membagikan informasi.
Kendati masyarakat akar rumput kerap membanding-bandingkan keduanya, namun media massa tidak menjadikan media sosial sebagai saingan.
"Media sosial dan jurnalisme (media massa) saling melengkapi," tulis Aliansi Jurnalis Independen dalam situs resminya aji.or.id pada Jumat (13/7/2012).
AJI menulis bahwa kebenaran yang terdapat di media sosial dan media massa tidak dapat disebut sebagai suatu persaingan.
Faktanya, kedua sarana itu hanyalah sebagai penyampai informasi yang saling melengkapi satu sama lain.
Karena itulah, keduanya bisa saling memberi referensi satu sama lain untuk membuat konten informasi baru yang lebih baik lainnya.
Informasi yang didapat dari media sosial dapat dipakai sebagai referensi awal dalam membuat berita. Media sosial dapat dimanfaatkan media massa untuk memantau dan mengoreksi berita.
Dan jangan lupakan media cetak, karena di sana lah informasi dari media sosial dan media massa itu dapat disampaikan secara utuh kepada pembaca. Dan juga media televisi, bisa memuat informasi bergambar yang mungkin tidak bisa diakses oleh penduduk Indonesia yang tidak memiliki kuota internet nun jauh di sana.
Membanding-bandingkan media sosial dan media massa adalah sebuah distorsi atau penyimpangan, karena sebetulnya keduanya tidak saling bermusuhan.
Lalu mengapa ada saja yang sibuk mengomentari untuk membandingkan keduanya? Jawabannya mungkin cuma dua. Pertama, pelaku hanya ingin 'panjat sosial', atau pelaku justru ingin mendistorsi informasi yang sebenarnya kredibel menjadi tidak kredibel.
Mengapa pelaku bisa 'panjat sosial'? Karena pelaku tahu bahwa warga internet suka dengan adanya konflik. Pelaku ingin mengambil kesempatan dengan memicu konflik yang berakhir dengan banyaknya orang dunia maya yang mengikuti mereka.
Tak jarang, mereka bahkan ikut nimbrung dengan membuat akun 'fiktif', hanya untuk memanaskan situasi. Sehingga konten adu domba mereka semakin banyak dilihat dan akhirnya pengikut (followers) pun meningkat.
Perdebatan demi perdebatan yang terjadi adalah panggung bagi para penikmat panjat sosial ini.
Dan entah mengapa warganet kadang menjadikan mereka sebagai influencer dadakan, bahkan untuk tindakan 'nyeleneh'.
Yang kedua, ada orang-orang yang sengaja mendistorsi informasi-informasi yang dikeluarkan media massa atau media sosial, sehingga yang awalnya kredibel menjadi tidak kredibel.
Contohnya, ketika ada bencana pandemi COVID-19, informasi kredibel yang disampaikan seperti menjaga jarak fisik, memakai masker, mencuci tangan. Namun informasi kemudian dipecah dengan munculnya informasi yang mengarah-arahkan pandemi ini ke arah konspirasi.
Tujuannya, agar menjadikan orang-orang malas mencari informasi yang benar.
Efeknya, bagi masyarakat di perkotaan mungkin tidak terlalu terasa. Tapi mereka yang ada nun jauh di sana lebih terasa. Masyarakat yang diberi asupan informasi konspirasi COVID-19 menjadi tidak percaya adanya pandemi tersebut.
Robot dunia maya
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menjelaskan bahwa opini publik sehari-hari sering juga disetir oleh robot-robot (bot) di dunia maya.
Giri mencontohkan penggiringan opini dan framing yang coba dilakukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi perang informasi media sosial itu pakai metodologi. Perang bertujuan membuat bimbang sikap publik pada pemberantasan korupsi. Dalam rangka menggiring opini pembenaran atau justifikasi, digunakan bot-bot. Seperti yang diulas para pakar media sosial," ujar Giri kepada ANTARA.
Untuk itu masyarakat harus lebih cerdas menyikapinya, sebab kemampuan klarifikasi di media arus utama belum bisa mengimbangi penggiringan opini bot-bot tadi.
Kalau dibaca sekarang media arus utama pada komentarnya, misalnya ada 500 komentar yang berbicara jelek soal KPK, ada satu saja yang dukung KPK. "Seakan-akan yang benar yang banyak tadi," ujar Giri.
Padahal, menurut dia, 500 komentar yang menjelekkan KPK, 499 di antaranya adalah robot. Media cetak dan media daring tidak bisa membalikkan opini robot itu karena media tersebut dalam analisis jaringan medsos berada pada posisi arbitrase (di tengah), tidak bisa mengimbangi derasnya opini tersebut.
Konferensi pers dan press release yang biasa dilakukan Juru Bicara dan Humas pun tidak bisa mengimbangi opini itu.
Dalam perang digital ini, kata Giri, masyarakat harus lebih cerdas dari bot tersebut.
"Jadi, masyarakat harus lebih cerdas. Kalau namanya @Rieni7646 belum tentu @Rieni7646 itu manusia. Jangan-jangan bot itu," ujar Giri.
informasi intelijen
Keluh kesah yang disampaikan di media sosial itu, terkadang juga menjadi informasi berharga yang dapat dimanfaatkan intelijen tertentu, baik yang bekerja untuk negara asing maupun yang bekerja mandiri, untuk mengacaukan negara ini.
Apalagi, sampai saat ini, tidak ada pengawas praktik intelijen di ruang siber, kata Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo dalam pernyataannya saat mengisi diskusi daring yang ditayangkan di Youtube Cyberthreat ID, Selasa.
"Jika di ruang konvensional, barang keluar masuk atau orang keluar masuk ada yang mengawasi. Nah, di ruang siber atau ruang digital, yang mengawasi itu tidak ada," kata Sulistyo.
Sementara BSSN merupakan instansi sipil dan bukan bagian dari lembaga intelijen negara. Kendati, tugas-tugas BSSN dalam melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber, BSSN selalu berkoordinasi dengan komunitas intelijen.
"BSSN adalah instansi sipil, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 53 dan 133 tahun 2017, yang tugasnya adalah mengonsolidasikan semua sumber daya siber yang ada di Indonesia di mana tentunya ada juga kemampuan intelijen siber di dalamnya," ujar Sulistyo
Menurut Sulistyo, praktik intelijen di ruang siber perlu untuk diwaspadai, agar informasi itu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kemanfaatan diri dan negara, bukan dipakai untuk kepentingan sekelompok orang atau korporasi untuk menangguk keuntungannya.
Selain itu, edukasi terhadap apa-apa yang boleh dibagikan di ruang digital menjadi poin penting dari keamanan di dunia siber.
Untuk itu, setiap orang harus memahami bahwa informasi pribadi pun, jika dikumpulkan, masih dapat dijadikan sebuah pengetahuan (knowledge) tentang banyak hal.
"Intelijen dapat memanfaatkan kumpulan informasi-informasi pribadi itu," kata Sulistyo.
Karena jika dikumpulkan, informasi pribadi pun dapat dianalisis sehingga dijadikan pengetahuan yang dapat disalurkan untuk berbagai kepentingan, baik itu kepentingan bisnis maupun kepentingan lain yang mungkin melanggar hukum.
Masyarakat Indonesia ini terlalu gampang mengumbar informasi, apa saja dikomentari. Sehingga mudah dipetakan untuk membuat konflik baru.
Bahkan, menurut Sulistyo, sebenarnya seseorang yang bukan intelijen pun bisa mendidik dirinya sendiri agar menjadi private investigator (intelijen mandiri) karena orang Indonesia gampang sekali membagikan informasi.