Makassar (ANTARA) - Pakar Petrologi dan Geologi Ekonomi Universitas Hasanuddin, Dr Eng Adi Maulana, ST M.Phil mengatakan patut mewaspadai pergerakan patahan atau "cecar" bagian selatan Pulau Sulawesi di tengah .
"Dua gempa terakhir yang terjadi dalam tiga hari terakhir ini diakibatkan pergerakan patahan atau sesar Walanae di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dan Sigi, Sulawesi Tengah," kata Adi di Makassar, Minggu.
Menurut dia, persoalan antisipasi persoalan kebencanaan akibat alam juga patut menjadi perhatian bersama di tengah merebaknya pandemi COVID-19 di daerah ini.
Pasalnya, lanjut dia, dinamika bumi di Pulau Sulawesi dalam bentuk pergerakan patahan-patahan mencapai salah satu zona yang paling membahayakan yang masih menyimpan kisah lara ketika terjadi bencana tsunami dan likuifaksi di Sulteng pada 28 September 2018.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar melansir aktivitas gempa bumi di Kabupaten Wajo, Sulsel dengan magnitudo 4,9 skala richter.
Menurut Adi, hal itu terjadi akibat pergerakan patahan atau sesar Walanae, patahan regional yang membelah tepat di tengah Pulau Sulawesi, melewati Kota Palu menuju ke arah tenggara di perut Pulau Sulawesi kembali aktif.
Kemudian pada 28 Maret 2020, daerah eks bencana Sigi ini kembali aktif dengan magnitudo yang lumayan terasa diatas 5 Skala Richter.
"Seperti yang terlihat di peta Tektonik, kita dapat melihat garis-garis yang merupakan jalur-jalur patahan yang bisa menimbulkan gempa bumi dari skala kecil sampai besar," katanya.
Banyaknya patahan-patahan ini tidaklah mengherankan, pasalnya pulau ini terbentuk dari interaksi beberapa lempeng besar. Patahan Palu-Koro, begitu para ahli geologi menyebutnya, adalah salah satu yang sangat aktif dengan cakupan yang sangat panjang dan punya beberapa bagian tambahan, termasuk patahan Matano di Luwu Timur dan beberapa patahan kecil lainnya.
Adi mengatakan, semoga fenomena ini hanya sebatas proses pelepasan energi normal dari bumi, tidak disertai bencana di tengah pandemi COVID-19 di Tanah Air.
Berkaitan dengan hal tersebut, dia mengimbau agar masyarakat yang tinggal di daerah ini tetap tenang, tetapi harus selalu waspada seperti seharusnya yang tinggal di wilayah atau zona patahan.
"Saya yakin pasti kita semua sudah tahu harus bersikap dan bertindak. Begitu juga Institusi setempat, tetap siaga agar segala sesuatu bisa dimonitor. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Semoga tidak ada lagi elegi di tengah pandemi COVID-19," kata dosen Fakultas Teknik Unhas itu.
"Dua gempa terakhir yang terjadi dalam tiga hari terakhir ini diakibatkan pergerakan patahan atau sesar Walanae di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dan Sigi, Sulawesi Tengah," kata Adi di Makassar, Minggu.
Menurut dia, persoalan antisipasi persoalan kebencanaan akibat alam juga patut menjadi perhatian bersama di tengah merebaknya pandemi COVID-19 di daerah ini.
Pasalnya, lanjut dia, dinamika bumi di Pulau Sulawesi dalam bentuk pergerakan patahan-patahan mencapai salah satu zona yang paling membahayakan yang masih menyimpan kisah lara ketika terjadi bencana tsunami dan likuifaksi di Sulteng pada 28 September 2018.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar melansir aktivitas gempa bumi di Kabupaten Wajo, Sulsel dengan magnitudo 4,9 skala richter.
Menurut Adi, hal itu terjadi akibat pergerakan patahan atau sesar Walanae, patahan regional yang membelah tepat di tengah Pulau Sulawesi, melewati Kota Palu menuju ke arah tenggara di perut Pulau Sulawesi kembali aktif.
Kemudian pada 28 Maret 2020, daerah eks bencana Sigi ini kembali aktif dengan magnitudo yang lumayan terasa diatas 5 Skala Richter.
"Seperti yang terlihat di peta Tektonik, kita dapat melihat garis-garis yang merupakan jalur-jalur patahan yang bisa menimbulkan gempa bumi dari skala kecil sampai besar," katanya.
Banyaknya patahan-patahan ini tidaklah mengherankan, pasalnya pulau ini terbentuk dari interaksi beberapa lempeng besar. Patahan Palu-Koro, begitu para ahli geologi menyebutnya, adalah salah satu yang sangat aktif dengan cakupan yang sangat panjang dan punya beberapa bagian tambahan, termasuk patahan Matano di Luwu Timur dan beberapa patahan kecil lainnya.
Adi mengatakan, semoga fenomena ini hanya sebatas proses pelepasan energi normal dari bumi, tidak disertai bencana di tengah pandemi COVID-19 di Tanah Air.
Berkaitan dengan hal tersebut, dia mengimbau agar masyarakat yang tinggal di daerah ini tetap tenang, tetapi harus selalu waspada seperti seharusnya yang tinggal di wilayah atau zona patahan.
"Saya yakin pasti kita semua sudah tahu harus bersikap dan bertindak. Begitu juga Institusi setempat, tetap siaga agar segala sesuatu bisa dimonitor. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Semoga tidak ada lagi elegi di tengah pandemi COVID-19," kata dosen Fakultas Teknik Unhas itu.