Kendari (ANTARA) - Generasi milenial tidak banyak tahu atau bahkan tidak tahu menahu siapa sosok  Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yikoo). Sontak keingintahuan tentang sosok yang karib disapa La Karambau menguat setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 120/TK/2019 tanggal 7 November 2019.

Kepres itu menegaskan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi alias Oputa Yikoo (begitu panggilan kehormatan bagi orang Buton untuk Sultan) sebagai pahlawan nasional berkenaan dengan peringan hari Pahlawan 10 November 2019 yang diterima ahli waris Ali Mazi (Gubernur Sultra) di istana Negara.

Berbagai sumber yang dihimpun mengisahkan lelaki sakti keturunan Sultan Buton ke-20 itu nekad turun tahta demi membela kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia  di tanah Buton. Bahkan rela meninggalkan istri dan anaknya bergerilya masuk hutan belantara Gunung Siotampina untuk menyusun perlawanan bersama pengikutnya.

Strategi gerilya melawan musuh yang dilengkapi senjata modern dan sarana kapal yang tangguh tidak sia-sia. Kemerdekaan dan harkat martabat jazirah rakyat Buton terselamatkan dari invasi kolonial masa itu. 

Keteguhan  hati Oputa Yikoo yang lahir di Buton, awal abad ke-18 Masehi pun dibalas dengan penobatan kembali sebagai Sultan Keraton Buton  ke-23. Pengangkatan sebagai raja yang kedua kalinya menjadi sejarah tersendiri bagi Oputa Yi Koo. 

Semangat perjuangan Oputa Yikoo mengusir penjajah awalnya diragukan karena kalah itu Buton disebut-sebut sekutu Belanda.

“Cerita dari mulut ke mulut acapkali kita dengarkan tetapi tidak ada fakta menentang kolonial pada masa itu,” ungkap tokoh masyarakat Buton, Feto Daud pada satu kesempatan.

Kini rakyat Indonesia menikmati udara kemerdekaan 74 tahun. Para suhada bangsa menitip harapan kepada generasi bangsa untuk mengisi kemerdekaan.

"Kemerdekaan yang kita nikmati bukan hadiah tetapi perjuangan, salah satunya yang disumbangkan Oputa Yikoo. Mari mengisi kemerdekaan hasil perjuangan para pesohor negeri dengan karya yang bermanfaat," tutur Feto, mantan birokrasi tersebut.

Demokrasi, radikalisme dan teknologi global menjadi ancaman serius yang harus dilawan dengan keteguhan iman taqwa serta penguasaan teknologi berbasis ilmu pengetahuan.

"Di era 4.0 tidak lagi perang menggunakan senjata tetapi mungkin saja bangsa bangsa lain menyasar Indonesia dengan narkoba, dunia maya dan paham yang bertentangan dengan ideologi negara. Inilah hakekat perjuangan saat ini, ujarnya lagi.

"Saya mau katakan bahwa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi alias Lakarambau yang karib disapa Oputa Yikoo adalah negarawan sejati. Rela meninggalkan kursi empuk kerajaan karena merasa tidak bermanfaat bagi seluruh rakyatnya," kata Hugua Anggota DPR RI. 

Menurut Hugua, saat Oputa meninggalkan keraton Buton, meinggalkan anak istri, meninggalkan tahta kerajaan kemudian bergerilya masuk hutan di pegunungan Siotapina untuk mengusir kolonial bukan menggejar mimpi menjadi pahlawan. 

Anak bangsa hari ini pun sadar bahwa Oputa Yikoo memiliki andil berjuang dan memupuskan harapan kolonial Belanda memenuhi dahaga yang tidak berprikemanusiaan. Lantas diberi gelar pahlawan sebagai perhormatan atas jasanya. Oputa Yikoo sudah menjadi suhada bangsa dan negaranya.
 
"Saya yakin hanya jiwa heroik seorang Oputa yang bertanggungjawab atas amanah rakyat.  Taktik gerilya bagi Oputa adalah pilihan diplomasi untuk mempertahankan harkat dan martabat rakyat negerinya," kata Hugua, politisi PDI Perjuangan.

Pahlawan Kebanggaan Keluarga

Suasana peringatan hari pahlawan 10 November 2019 di kalangan keluarga keraton Buton di Kota Bau Bau cukup berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Bukan karena saya cucu Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi sehingga bangga atas penganugrahan sebagai pahlawan. Tetapi, penetapan itu adalah pengakuan negara terhadap perjuangan Oputa atas jasa jasanya mengusir penjajah," kata cucu keturunan Oputa Yikoo, Idrus Taufiq Saidi.     

Orang Buton patut berbangga dengan gelar pahlawan nasional yang disematkan kepada Sultan Himayatudin Muhammad Saidi. Stigma yang melekat sebagai selingkuh kolonial Belanda di masa penjajahan pun sirna.

Semangat melawan penzoliman yang ditunjukan Oputa patut menjadi warisan generasi masa kini yang berlimpah kemapanan teknologi, wawasan dan ilmu pengetahuan yang mendunia.

Pengorbanan Sultan Himayatuddin melawan penguasaan Belanda  dengan taktik gerilnya di Gunung Siotapina menunjukan tekad kuat dan contoh jiwa kepahlawanan bagi rakyat Buton.

Padahal, raja raja sebelum Himayatuddin hidup nyaman bersama kolonial tetapi membawa sengsara bagi rakyat. Itulah yang bertentangan dengan hati nurani seorang Sultan Himayatuddin hingga memutuskan turun tahta dan bergerilya melakukan perlawanan.

Legitimasi negara pada Oputa Yikoo menjadi pahlawan nasional idealnya tidak menimbulkan rasa yang berlebihgan bagi keturunannya dan siapan, kecuali meneladani semangat  patriotismenya, kata Idrus Taufiq.

Sultan Himayatuddin merupakan satu dari enam tokoh yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres Nomor 120/TK/2019 tanggal 7 November 2019.

Kenam orang tokoh, yakni Ruhana Kudus dari Provinsi Sumatera Barat, Sultan Himayatuddin Oputa Yikoo dari Provinsi Sulawesi Tenggara, Prof M Sardjito dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Abdoel Kahar Moezakir dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Alexander Andries (AA) Maramis dari Provinsi Sulawesi Utara, dan KH Masykur dari Provinsi Jawa Timur.


 

Pewarta : Sarjono
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024