Kehadiran negara secara konkret dalam memberikan rasa aman kepada warga yang menjadi salah satu kandungan ajaran Nawacita mulai tahun ajaran 2016/2017 diaplikasikan dalam dunia pendidikan.
Tahun ajaran baru 2016/2017 telah tiba. Ada kebijakan baru yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan apa yang selama ini dikenal sebagai masa orientas studi (MOS), yang cenderung mengarah ke bentuk perpeloncoan.
Lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 18/2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah, Pemerintah menetapkan sejumlah aturan yang tujuannya untuk menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman dan gembira.
Kini kegiatan MOS yang aneh-aneh seperti tahun-tahun sebelumnya dilarang. Aktivitas yang menyerupai bentuk perpeloncoan yang sering melahirkan ekses kekerasan juga dihentikan.
Permendikbud ini menggantikan kebijakan terkait MOS yang selama ini rentan menjadi melenceng ke arah kekerasan yang pernah terjadi sebelumnya. Peraturan ini mengatur sanksi yg mengikat bagi ekosistem pendidikan yang ada di sejumlah jenjang pendidikan.
Dengan demikian, mulai tahun ini, MOS berubah namanya menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dalam kegiatan yang maksimum dilaksanakan selama tiga hari ini penyelenggaranya adalah guru, pada hari dan jam sekolah, tidak boleh melibatkan alumni, dan siswa senior hanya untuk membantu guru.
Dalam kegiatan MPLS, berbagai bentuk atribut yang aneh-aneh sebagaimana ditemui pada era sebelumnya dinyatakan terlarang. Pelarangan itu menyangkut penggunaan atribut tas karung, tas belanja Plastik dan sejenisnya, kaos kaki berwarna-warni tidak simetris dan sejenisnya.
Aksesoris di kepala yang tidak wajar, alas kaki yang tidak wajar juga tidak boleh dikenakan siswa baru. Papan nama yang berbentuk rumit dan menyulitkan dalam pembuatannya yang berisi konten yang tidak bermanfaat perlu dihindari. Pelarangan itu juga menyangkut atribut lainnya yg tidak relevan dengan aktivitas belajar.
Beda dengan aktivitas MOS sebelumnya, kini siswa baru tak boleh dibebani dengan mewajibkan mereka membawa suatu produk dengan merek tertentu. Pekerjaan konyol seperti menghitung sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti menghitung nasi, gula, semut dan semacamnya harus dihindari.
Menyuruh siswa baru untuk memakan dan meminum makanan dan minuman sisa yang bukan milik masing-masing siswa diharamkan.
Memberikan hukuman kepada siswa baru yang tidak mendidik seperti menyiramkan air serta hukuman yang bersifat fisik dan/atau mengarah pada tindak kekerasan juga diharamkan.
Memberikan tugas yang tidak masuk akal seperti berbicara dengan hewan atau tumbuhan serta membawa barang yang sudah tak diproduksi sehingga merepotkan siswa harus dihindari.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan, semua aturan itu dimaksudkan untuk mewujudkan iklim sekolah yang aman, nyaman dan menggembirakan bagi siswa baru.
Semua ini adalah wujud Nawacita, dengan hadirnya negara dalam memberikan rasa aman pada warga dan melakukan revolusi mental lewat jalur pendidikan, tambah Anies Baswedan.
Dia mengatakan masyarakat yang menemukan tindak kekerasan di sekolah, mereka dapat melaporkan melalui jejaring resmi Kemendikbud.
Dia mengingatkan siswa senior di sekolah bahwa perpeloncoan itu adalah budaya kolonial dan harus ditinggalkan.
Menurut dia ruang interaksi senior dengan junior tidak hanya pada hari pertama MOS, tetapi ada sepanjang tahun.
Dia mengatakan anak muda dapat dianggap pemimpin jika dihormati oleh sebayanya, bukan karena ditakuti oleh adik kelasnya.
"Kalau menjadi pemimpin karena ditakuti, itu kuno dan enggak menarik. Seorang pemimpin itu diikuti teman-temannya karena apa yang dikerjakannya menarik, gagasannya baik, maka dia akan diikuti secara suka rela," kata Anies.
