Sejalan dengan akan berakhirnya sepertiga pertama kegiatan puasa Ramadhan 1437 Hijriah yang dilaksanakan umat Islam di dunia, maka barangkali ada baiknya bila salah satu hikmah ibadah ini dijadikan sebagai bahan berpikir tentang perjalanan bangsa sekarang.

        Jika dalam Islam diyakini bahwa sepertiga pertama dari Ramadhan adalah merupakan fase rahmat (fase limpahan rahmat dan pahala)  --diikuti fase maghfirah (pengampunan) pada 10 hari berikutnya, serta fase "itqun minan nar" (pembebasan dari api neraka) pada sepertiga terakhir Ramadhan-- maka barangkali proses perjalanan bangsa Indonesia saat ini perlu pula kita refleksikan pada tiga fase yang berbeda tersebut.

        Dalam konteks rahmat, kita semua tentu patut bersyukur kehadirat Allah SWT bahwa hingga saat ini bangsa dan negara kita masih ada, pemerintah yang berdaulat di bawah pimpinan Presiden Jokowi masih terus berjalan dan gonjang-ganjing politik nasional pun terlihat semakin mereda, serta setidaknya sebagian besar rakyat ternyata masih dapat makan dan menghidupi dirinya dengan berbagai cara yang mereka  miliki.

        Sedangkan dalam fase maghfirah (pengampunan), sebelum memohon ampun kepada Ilahi maka tentunya kita semua perlu untuk merenungkan berbagai kesalahan sendiri dalam perjalanan masing-masing, baik pada tataran individu maupun dalam hal institusi sebagai suatu entitas.

        Allah SWT memang Maha Tahu tentang berbagai kesalahan kita, namun Allah juga telah mengingatkan bahwa nasib suatu bangsa tak akan Dia ubah jika bangsa itu tak mau mengubahnya. Dengan demikian, maka kesadaran dan kejujuran atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat tentunya menjadi prasyarat dari pengampunan menuju perubahan tersebut.

    
               Kesadaran dan kejujuran diri
        Dalam konteks berbangsa dan bernegara, seorang pelajar/mahasiswa tentu perlu mengintrospeksi diri tentang kesungguhan serta kedisiplinan mereka dalam belajar serta menuntut ilmu. Sejalan dengan era kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, di satu sisi tugas seorang guru/dosen tampaknya menjadi lebih ringan dalam hal menyampaikan informasi (baca: pengetahuan).

        Namun di sisi lain tumbuhnya "perilaku instan" di tengah masyarakat menjadikan bebannya lebih berat dalam hal menumbuhkan "ilmu" dalam diri murid/mahasiswanya.

        Sudahkah Sang guru/dosen mencurahkan segala kompetensi, tenaga dan waktunya untuk secara sungguh-sungguh menempa "alam pikir", "alam rasa", "alam jiwa" dan "alam raga" murid/mahasiswanya? Atau kah sang guru sudah kehabisan tenaga karena perubahan kurikulum belaka? Atau malah sang dosen menjadi "mati langkah" akibat penerapan jargon manajemen pendidikan yang selama 15 tahun terakhir hanya menjadikannya sebagai "pelayan" belaka bagi mahasiswanya?

        Idealnya, ketika kita sebagai seorang suami (sebagai pemimpin dalam keluarga) tentu kita dituntut untuk menafkahi istri dan anak-anak nya dengan rezeki yang halal, sedangkan seorang istri tentu diwajibkan untuk menundukkan hati dan pikirannya kepada suaminya seutuhnya. Sudahkan salah satu prasyarat terbentuknya keluarga sakinah itu kita jalankan guna melahirkan dan membentuk generasi penerus yang barakah untuk kemajuan nusa dan bangsa?

        Ketika kita sebagai seorang pemimpin di suatu entitas kerja, kita tentunya punya kewaijban moral untuk mensejahterakan para sub-ordinat kita, sedangkan sebaliknya saat sebagai seorang staf tentunya kita punya kewajiban untuk memberikan semua kompetensi terbaik agar tercapai dan berhasilnya misi bersama yang kita emban di bawah arahan sang pemimpin.

        Sudahkah hal tersebut kita lakukan, atau kita semua hanya sibuk bernafsi-nafsi dalam memainkan "office-politicking" untuk menguntungkan diri masing-masing?

