Kendari (Antara Sultra) - Menjelang pergantian tahun dari 2017 ke 2018 ini, jarang terdengar ditemukannya korban atau pemakai atau pengedar pil PCC di Sulawesi Tenggara ini.
Meskipun tidak terdengar ada korban atau pengedar bukan berarti pil PCC tersebut sudah tidak ada lagi setelah penggrebekan dua pabrik pil PCC di kota Semarang dan Solo oleh Polda Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu.

Bahaya peredaran dan pemakaian pil PCC tetap ada sehingga perlu kewaspadaan semua pihak, baik itu aparat kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), institusi yang berwenang, bahkan termasuk masyarakat sendiri.

Pada medio September 2017, Kota Kendari yang menjadi Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara sempat dihebohkan dengan jatuhnya puluhan orang yang menjadi korban pemakaian pil PCC tersebut, bahkan ada tiga orang yang dikabarkan meninggal dunia akibat mengonsumsi pil tersebut.

Pada Selasa (12/9) siang korban yang tercatat hanya 30 orang tetapi malam harinya bertambah dengan cepat menjadi 50 orang hingga akhirnya mencapai 68 orang. 

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Kendari Murniati menyebutkan korban penyalahgunaan obat dalam satu hari bertambah menjadi 50 orang.

"Kemarin pagi dalam pendataan kami hanya sekitar 30 orang, malam ini sudah berambah menjadi 50 orang," kata Murniati, Kamis (14/9).

Ia bersama unsur terkait terus melakukan pendataan di beberapa rumah sakit ketika ada pasien yang masuk dengan gejala kelainan yang sama.

"Para korban ini megalami gejala kelainan, seperti orang tidak waras, mengamuk, berontak, ngomong tidak karuan setelah mengonsumsi obat yang mengandung zat berbahaya tersebut, sehingga sebagian harus diikat," katanya.

Menurut Murniati, pengakuan beberapa korban yang sudah ditangani dan dikembalikan ke rumahnya bahwa mereka mendapatkan obat itu dari oknum yang mereka tidak kenal.

"Obat itu ada yang dalam bentuk cair dan juga dalam bentuk tablet. Yang cair dicampur ke dalam minuman, sampai saat ini kami belum bisa pastikan jenis obat apa yang dikonsumsi para korban," katanya.

Ia mengatakan sebagian besar dari korban tersebut adalah anak usia sekolah atau remaja mulai pelajar sekolah dasar, SMP dan SMA, kemudian ibu rumah tangga dan pegawai.

"Bahkan satu orang korban yang masih kelas VI SD meninggal karena mengonsumsi jenis obat tersebut, setelah sebelumnya mendapat perawasan di rumah sakit," katanya.

Murniati menganggap kondisi tersebut adalah kejadian luar biasa karena hanya dua hari maka ada 50 korban pengaruh obat terlarang dengan gejala yang sama dan berasal dari beberapa titik di Kota Kendari.



Dosis Berbeda

Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Sulawesi Tenggara Bagus Hari Cahyono mengatakan obat PCC (paracetamol, caffeine, dan carisoprodol) yang dikonsumsi puluhan warga Kendari sehingga mereka dilarikan di UGD dosisnya berbeda dari yang umumnya.

"Ini kemasannya saja yang PCC, tapi obatnya bukan, sehingga efeknya seperti yang terjadi pada puluhan warga yang dilarikan ke rumah sakit tersebut," kata Bagus Hari.

Dikatakan, pihaknya bersama kepolisian sudah menduga obat Tramadol dan Somadril menjadi penyebab beberapa warga yang dilarikan ke UGD selama dua hari ini. "Hanya saja efek yang ditimbulkan itu masih menjadi pertanyaan, mengonsumsi tiga sampai lima butir obat ini efeknya korban kehilangan kesadaran hingga berhari-hari," katanya.

Tetapi, kata dia, yang terjadi pada korban yang sedang ditangani saat ini berbeda, bahkan ada yang menceburkan diri ke laut hingga meninggal. Obat Somadril dan Tramadol masuk dalam daftar G, yang artinya obat itu masuk dalam kategori obat keras yang penggunaannya harus menggunakan resep dari dokter. "Bila obat ini dikonsumsi dengan dosis tinggi atau dosis yang tidak sesuai anjuran dokter maka bisa berakibat fatal bagi penggunanya sehingga harus diawasi peredarannya," katanya.

Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM RI, Hendri Siswadi, mengatakan, kasus penyalahgunaan obat di Kendari diduga terorgasir karena sudah menjadikan anak-anak sebagai target. "Kejadian ini kemungkinan sudah terencana dan teroganisir oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga ada unsur kesengajaan," kata Hendi saat itu.

Dijelaskan, kedatangan atau kunjungan ke Kendari, salah satu tujuannya adalah untuk melihat kondisi riil dilapangan guna mencari kesimpulan untuk meluruskan dan menyamakan persepsi semua pihak terkait kasus penyalahgunaan obat oleh sejumlah warga kota itu.

"Ini sudah fenomena yang luar biasa karena kejadian menimpa korban bersamaan. Untuk itu, kehadiran kami guna luruskan apa sebenarnya yang mereka konsumsi," katanya.



Tersangka

Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara mengamankan 52 tersangka dari 37 kasus pil atau tablet PCC sepanjang 2017. Direktur Reserse Narkoba Polda Sultra, Kombes Pol Satria Adi Permana mengatakan pengungkapan 37 kasus pil PCC itu dilakukan sejak Januari hingga Desember 2017.

"Sebanyak 50 berkas tersangka yang diamankan saat ini telah dilimpahkan ke kejaksaan. Yang terbanyak saat kejadian serentak massal di Kendari pada September," katanya.

Disebutkan, barang bukti obat terlarang yang telah disita polisi di wilayah Sultra yakni pil PCC 20.814 butir, 20.209 butir tramadol, dan 3.320 butir obat daftar G atau obat yang dianjurkan dikonsumsi seizin dokter.

Menurut dia, meskipun sudah banyak kasus yang diungkap dan menetapkan puluhan tersangka bukan berarti kasus atau ancaman itu sudah hilang di wilayah Sultra. "Kami menduga masih banyak pengedar yang berkeliaran di Sultra, terutama yang berkeliaran di Kota Kendari," katanya.

Ia meminta semua pihak tetap waspada bersinergi dan berkomitmen bersama memerangi peredaran pil PCC yang merusak generasi bangsa tersebut.


(U.H015/B/M026/M026) 28-12-2017 18:24:37

Pewarta : Hernawan Wahyudono
Editor : M Sharif Santiago
Copyright © ANTARA 2024