Jakarta (ANTARA) - Nama Gina S Noer semakin dikenal di industri perfilman nasional. Sepak terjangnya sebagai penulis skenario, produser, hingga sutradara sepanjang dekade kian meroket menyusul sederet prestasinya di tahun ini.

Wanita yang akrab dengan rambut pendek dan kacamatanya itu berhasil memboyong sejumlah penghargaan bergengsi. Baru-baru ini, Gina memenangkan dua Piala Citra sekaligus untuk Penulis Skenario Asli Terbaik dan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2019.

Kedua filmnya, yakni "Dua Garis Biru" dan "Keluarga Cemara" pun juga berhasil masuk ke jajaran nominasi Film Terbaik FFI 2019, bahkan menjadi penelusuran terpopuler Google Indonesia sepanjang tahun.

Memulai karirnya di industri film nasional sebagai penulis skenario, rupanya tak menyurutkan Gina untuk keluar dari zona nyamannya sebagai seorang sutradara untuk "Dua Garis Biru" (2019).

Saat ditemui ANTARA beberapa waktu lalu di Jakarta, Gina mengaku pengalamannya sebagai sutradara cukup menantang bagi dirinya yang cenderung introvert.

"Challenging dan menyenangkan, karena banyak pengalaman fisik baru. Ketika jadi penulis atau produser, secara fisik, kita tak perlu ada. Namun ketika jadi sutradara, secara fisik kita harus jadi sumber energinya ratusan orang sekaligus selama berhari-hari," kata Gina.

"Dan buat saya, dari seorang introvert lalu harus menjadi sumber energi banyak orang, itu habis-habisan banget," ujarnya lalu tertawa.



Menjadi seorang sineas dan ibu

Ketika ditanya peran mana yang lebih ia sukai sebagai seorang sineas, Gina mengatakan bahwa dirinya menikmati segala peran yang ia lakukan di film-filmnya.

Menurut penulis skenario "Habibie dan Ainun" itu, setiap pekerjaan yang ia jalani di film memiliki nilai dan pembelajaran sendiri bagi dirinya, baik sebagai pembuat film maupun individu.

Ketika menjadi seorang penulis skenario, Gina mengaku dirinya belajar untuk lebih sabar dan berusaha menyelami dirinya sendiri untuk menuangkan pikirannya ke bentuk tulisan.

Lebih lanjut, ketika berperan sebagai seorang produser, ia bisa belajar untuk menjadi lebih tekun dari titik awal hingga akhir produksi.

"Setiap pekerjaan itu mengajarkan banyak hal. Dan ketika menjadi sutradara, kita belajar soal leadership, belajar bagaimana kita menyampaikan visi kita, dan mau mendengar sisi orang lain sehingga bisa sama," kata Gina.



Walaupun telah menjajal banyak peran di dunia perfilman, ibu dua anak itu juga mengatakan bagaimana perannya sebagai seorang sineas dan ibu saling berkaitan baginya.

"Dan menjadi ibu juga membuat saya belajar menjadi film maker yang baik. Begitu pun menjadi seorang film maker juga membantu saya menjadi pribadi yang lebih baik," ujar ibunda dari Biru Langit Fatiha dan Akar Randu Furqan itu.

Perfilman Indonesia kini Sineas Gina S Noer di sela-sela "Google Indonesia Year In Search" di Jakarta, Rabu (11/12/2019). (ANTARA/Arnidhya Nur Zhafira)

Sepanjang tahun 2019, penikmat film di Indonesia cukup dimanjakan dengan sajian film yang memiliki genre, kisah, dan karakter yang semakin bervariasi.

Mulai dari drama hangat seperti "Keluarga Cemara", kisah romansa di "Love For Sale 2", teror tak berkesudahan di "Ratu Ilmu Hitam", hingga bangkitnya pahlawan super lokal "Gundala".

Tak lupa bagaimana pembuat maupun penonton film nasional juga sudah mulai terbuka untuk mengangkat isu sensitif seperti di film "Dua Garis Biru", "27 Steps of May", dan film terbaik FFI 2019 serta wakil Indonesia di ajang Academy Awards 2020, "Kucumbu Tubuh Indahku".



Menurut Gina, banyaknya variasi cerita didukung dengan apresiasi penonton domestik sangat berpengaruh dalam kemajuan perfilman Indonesia di tahun ini.

"Semakin baik. Jumlah film box office dan kualitas filmnya semakin baik, dan dari sisi art house juga semakin menantang dan semakin diterima di banyak festival," ujar Gina.

"Dari regenerasi kita juga semakin banyak dengan adanya sutradara-sutradara baru," kata wanita yang lahir di Balikpapan, 34 tahun silam itu.

Lebih lanjut, pertumbuhan perfilman Indonesia yang membaik juga ditandai dengan jumlah bioskop yang bertambah, serta munculnya layanan streaming yang menawarkan berbagai film maupun serial original secara legal.

Gina berharap, Indonesia tidak melewatkan potensi dan kesempatan baik bagi pertumbuhan film nasional dan para pekerja seni di belakangnya, di masa mendatang.

Bicara mengenai potensi dan kekuatan film, Gina berpendapat bahwa film tak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, melainkan juga untuk membuka ruang-ruang diskusi publik mengenai berbagai topik, bahkan yang sensitif sekalipun.

"Yang terpenting saat ini, film harus punya value untuk masyarakat dengan tanggung jawab dan skill. Jadi yang merayakan bukan hanya industri film namun juga penonton, dan akan lebih banyak ruang diskusi yang terbuka," ujar istri dari sineas Salman Aristo itu.
 

Pewarta : Arnidhya Nur Zhafira
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024