        Tatkala kita sebagai seorang pengusaha, apakah kita sudah membayarkan upah para pekerja kita secara pantas sebelum keringatnya kering, apakah kita sudah jujur dalam berusaha, serta telah beradabkah kita dalam mengambil keuntungan dan taatkah kita akan pajak? Sebaliknya, pada saat kita sebagai konsumen sudah sadarkah kita bahwa perekeonomian bangsa dan negara perlu dibangun dengan mengutamakan sikap untuk mengonsumsi produksi dalam negeri?

        Lebih lanjut, (jika kita) sebagai seorang presiden/menteri tentu pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita adalah: (a) apakah aku telah menjadi presiden/menteri untuk mejamin kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat bangsa ku, atau aku hanya telah menjadi "petugas partai" (meminjam istilah Ibu Megawati) dan presiden/menteri bagi para relawan serta cukong pendukung ku saja.

        Kemudian, (b) apakah aku telah melahirkan keputusan-keputusan yang baik dan benar, terukur serta benar-benar berguna bagi negara dan bangsaku, atau sebenarnya aku hanya melahirkan proyek-proyek impianku yang menguntungkan para kroni ku dan bangsa asing saja.

        Lalu, (c) apakah aku telah berdiri tegak dan bersikap berani untuk membela kepentingan serta marwah bangsa dan negara ku, atau sesungguhnya aku hanya telah tunduk dan dijajah oleh bangsa asing yang berhasil menakut-nakuti aku?

                        Tuma'ninah dan kabinet kerja
        Dalam Islam, dinyatakan bahwa shalat lima waktu adalah merupakan "tiang agama", sedangkan "tuma'ninah" adalah merupakan salah satu rukun dalam melaksanakan shalat. Melalui kewajiban "tuma'ninah" setiap individu yang melaksanakan shalat tidak hanya dituntun dan dituntut menyadari setiap doa dan bagian dari shalat yang sedang dia lakukan, melainkan juga diwajibkan untuk menghayati serta meresapi serta meyakininya secara sungguh-sungguh.

        Meskipun dalam Islam dinyatakan bahwa "shalat" nya seorang hamba adalah sebagai penentu utama dalam penghitungan amal-ibadah hamba tersebut selama hidupnya, namun Allah SWT juga mengingatkan bahwa seorang hamba yang rajin shalat adalah bisa "cilaka" jika hamba tersebut: (a) mendustakan agama, (b) mencela anak yatim, (c) tidak mau memberi makan orang miskin, (d) lalai dalam waktu shalat, serta (e) bersikap "riya".

        Dalam berbagai pengajian tasawuf dijelaskan bahwa "kealpaan/kegagalan" seorang hamba dalam melakukan "tuma'ninah" pada saat shalat akan punya kecenderungan menjadikan shalat hamba tersebut ibarat hanya seperti "bulir-bulir padi yang hampa", sehingga bukan tidak mungkin dia akan masuk dalam golongan hamba-hamba yang "celaka".

        Jika ajaran tentang "cilakanya" kinerja orang yang shalat di atas direfleksikan dengan kehidupan bernegara, maka kinerja suatu rezim pemerintah yang sedang berkuasa akan bisa menjadi "celaka" pula jika: (a) mendustakan amanat UUD-45 dan Pancasila, (b) mencela marwah bangsa sendiri, (c) tidak mau memberi makan bangsa sendiri yang jelas-jelas masih miskin, (d) lalai dalam memaknai waktu pembangunan, serta (e) bersikap "riya" dalam banyak hal.

        Atas hal itu, maka Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo kiranya perlu untuk kita gugah agar juga berkenan melakukan "tuma'ninah" atas segala keputusan politik dan pembangunan yang sedang dan akan dikerjakan.

        Kabinet kerja perlu kita gugah untuk "tuma'ninah" agar tidak mendustakan amanat UUD-45 dan Pancasila.

        Kita semua perlu membantu Kabinet Kerja agar dalam pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya haruslah benar-benar untuk kemakmuran rakyat, dalam bentuk usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

        Kita semua perlu mengingatkan Kabinet Kerja bahwa membuka "kran investasi" dan memberi konsensi kepada bangsa asing untuk menanamkan investasi dan menguasai berbagai proyek strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah suatu kekeliruan yang sangat serius.

        Investasi dan konsesi bagi bangsa asing hanyalah menjadikan rakyat sebagai "budak ekonomi" bangsa asing, sebagai pekerja dan pemakan gaji yang tidak akan pernah menjadi benar-benar makmur. Perlu pula kita sadari bersama bahwa perbudakan ekonomi tersebut akan berjalan untuk jangka wakta puluhan tahun ke depan, yang bisa saja melewati usia para pemimpin Kabinet Kerja itu sendiri.

