Jakarta (Antara News) - Demo menuntut proses hukum dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Jumat (4/11) yang awalnya damai berakhir ricuh sehingga "memaksa" Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengambil sikap dan langkah.
Beberapa pihak menuduh Presiden melindungi mantan pasangannya saat memimpin Ibukota Jakarta itu apalagi saat para pengunjuk rasa ingin bertemu dengan Jokowi, tapi hanya Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri Kabinet Kerja yang menemuinya.
Atas sikap Presiden tersebut, aksi unjuk rasanya yang sebelumnya berlangsung damai menjadi ricuh setelah ada bentrokan TNI-Polisi dengan para pengunjuk rasa.
Melihat situasi yang kacau tersebut, Presiden langsung mengelar rapat terbatas dan melaksanakan konferensi pers pada Jumat (4/11) malam.
"Kita menyesalkan kejadian bada Isya yang seharusnya sudah bubar tapi menjadi rusuh dan ini kita lihat telah ditunggangi aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi," kata Presiden saat konferensi pers.
Presiden menegaskan telah memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung memproses hukum Ahok secara tegas, tepat, transparan.
Jokowi juga berjanji proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus dugaan penistaan agama akan selesai dalam dua pekan.
Dalam beberapa kesempatan Presiden juga meminta semua pihak menghormati Polri untuk mengusut kasus Ahok tanpa intervensi.
"Biarkan Polri bekerja sesuai dengan aturan hukum yang ada," kata Jokowi usai mencanangkan Gemar Makan Buah dalam rangka Fruit Indonesia 2016 di Lapangan Parkir Timur Senayan Jakarta, Kamis (7/11).
Jokowi juga menginstruksikan agar gelar perkara kasus dugaan penistaan agama dilakukan secara terbuka.
"Saya kemarin minta untuk dibuka biar tidak ada syak wasangka," kata Presiden Jokowi usai meninjau kemajuan pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu).
Safari
Tidak hanya berjanji akan menyelesaikan secara hukum kasus penistaan agama, Presiden juga melakukan langkah-langkah dengan melakukan safari ke kesatuan-kesatuan TNI, Polri, organisasi keagamaan dan tokoh agama.
Presiden pada Senin (7/11) mengunjungi Mabes TNI di Jakarta Pusat, dilanjutkan pada Selasa (8/11) ke Mabes Polri di Jakarta Selatan dan Kamis (10/11) mendatangi Markas Kopassus di Cijantung, pada Jumat (11/11) Markas Brimob di Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat, dan Markas Komando Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan.
Jokowi juga mengunjungi Markas Paskhas TNI AU di Bandung dan Markas Komando Divisi I Kostrad di Cilodong, Depok.
"Dalam ketatanegaraan kita, saya ingin memastikan semuanya loyal pada negara, setia pada Pancasila, pada UUD, pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada kebhinekaan kita," kata Presiden saat di Markas Komando Marinir Cilandak, Jakarta.
Dengan pertemuan langsung tersebut, dia bisa merasakan kesiapan semua prajurit TNI dan Polri dalam menjaga keutuhan NKRI.
Presiden meminta para prajurit untuk melindungi negara kesatuan Indonesia dari mereka yang ingin memecah belah bangsa dan berdiri tegak di semua golongan.
Dalam safarinya ini, Presiden juga melakukan safari dengan tokoh agama, diantaranya ke Kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Saat ke PBNU, Presiden menyatakan terima kasih karena jajaran pengurus NU, sampai ke daerah yang telah memberikan pernyataan-pernyataan yang menyejukan suasana sehingga pada saat demo 4 November lalu sampai sore maghrib berjalan tertib damai.
Menurut Presiden, banyak hal yang dapat diselesaikan bersama antara pemerintah dengan PBNU baik yang berkaitan dengan masyarakat, ekonomi dan penangkalan radikalisme.
"Saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya karena Nahdlatul Ulama penyangga utama NKRI kita, penyangga utama Pancasila, penyangga utama keBhinekaan kita, penyangga utama hal-hal yang berkaitan dengan toleransi, hal yang berkaitan dengan persatuan," kata Jokowi.
Hal yang sama ketika Presiden ke DPP Muhammadiyah yang mengapresiasi upaya menjaga kedamaian dan ketertiban dalam unjuk rasa 4 November oleh PP Muhammadiyah.
Presiden juga mengungkapkan PP Muhammadiyah dan pemerintah juga membahas pembangunan bangsa, khususnya ekonomi kerakyatan dengan upaya yang lebih konkret.
