Jakarta (ANTARA) -
Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jabar, Venno Akbar Fathurrochman melapor secara tertulis kepada Kapolri, Jendral Idham Azis melalui pengacara karena telah menjadi korban residivis Hamidi Widi di Makassar, Sulawesi Selatan.
"Surat tersebut berisi untuk meminta perlindungan hukum bahwa kliennya dalam kondisi dipaksa dan diancam," kata kuasa hukum Venno Akbar Fathurrochman, Desyana di Jakarta, Sabtu.
Desyana mengatakan Venno sering memberikan bimbingan belajar (kursus) baik secara privat maupun kelompok dengan menawarkan jasa bimbingan melalui iklan mengunakan aplikasi.
Sedangkan upaya Venno memberikan bimbingan belajar karena ayahnya terkena penyakit stroke, hal ini yang menjadi latar belakang mencari tambahan biaya kuliah dengan memberikan kursus melalui aplikasi.
Desyana mengatakan sejak Januari 2020, melalui sebuah aplikasi ditawari memberikan bimbingan tes seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan upah Rp300.000 per hari serta dijanjikan bonus Rp10 juta bila siswa bimbingan lulus CPNS.
Menurut dia, kliennya diberangkatkan ke Makassar, setibanya di ibukota Sulawesi Selatan itu dipaksa dan diintimidasi untuk menjadi joki dalam seleksi CPNS Kemenkum dan HAM oleh orang yang bernama Hamidi Widi dan kawan-kawan.
Akibat tindakan tersebut Venno tidak dapat melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, jurusan Oseanografi ITB karena ditahan di Mapoltabes Makassar.
Kuasa hukum Venno yang tergabung pada kantor pengacara OC Kaligis tersebut mengirimkan surat yang juga ditujukan kepada Inspektorat Pengawasan Umum Kapolri, Komjen Moechgiyarto karena telah dizolimi dalam pemeriksaan polisi No. LP/71/H/2020/POLDA SULSEL/RESTABES MKS, tanggal 4 Februari 2020.
Dia mengatakan Venno bukanlah pelaku, tetapi korban dalam perkara tersebut dan akhirnya ditahan di Poltabes Makassar atas tindakan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa dan diancam.
Bahkan Venno diawasi oleh orang suruhan Hamidi yang merupakan residivis dalam perkara joki seleksi CPNS di Sulawesi Selatan.
Demikian pula Venno tercatat sebagai mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, jurusan Oseanografi ITB, akibat ditahan tidak dapat melanjutkan pendidikan.
Desyana menambahkan alasan mengirimkan surat ke pimpinan Polri itu agar mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum terhadap korban.
"Kami tidak meminta bayaran kepada Venno maupun keluarga sebagai pengacara terkait kasus tersebut tapi murni memberikan pertolongan demi kemanusiaan dan hukum karena telah dizolimi," katanya.
Sampai saat ini, katanya, penyidik Poltabes Makassar tidak mampu menghadirkan pelaku yang sebenarnya yakni Hamidi Widi yang rekannya untuk diperiksa dalam perkara tersebut.
Demikian pula orang yang dijokikan untuk menjadi PNS pun tidak pernah dihadirkan dan diperiksa, karena memang faktanya orang tersebut tidak pernah berhubungan dengan Venno melainkan korban penipuan dan pengancaman.
Penyidik Poltabes Makassar seolah-olah menutup fakta tersebut dan tetap menahan serta melimpahkan perkara a quo ke kejaksaan setempat.
Penyidik memaksakan menahan Venno dengan pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, padahal klien tidak pernah sama sekali membuat dokumen palsu, melainkan dibuat oleh Hamidi.
Padahal Venno dalam kasus tersebut seharusnya diberikan perlindungan, bukan dijadikan tersangka, apalagi pasal yang disangkakan tidak terpenuhi unsur pidana.
Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jabar, Venno Akbar Fathurrochman melapor secara tertulis kepada Kapolri, Jendral Idham Azis melalui pengacara karena telah menjadi korban residivis Hamidi Widi di Makassar, Sulawesi Selatan.
"Surat tersebut berisi untuk meminta perlindungan hukum bahwa kliennya dalam kondisi dipaksa dan diancam," kata kuasa hukum Venno Akbar Fathurrochman, Desyana di Jakarta, Sabtu.
Desyana mengatakan Venno sering memberikan bimbingan belajar (kursus) baik secara privat maupun kelompok dengan menawarkan jasa bimbingan melalui iklan mengunakan aplikasi.
Sedangkan upaya Venno memberikan bimbingan belajar karena ayahnya terkena penyakit stroke, hal ini yang menjadi latar belakang mencari tambahan biaya kuliah dengan memberikan kursus melalui aplikasi.
Desyana mengatakan sejak Januari 2020, melalui sebuah aplikasi ditawari memberikan bimbingan tes seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan upah Rp300.000 per hari serta dijanjikan bonus Rp10 juta bila siswa bimbingan lulus CPNS.
Menurut dia, kliennya diberangkatkan ke Makassar, setibanya di ibukota Sulawesi Selatan itu dipaksa dan diintimidasi untuk menjadi joki dalam seleksi CPNS Kemenkum dan HAM oleh orang yang bernama Hamidi Widi dan kawan-kawan.
Akibat tindakan tersebut Venno tidak dapat melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, jurusan Oseanografi ITB karena ditahan di Mapoltabes Makassar.
Kuasa hukum Venno yang tergabung pada kantor pengacara OC Kaligis tersebut mengirimkan surat yang juga ditujukan kepada Inspektorat Pengawasan Umum Kapolri, Komjen Moechgiyarto karena telah dizolimi dalam pemeriksaan polisi No. LP/71/H/2020/POLDA SULSEL/RESTABES MKS, tanggal 4 Februari 2020.
Dia mengatakan Venno bukanlah pelaku, tetapi korban dalam perkara tersebut dan akhirnya ditahan di Poltabes Makassar atas tindakan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa dan diancam.
Bahkan Venno diawasi oleh orang suruhan Hamidi yang merupakan residivis dalam perkara joki seleksi CPNS di Sulawesi Selatan.
Demikian pula Venno tercatat sebagai mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, jurusan Oseanografi ITB, akibat ditahan tidak dapat melanjutkan pendidikan.
Desyana menambahkan alasan mengirimkan surat ke pimpinan Polri itu agar mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum terhadap korban.
"Kami tidak meminta bayaran kepada Venno maupun keluarga sebagai pengacara terkait kasus tersebut tapi murni memberikan pertolongan demi kemanusiaan dan hukum karena telah dizolimi," katanya.
Sampai saat ini, katanya, penyidik Poltabes Makassar tidak mampu menghadirkan pelaku yang sebenarnya yakni Hamidi Widi yang rekannya untuk diperiksa dalam perkara tersebut.
Demikian pula orang yang dijokikan untuk menjadi PNS pun tidak pernah dihadirkan dan diperiksa, karena memang faktanya orang tersebut tidak pernah berhubungan dengan Venno melainkan korban penipuan dan pengancaman.
Penyidik Poltabes Makassar seolah-olah menutup fakta tersebut dan tetap menahan serta melimpahkan perkara a quo ke kejaksaan setempat.
Penyidik memaksakan menahan Venno dengan pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, padahal klien tidak pernah sama sekali membuat dokumen palsu, melainkan dibuat oleh Hamidi.
Padahal Venno dalam kasus tersebut seharusnya diberikan perlindungan, bukan dijadikan tersangka, apalagi pasal yang disangkakan tidak terpenuhi unsur pidana.