        Segenap rakyat Indonesia juga perlu bangkit dan bangun untuk menjaga serta membelakewibawaan Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara dalam menghadapi berbagai tekanan dan gerakan politik global bangsa asing; baik politik kedaulatan negara, politik ekonomi maupun politik lingkungan.

        Perlu kita sadari bahwa ketika seorang Kepala Negara kehilangan kewibawaan politiknya, maka hal tersebut dapat diibaratkan seperti "matinya" seorang ayah dan menjadikan rakyat negeri kita sebagai "yatim". Di sisi lain, seorang ayah (baca: Presiden) juga perlu "tuma'ninah" untuk meresapi dan menyadari fungsi serta tanggung jawabnya secara hakiki agar "kuat" untuk bertindak baik dan benar dalam memimpin dan menjaga marwah bangsanya.

        Memberikan banyak investasi strategis dan jangka panjang kepada bangsa asing dapat diibaratkan "menghinakan marwah" dan tidak mau memberi makan bangsa sendiri. Begitu pula halnya dengan kebijakan yang berpotensi untuk mematikan usaha dan industri strategis dalam negeri yang muncul sebagai akibat tekanan politik lingkungan global.

        Kabinet Kerja perlu diajak untuk "tuma'ninah" dalam menyadari bahwa sesungguhnya di dalam negeri sendiri potensi investasi tersebut sesungguhnya adalah lebih dari berlimpah.

        Mari bayangkan berapa nilai kapital yang bisa dikumpulkan oleh para kaum "Nahdiyin"/NU (60 juta orang), kaum Muhammadiyah (30 juta orang), para PNS (5 juta orang) dan para kaum non-Muslim (50 juta orang) di negeri ini jika seandainya pemerintah berhasil melahirkan suatu sistem (katakanlah untuk sementara kita sebut sebagai) "Saham Rakyat" sebesar Rp1 juta per orang dalam waktu setahun.

        Dalam setahun, Kabinet Kerja akan mampu mengumpulkan "Saham Rakyat" (hanya dari empat komponen bangsa itu saja) setidaknya sebesar RP145 triliun, bukan?

        Potensi "Saham Rakyat" itu jauh lebih besar dari semua janji-janji surga para investor asing itu, bukan? Hal itu tidak akan pernah bisa kita sadari jika fikiran, hati, jiwa dan raga kita hanya untuk partai maupun untuk relawan kita belaka; tidak untuk dan bersama rakyat kita.

        Atas hal itu, maka Kabinet Kerja juga perlu kita temani untuk "tuma'ninah" dalam merajut rentang waktu perencanaan keberhasilan yang mereka impikan. Melakukan proses pembangunan dengan pola "lonjak-lotongi" (istilah Minangkabau untuk menggambarkan sikap yang terlalu bersemangat dan progresif dengan tidak memperhatikan berbagai kaidah dan norma serta etika) adalah sama halnya dengan "lalai" atas waktu.

        Ibarat shalat di luar waktu adalah tidak sah, maka pembangunan yang berpola "lonjak-lotongi" juga adalah akan menjadi sia-sia belaka.

        Dalam konteks "riya", Kabinet Kerja juga perlu kita ajak untuk "tuma'ninah" agar benar-benar bisa menghayati betapa buruknya dampak dari berbagai bentuk program pencitraan yang muncul selama ini; baik dalam konteks gerakan-gerakan "beauty contest" yang sengaja diciptakan untuk mencuatkan dan memperkuat citra, maupun dalam bentuk "buzzer-war" yang bergerak untuk melakukan pembelaan atas suatu kritik.

        Dalam hal ini, "hilangnya" kritik kepada pemerintah dari berbagai media "main stream" adalah hal yang termasuk perlu diwaspadai oleh Kabinet Kerja.

        Kiranya Allah SWT berkenan untuk menuntun kita semua agar benar-benar bisa melakukan "tuma'ninah" sesuai posisi masing-masing.

        Semoga Allah juga berkenan membukakan mata dan pintu hati serta memberi kecerdasan dan kepahaman pada kita semua untuk dapat mempelajari serta mengamalkan ilmu dunia dan ilmu akhirat-Nya dengan sebaik-baiknya guna memperbaiki dan membangun bangsa serta negara ini.

    
*) Penulis adalah salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pewarta : Dr Ir Ricky Avenzora, MSc FTrop *)
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024