Jakarta (Antara News) - Asia dan Amerika Serikat (AS) mempunyai ikatan yang semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya selama negeri Paman Sam itu dipimpin oleh Presiden Barack Obama.  

        Selama masa pemerintahan Obama, AS telah menyeimbangkan kebijakan dan fokus hubungan luar negerinya pada kepentingan di kawasan Asia-Pasifik.

        "Saya pikir hubungan bilateral antara AS dengan Indonesia adalah simbol dari keseimbangan di kedua kawasan itu (Asia-Pasifik)," kata Asisten Wakil Menteri Luar Negeri AS Patrick W. Murphy.

        Menurut Murphy, Indonesia merupakan negara yang penting bagi Amerika Serikat, khususnya di kawasan Asia Tenggara.

        "Kemitraan Indonesia dan AS di bawah Obama telah mencapai banyak hal di berbagai bidang kerja sama. Kita akan meningkatkan hubungan ini, tidak hanya antarpemerintah, tetapi juga antarmasyarakat," kata dia.

        Namun, apakah kemitraan dan kerja sama yang sudah terjalin baik antara Indonesia dan AS akan semakin baik atau setidaknya dapat dipertahankan pada masa pemerintahan baru di AS?

        Amerika Serikat belum lama ini melakukan pemilihan umum untuk menunjuk pemimpin baru, dan pengusaha New York Donald Trump terpilih sebagai presiden ke-45 AS.

        Beberapa pihak berpendapat Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump nanti akan memiliki arah kebijakan luar negeri yang jauh berbeda dengan Obama.

        Para pengamat kebijakan di AS memperkirakan bahwa Donald Trump cenderung akan menjadikan Amerika Serikat sebagai suatu negara yang "inward looking" (lebih fokus ke urusan domestik), sehingga tidak terlalu mementingkan hubungan luar negeri.

        Kebijakan luar negeri yang bersifat "inward looking" itu juga kemungkinan akan diterapkan pemerintahan Trump dalam hubungan AS dengan negara-negara Asia, kata Jonathan Cristol, pengamat hubungan internasional dari World Policy Institute.

        "Saya pikir kita tidak akan mendengar lagi istilah 'mendekat ke Asia' dari pemerintah AS, seperti kebijakan luar negeri Obama selama ini," ujar dia.

        Menurut Cristol, dengan melihat latar belakang Trump yang adalah seorang pebisnis dan tidak berpengalaman dalam politik dan diplomasi, Presiden AS yang baru terpilih itu dinilai tidak akan memberikan perhatian lebih pada urusan luar negeri.

        "Jadi, terkait dengan urusan hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan Asia, termasuk Indonesia, saya kira dia (Trump) tidak punya rencana jangka panjang untuk hal ini," ucap dia.

        Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah menilai, sikap "inward-looking" yang tampaknya akan diterapkan Trump dalam hubungan luar negeri AS itu disebabkan keinginan untuk fokus memperbaiki keadaan ekonomi dalam negeri AS.

        "Memang Donald Trump ini kesannya lebih 'inward looking' karena dia melihat banyak potensi AS yang terkuras keluar. Dia juga melihat praktik-praktik internasional yang membebani AS untuk jangka panjang," kata dia.

        Selama masa kampanyenya, Trump menyampaikan pernyataan yang menunjukkan sikap AS di masa depan yang mungkin lebih menarik diri dari perjanjian perdagangan bebas yang dia anggap akan merugikan negaranya, salah satunya adalah Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik.

        Trump sebelumnya juga sempat mengatakan akan mengeluarkan kebijakan untuk menarik perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di luar untuk bergerak di dalam negeri.

        Namun, Reza berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu khawatir dengan kemungkinan kebijakan luar negeri AS yang cenderung menarik diri dari Asia.

        Hal itu, menurut dia, karena pada dasarnya Indonesia - terutama dari segi ekonomi - tidak terlalu bergantung pada negeri Paman Sam.

        "Kalaupun AS di masa pemerintahan Trump menerapkan kebijakan luar negeri yang bersifat 'inward looking' terhadap Asia, itu tidak akan berpengaruh besar untuk Indonesia. Kita tidak usah takut," kata dia.

        "Faktanya, Amerika Serikat bukan merupakan investor terbesar di Indonesia. Yang terbesar itu, antara lain Singapura, Jepang, China. Perusahaan AS di Indonesia juga tidak banyak," ungkap Reza.

        Dia menyebutkan sebagian besar perusahaan AS di Indonesia bergerak pada sektor pertambangan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, serta asuransi.

        "Sektor pertambangan, seperti Freeport, itu tidak mungkin dilepas oleh AS. Konsesi minyak juga tidak mungkin dia lepas," ucap dia.

        Reza menambahkan, pemerintah Amerika Serikat bagaimana pun tidak akan mungkin menarik diri begitu saja dari keterlibatan aktif dalam berbagai hubungan kerja sama dan kegiatan di kancah internasional.

        "Secara teori kan tidak mungkin dari negara yang benar-benar 'outward looking' (mementingkan urusan luar negeri) menjadi benar-benar 'inward looking'. Mungkin sikap ini hanya sementara waktu, mungkin semacam 'testing the water' (menguji kondisi)," kata dia.

        Sementara itu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di New York Abdul Kadir Jaelani meyakini pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan tetap berupaya meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat.

        "Kami yakin bahwa pemerintahan Amerika Serikat yang mendatang akan terus berusaha meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-AS yang sudah ada, misalnya di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, termasuk 'people-to-people contact'," kata Kadir.

        Menurut dia, pemerintah AS di bawah kepemimpinan siapa pun akan tetap melihat Indonesia sebagai mitra strategis, tidak hanya dalam konteks kerja sama bilateral, tetapi juga dalam kerja sama regional.

        "Kami yakin siapa pun Presiden AS akan tetap memandang Indonesia sebagai mitra strategis, tidak hanya dalam konteks kerja sama bilateral, tetapi juga Indonesia memiliki arti khusus di kalangan regional, maksud saya di Asia Tenggara," katanya.

        Di samping itu, lanjut Kadir, pemerintah AS juga menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu pemain kunci di tingkat global yang dapat bermitra dengan AS untuk membentuk suatu tatanan internasional yang lebih aman dan damai.

        Ia juga menilai hubungan Indonesia dan AS semasa pemerintahan Presiden Barack Obama adalah yang terbaik sepanjang sejarah hubungan kedua negara.

        "Jadi, saya rasa harapan kita adalah pemerintahan AS yang mendatang justru melanjutkan hubungan yang sudah baik adanya ini dan dapat ditingkatkan lebih jauh," ucapnya.

Pewarta : Yuni Arisandy
Editor :
Copyright © ANTARA 2024