Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr Giwo Rubianto Wiyogo meminta Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja tidak menurunkan hak-hak tenaga kerja perempuan.
"RUU Cipta Kerja ini idealnya mendukung tenaga kerja, terutama tenaga kerja perempuan yang diutamakan. Jangan sampai RUU ini malah menurunkan hak-hak pekerja perempuan," ujar Giwo di sela-sela pelaksanaan rapat kerja Kowani di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, dalam draf RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah pada DPR, tidak ada lagi cuti haid bagi pekerja perempuan. Selain itu, cuti melahirkan dan haid terancam tidak dibayarkan.
Padahal sebelumnya, berdasarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 82, perempuan berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Begitu juga dengan perempuan yang mengalami keguguran pun berhak mendapat cuti selama 1,5 bulan.
Menurut Giwo, RUU Omnibus Law tersebut berpotensi mendiskreditkan perempuan.
"Antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja harus seimbang. Hal itu sudah ada di UU Ketenagakerjaan," ujarnya.
Giwo juga menambahkan jika pemerintah fokus pada pembangunan sumber daya manusia, maka perempuan harus menjadi target utamanya. Perempuan idealnya harus berpendidikan, karena dialah pendidik pertama dan utama di dalam keluarga.
Perempuan juga corong dari kepentingan keluarga. Kunci utama ketahanan keluarga adalah para perempuan.
"Oleh karena itu, pemerintah hendaknya mendukung tenaga kerja perempuan dan harus mendapatkan prioritas. Perempuan itu memiliki beban ganda. Negara yang baik, adalah negara yang memperhatikan perempuan," imbuh Giwo.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja karena tIdak mengandung tiga prinsip ketenagakerjaan.
"Prinsip ketenagakerjaan yakni kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial, atau dengan kata lain tidak ada perlindungan bagi buruh. Bahkan menghilangkan kesejahteraan yang selama ini didapat buruh," ujar Presiden KSPI, Said Iqbal.
Tidak adanya kepastian kerja, lanjut dia, tercermin dari outsourcing dan kerja kontrak seumur hidup tanpa batas. PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan tenaga kerja asing buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan berpotensi bebas masuk ke Indonesia.
"RUU Cipta Kerja ini idealnya mendukung tenaga kerja, terutama tenaga kerja perempuan yang diutamakan. Jangan sampai RUU ini malah menurunkan hak-hak pekerja perempuan," ujar Giwo di sela-sela pelaksanaan rapat kerja Kowani di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, dalam draf RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah pada DPR, tidak ada lagi cuti haid bagi pekerja perempuan. Selain itu, cuti melahirkan dan haid terancam tidak dibayarkan.
Padahal sebelumnya, berdasarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 82, perempuan berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Begitu juga dengan perempuan yang mengalami keguguran pun berhak mendapat cuti selama 1,5 bulan.
Menurut Giwo, RUU Omnibus Law tersebut berpotensi mendiskreditkan perempuan.
"Antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja harus seimbang. Hal itu sudah ada di UU Ketenagakerjaan," ujarnya.
Giwo juga menambahkan jika pemerintah fokus pada pembangunan sumber daya manusia, maka perempuan harus menjadi target utamanya. Perempuan idealnya harus berpendidikan, karena dialah pendidik pertama dan utama di dalam keluarga.
Perempuan juga corong dari kepentingan keluarga. Kunci utama ketahanan keluarga adalah para perempuan.
"Oleh karena itu, pemerintah hendaknya mendukung tenaga kerja perempuan dan harus mendapatkan prioritas. Perempuan itu memiliki beban ganda. Negara yang baik, adalah negara yang memperhatikan perempuan," imbuh Giwo.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja karena tIdak mengandung tiga prinsip ketenagakerjaan.
"Prinsip ketenagakerjaan yakni kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial, atau dengan kata lain tidak ada perlindungan bagi buruh. Bahkan menghilangkan kesejahteraan yang selama ini didapat buruh," ujar Presiden KSPI, Said Iqbal.
Tidak adanya kepastian kerja, lanjut dia, tercermin dari outsourcing dan kerja kontrak seumur hidup tanpa batas. PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan tenaga kerja asing buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan berpotensi bebas masuk ke Indonesia.