Perpeloncoan yang pernah dilakukan di masa lalu agaknya terpengaruh oleh tradisi penggemblengan mental yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan kedinasan, tertutama yang berciri militeristik.
Korban yang antara lain mengalami luka berat, bahkan sampai meninggal, membuat perpeloncoan diperbaiki secara sistematis, misalnya dengan menjadikan masa perpeloncoan itu menjadi masa orientasi studi.
Namun MOS yang diselenggarakan oleh kalangan siswa yang aktif di organisasi siswa intra sekolah (OSIS) cenderung membuat siswa baru menjadi objek dalam aktivitas yang aneh-aneh.
Tentu ada sejumlah sisi positif dalam aktivitas MOS yang bisa dipetik sebagai bagian latihan penggemblengan mental jika kegiatan itu tak melahirkan ekses negatif. Sebab, banyak romantisme belajar yang lahir dari kegiatan itu.
Sebagai contoh, di hari penutupan kegiatan MOS, para senior dan siswa baru menyelenggarakan acara api unggun dan di sana diselenggarakan acara malam yang mengesankan. Mereka membaca puisi, menampilkan acara unjuk bakat kreatif dan diakhiri dengan saling memaafkan karena kekhilafan yang berlangsung selama MOS.
Tak jarang, acara malam yang syahdu itu menjadi malam yang penuh haru dan tak sedikit yang menitikkan air mata.
Namun zaman sudah berubah. Menteri Anies Baswedan tak mau mengambil risiko terjadinya aksi kekerasan yang menjadi ekses kegiatan MOS. Saat ini adalah masa di mana kedamaian, kenyamanan, dan keteraturan lebih diutamakan.
Untuk menegakkan disiplin di sekolah, pelanggar Permendikbud No 18 Tahun 2016 akan dikenai sanksi yang ringan hingga sanksi berat seperti penutupan sekolah.
Sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman dan menyenangkan. Sungguh ironis jika ada siswa yang menjadi korban kekerasan justru di saat mengikuti proses pengenalan lingkungan sekolah yang harusnya edukatif, mencerahkan dan humanistik.
Tahun ajaran baru 2016/2017 telah tiba. Ada kebijakan baru yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan apa yang selama ini dikenal sebagai masa orientas studi (MOS), yang cenderung mengarah ke bentuk perpeloncoan.
Lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 18/2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah, Pemerintah menetapkan sejumlah aturan yang tujuannya untuk menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman dan gembira.
Kini kegiatan MOS yang aneh-aneh seperti tahun-tahun sebelumnya dilarang. Aktivitas yang menyerupai bentuk perpeloncoan yang sering melahirkan ekses kekerasan juga dihentikan.
Permendikbud ini menggantikan kebijakan terkait MOS yang selama ini rentan menjadi melenceng ke arah kekerasan yang pernah terjadi sebelumnya. Peraturan ini mengatur sanksi yg mengikat bagi ekosistem pendidikan yang ada di sejumlah jenjang pendidikan.
Dengan demikian, mulai tahun ini, MOS berubah namanya menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dalam kegiatan yang maksimum dilaksanakan selama tiga hari ini penyelenggaranya adalah guru, pada hari dan jam sekolah, tidak boleh melibatkan alumni, dan siswa senior hanya untuk membantu guru.
Dalam kegiatan MPLS, berbagai bentuk atribut yang aneh-aneh sebagaimana ditemui pada era sebelumnya dinyatakan terlarang. Pelarangan itu menyangkut penggunaan atribut tas karung, tas belanja Plastik dan sejenisnya, kaos kaki berwarna-warni tidak simetris dan sejenisnya.
Aksesoris di kepala yang tidak wajar, alas kaki yang tidak wajar juga tidak boleh dikenakan siswa baru. Papan nama yang berbentuk rumit dan menyulitkan dalam pembuatannya yang berisi konten yang tidak bermanfaat perlu dihindari. Pelarangan itu juga menyangkut atribut lainnya yg tidak relevan dengan aktivitas belajar.