"Juga yang berkaitan dengan politik Islam, tadi juga diusulkan dari PP Muhammadiyah agar ini bisa dikerjakan bersama-sama antara pemerintah dan Muhammadiyah sehingga bisa memberikan ruang dan saluran-saluran politik bagi umat Islam dan bisa mengembangkannya dengan baik," ujar Jokowi.
Tidak hanya berkunjung ke kantor organisasi keagamaan, Presiden juga mengundang beberapa tokoh agama ke Istana Merdeka, diantaranya Din Syamsuddin.
Hukum adalah cara beradab untuk menyelesaikan masalah yang ada, untuk menghindari perilaku dan tindakan yang boleh jadi tidak beradab, maka harus kita dukung, apalagi Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang menegakan supremasi hukum. Tinggal sekarang persoalan yang ada ini berkeadilan atau tidak, katanya.
Din yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyampaikan kepada Presiden bahwa sikap dasar dari Umat Islam yang diwakili oleh ormas-ormas Islam tersebut adalah formal dan sangat cinta kepada Tanah Air.
Selain juga sangat cinta kepada bangsa dan negara serta sangat berwawasan kemajemukan, Bhineka Tunggal Ika.
Menurut dia, umat Islam sangat besar jasanya bagi kemerdekaan, bagi penegakan negara, dan itu tidak perlu dikawatirkan.
Justru kalau ada orang lain yang mengganggu semacam menuduh umat Islam intoleran, ini mengusik rasa kesadaran batin mereka, katanya.
Din mengatakan Presiden telah berjanji akan terus berkomunikasi dan bersikap dialogis dengan berbagai elemen masyarakat khususnya umat Islam.
"Maka pemerintah akan semakin memberikan perhatian untuk mengatasi kesenjangan khususnya dalam bidang ekonomi. Saya katakan kepada beliau kalau rakyat di lapis bawah yang mayoritas adalah umat Islam merasakan ada ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, ini yang mereka untuk bangkit bereaksi, dan itulah rakyat Indonesia jangan lihat itu sebagai umat Islam," katanya.
Meja Makan
Terkait rencana aksi damai susulan pada 2 Desember 2016, Presiden telah mengundang para ketua umum partai politik untuk diajak diskusi di atas meja makan.
Diplomasi meja makan ini diawali ketika Presiden mengundang makan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subiakto, dilanjutkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Senin (21/11).
Diskusi makan di atas meja makan ini berlanjut pada Selasa (22/11), dimana Presiden mengajak sarapan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, makan siang dengan Ketua umum PPP Romahurmuziy dan sorenya dengan Ketua Umum Partai Golkar Setyo Novanto.
Presiden, usai makan siang dengan Romahurmuziy, mengatakan solusi sebagai bangsa yang majemuk dalam menghadapi perbedaan adalah kembali pada konsep negara hukum.
Sebagai negara hukum, semua harus berjalan berdasarkan atas hukum, bukan atas dasar pemaksaan kehendak. Apalagi dengan menggunakan kekuatan massa, kata Presiden.
"Pegangan kita adalah apa yang tercantum dalam konstitusi bahwa negara kita indonesia adalah negara hukum," tegas Jokowi.
Sementara itu, Romahurmuziy meminta semua pihak untuk kembali kepada dasar negara kesatuan Republik Indonesia yang telah menjadikan keanekaragaman itu sebagai kekayaan.
Keanekaragaman sebagai faktor perekat, bukan sebagai faktor pembeda. Itu faktor yang paling prinsip karena kita negara yang berbhineka tinggal Ika, kata Romi.
Dia juga mengingatkan di Indonesia, Islam hadir sebagai faktor perekat, pemersatu, pengayom karena Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah "rahmatan lil alamin", artinya bukan hanya untuk Islam sendiri tetapi juga untuk seluruh umat manusia, kata Romi.
Dia juga meminta sebagai sebagai perekat, maka wajah Islam yang dikembangkan di Indonesia adaah wajah yang menarik, merangkul bukan wajah yang garang, membawakan kekerasan dan bukan juga wajah yang terus menerus menimbulkan ketegangan.
Dia mengimbau seluruh pemimpin umat, para ustad, para pimpinan ormas Islam sama-sama memelihara warna ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Terkait dengan proses hukum penistaan agama, Romi juga mengatakan bahwa proses hukum yang menjadi tuntutan aksi damai 4 November 2016 sudah berjalan.
Dia mengimbau aksi 2 Desember 2016 tidak dilaksanakan, karena yang dibutuhkan saat ini adalah pengawalan intensif terhadap lembaga-lembaga negara dan itu tidak bisa dilaksanakan dengan cara melakukan aksi massa berikutnya.