Pemerintah Provinsi DKI Jaya bersemangat menatalaksana pembangunan infrastruktur agar Jakarta menjadi kota lebih tertib, bersih, aman, bebas macet, dan bebas banjir.

        Akibat lahan di dalam wilayah DKI Jaya, terutama di bantaran kali Ciliwung telah menjadi permukiman rakyat maka Pemprov Jakarta perlu melakukan penggusuran yang istilahnya diperlembut menjadi penertiban.

        Sebenarnya, Pemprov Jakarta telah menetapkan kebijakan penertiban yang terkesan manusiawi dengan menyediakan rumah susun bagi rakyat yang kebetulan harus dikorbankan untuk digusur dari tempat permukiman mereka.

        Sayang rumah susun yang disediakan bagi rakyat dibebani syarat-syarat komersial, yaitu bayar sewa, biaya perawatan kebersihan, keamanan, listrik, dan lain sebagainya. Di samping itu, lokasi rumah susun mempersulit, bahkan mempermustahil bagi rakyat untuk melanjutkan perjuangan mereka mencari nafkah.

        Akibat fakta bahwa ternyata rumah susun berdasar kontrak sewa-menyewa, maupun kehilangan sumber nafkah maka dari para warga tergusur atas nama pembangunan tampil dua kelompok.

        Kelompok yang satu adalah para warga yang merasa sanggup memenuhi syarat maka setuju untuk dipindah ke rusunawa dan kelompok yang satu lagi adalah para warga yang merasa tidak sanggup memenuhi syarat maka tidak setuju untuk dipindah ke rusunawa.

        Memaksa rakyat yang tidak setuju dipindah ke rusunawa untuk pindah ke rusunawa jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Maka, kelompok rakyat yang tidak setuju rusunawa menempuh cara masing-masing demi mempertahankan hak asasi mereka.

        Warga Bidara Cina menggugat pemprov ke PTUN. Warga Luar Batang mengungsi ke Masjid Keramat Luar Batang, ada pula yang tetap gigih bermukim di atas puing-puing reruntuhan bekas penggusuran.

        Warga Kampung Pulo melakukan perlawanan meski perlaya melawan satpol PP didukung Polri bersenjata lengkap seolah perang melawan teroris.

        Warga Kalijodo tidak berani melakukan perlawanan sebab sudah dipatahkan semangat mereka lewat jurus-jurus psywar yang dilakukan pemprov dengan daih antiperjudian dan antipelacuran. Warga Bukit Duri sedang menempuh proses menuntut keadilan ke pengadilan negeri.

        Dalam menghadapi perlawanan rakyat tergusur, tampaknya Pemprov DKI Jaya tetap berpegang teguh pada "mazhab" pembangunan infrastruktur tanpa kompromi dengan iringan lagu perjuangan Maju Tak Gentar meski yang dihadapi bukan kaum penjajah, melainkan rakyat sesama warga bangsa Indonesia.

        Pemprov DKI Jaya bahkan tidak peduli kenyataan bahwa Ir. H. Joko Widodo selaku calon Gubernur DKI Jakarta 2012 s.d. 2017 pada hari Sabtu, 15 September 2012, di Muara Baru Penjaringan Jakarta Utara bersama rakyat yang tergabung di Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) jakarta, Serikat Becak Jakarta (Sebaja), Komunitas Juang Perempuan (KJP), dan Urban Poor Consortium (UPC) menjalin kesepakatan yang tertuang ke dalam sebuah kontrak politik.
 
        Di dalam Kontrak Politik yang ditandatangani Joko Widodo berjudul "Jakarta Baru" dengan subjudul "Pro-Rakyat Miskin, Berbasis Pelayanan dan Partisipasi Warga", tertera secara hitam di atas putih:

        1. Warga dilibatkan dalam penyusunan RTRW (rencana tata ruang wilayah), penyusunan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), perencanaan dan pengawasan program pembangunan kota.

        2. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota, meliputi: a) kampung ilegal yang sudah ditempati warga selama 20 tahun dan tanahnya tidak dalam sengketa maka akan diakui haknya dalam bentuk sertifikat hak milik; b) permukiman kumuh tidak digusur tetapi ditata. Permukiman kumuh yang berada di atas tanah milik swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan dilakukan negosiasi dengan pemilik lahan. Gubernur akan menjadi mediator supaya warga tidak kehilangan haknya, pembangunan Jakarta akan dimulai dari kampungkampung miskin; c) perlindungan dan penataan ekonomi informal: PKL, becak, nelayan tradisional, pekerja rumah tangga, asongan, pedagang kecil, dan pasar tradisional.

        3. Keterbukaan dan penyebarluasan informasi kepada warga kota.

        Secarik kertas sebagai kontrak politik dengan rakyat miskin yang ditandatangani oleh Joko Widodo sebagai calon Gubernur DKI Jaya itu pada hakikatnya merupakan pengejawantahan semangat pembangunan berkelanjutan yang telah dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa Bangsa sebagai pembangunan lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan lain sebagainya dengan menjunjung tinggi prinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kepentingan generasi masa depan".

        Namun, sayang setriliun sayang, memang tampaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masa kini tidak peduli "mazhab" Pembangunan Berkelanjutan dan Kontrak Politik yang ditandatangani Joko Widodo meski atau justru akibat beliau kini sudah menjadi Presiden Republik Indonesia.

        Bahkan, tampaknya Pemprov DKI Jaya juga tidak peduli atas sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab maupun kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

        Tampaknya segenap kearifan itu sudah dianggap sebagai sekadar anakronisme alias ketinggalan perkembangan zaman yang hukumnya wajib menghalalkan segala-galanya demi mencapai tujuan sesuai dengan semangat memberhalakan pembangunan infrastruktur.  

*) Penulis adalah Budayawan Pemerhati Kemanusiaan

Pewarta : Jaya Suprana *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024