Beda dengan aktivitas MOS sebelumnya, kini siswa baru tak boleh dibebani dengan mewajibkan mereka membawa suatu produk dengan merek tertentu. Pekerjaan konyol seperti menghitung sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti menghitung nasi, gula, semut dan semacamnya harus dihindari.
Menyuruh siswa baru untuk memakan dan meminum makanan dan minuman sisa yang bukan milik masing-masing siswa diharamkan.
Memberikan hukuman kepada siswa baru yang tidak mendidik seperti menyiramkan air serta hukuman yang bersifat fisik dan/atau mengarah pada tindak kekerasan juga diharamkan.
Memberikan tugas yang tidak masuk akal seperti berbicara dengan hewan atau tumbuhan serta membawa barang yang sudah tak diproduksi sehingga merepotkan siswa harus dihindari.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan, semua aturan itu dimaksudkan untuk mewujudkan iklim sekolah yang aman, nyaman dan menggembirakan bagi siswa baru.
Semua ini adalah wujud Nawacita, dengan hadirnya negara dalam memberikan rasa aman pada warga dan melakukan revolusi mental lewat jalur pendidikan, tambah Anies Baswedan.
Dia mengatakan masyarakat yang menemukan tindak kekerasan di sekolah, mereka dapat melaporkan melalui jejaring resmi Kemendikbud.
Dia mengingatkan siswa senior di sekolah bahwa perpeloncoan itu adalah budaya kolonial dan harus ditinggalkan.
Menurut dia ruang interaksi senior dengan junior tidak hanya pada hari pertama MOS, tetapi ada sepanjang tahun.
Dia mengatakan anak muda dapat dianggap pemimpin jika dihormati oleh sebayanya, bukan karena ditakuti oleh adik kelasnya.
"Kalau menjadi pemimpin karena ditakuti, itu kuno dan enggak menarik. Seorang pemimpin itu diikuti teman-temannya karena apa yang dikerjakannya menarik, gagasannya baik, maka dia akan diikuti secara suka rela," kata Anies.
Perpeloncoan yang pernah dilakukan di masa lalu agaknya terpengaruh oleh tradisi penggemblengan mental yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan kedinasan, tertutama yang berciri militeristik.
Korban yang antara lain mengalami luka berat, bahkan sampai meninggal, membuat perpeloncoan diperbaiki secara sistematis, misalnya dengan menjadikan masa perpeloncoan itu menjadi masa orientasi studi.
Namun MOS yang diselenggarakan oleh kalangan siswa yang aktif di organisasi siswa intra sekolah (OSIS) cenderung membuat siswa baru menjadi objek dalam aktivitas yang aneh-aneh.
Tentu ada sejumlah sisi positif dalam aktivitas MOS yang bisa dipetik sebagai bagian latihan penggemblengan mental jika kegiatan itu tak melahirkan ekses negatif. Sebab, banyak romantisme belajar yang lahir dari kegiatan itu.
Sebagai contoh, di hari penutupan kegiatan MOS, para senior dan siswa baru menyelenggarakan acara api unggun dan di sana diselenggarakan acara malam yang mengesankan. Mereka membaca puisi, menampilkan acara unjuk bakat kreatif dan diakhiri dengan saling memaafkan karena kekhilafan yang berlangsung selama MOS.
Tak jarang, acara malam yang syahdu itu menjadi malam yang penuh haru dan tak sedikit yang menitikkan air mata.
Namun zaman sudah berubah. Menteri Anies Baswedan tak mau mengambil risiko terjadinya aksi kekerasan yang menjadi ekses kegiatan MOS. Saat ini adalah masa di mana kedamaian, kenyamanan, dan keteraturan lebih diutamakan.
Untuk menegakkan disiplin di sekolah, pelanggar Permendikbud No 18 Tahun 2016 akan dikenai sanksi yang ringan hingga sanksi berat seperti penutupan sekolah.
Sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman dan menyenangkan. Sungguh ironis jika ada siswa yang menjadi korban kekerasan justru di saat mengikuti proses pengenalan lingkungan sekolah yang harusnya edukatif, mencerahkan dan humanistik.