Akhir pekan lalu, saya bersama Syahril Japarin, Direktur Utama Perusahaan Perikanan Indonesia (Perum Perindo), BUMN yang bergerak di bidang Perikanan dan Kelautan Terpadu, mengunjungi KML Foods, sebuah perusahaan manufacturing hasil perikanan, kelautan dan pertanian di Gresik, Jawa Timur, yang dipimpin kawan lama, Muhammad Najikh.

        Berbeda dengan kunjungan saya pertama kali pada 2003, bisnis KML yang didirikannya sejak tahun 1994 kini telah berkembang pesat dan memiliki 46 pabrik pengolahan ikan di seluruh Indonesia. Selain lokal, pasarnya pun telah menembus Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Eropa, Tiongkok, Taiwan, Korea, Australia, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Afrika.

        Kini, jumlah karyawannya sudah melampaui angka 16.000 orang yang didukung dengan lebih dari 300 eksekutif. Bidang bisnisnya, selain pengolahan hasil laut, kini mulai memasok produk-produk pertanian dan mengembangkan produk-produk retail berbasis olahan ikan.

        Produk-produk utamanya tetap ditekuni yang terdiri atas produk udang beku, rajungan dan kepiting kalengan, ikan laut kering dan bernilai tambah, dan produk olahan berbasis surimi. Kini, KML juga merambah sayur-sayuran beku dan produk pertanian lainnya.

        Apa yang membedakan Najikh dengan kebanyakan dari kita? Visi dan aksi nyata.

        Potensi laut Indonesia terhampar di hadapan kita semua. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan 17.504 pulau dengan luas perairan laut 5,8 juta kilometer persegi, terdiri atas luas laut teritorial 0,3 juta km persegi, luas perairan kepulauan 2.95 juta km persegi dan luas ZEE Indonesia 2,55 juta km persegi adalah harta karun bagi kita semua.

        Terlalu lama kita memperbincangkan laut sebagai kisah kehebatan nenek moyang kita. Juga terlalu banyak kertas kerja dan seminar untuk membahas berbagai potensinya.

        Belakangan ini, saya makin sering mengunjungi Pelabuhan Perikanan Ikan, Muara Baru, Jakarta Utara. Kondisi pelabuhan perikanan itu jauh lebih baik dibandingkan dengan 30 tahun lalu saat saya masih mahasiswa, setelah pengelolaan pelabuhan diserahkan Pemerintah kepada Perum Parasarana Perikanan Samudera (PPS) pada 1990. Sejak tahun 2013 berubah nama menjadi Perum Perindo.

        Kini, Perum Perindo dipimpin sahabat lama, Syachril Japarin yang sering diserahi membenahi BUMN-BUMN yang potensial, namun bermasalah. Sebelumnya, Pelni dan Jakarta Dloyd. Syahril melanjutkan misi pembenahan Perum Perindo di bawah kepemimpinan Agus Suherman yang ditarik Menteri Susi Pudjiastuti ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

        Tak berlebihan bila Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla menetapkan ambisi Indonesia sebagai Poros Maritim dunia. Secara geopolitik, Indonesia memiliki posisi strategis karena terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

        Indonesia dapat menjadi salah satu pusat perdagangan global berbasis maritim dan menghubungkan kawasan Asia-Pasifik dengan Australia.

        Menurut data pada dokumen Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2015-2019, laut Indonesia pun memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies biota terumbu karang.

        Sumber daya ikan laut Indonesia meliputi 37 persen dari spesies ikan di dunia, terutama jenis-jenis ikan ekonomis penting seperti tuna, udang, lobster, ikan karang, berbagai jenis ikan hias, kerang-kerangan dan rumput laut.

        Bisnis Najikh baru sebagian kecil menampungnya dari para nelayan dan pengepul ikan dan mengolahnya untuk disalurkan pada pasar lokal dan tujuan ekspor.

        Di luar soal biaya, logistik dan kondisi infrastruktur yang memang masih payah sehingga harga-harga barang-barang kebutuhan hidup di wilayah timur dengan infrastruktur buruk lebih mahal dibandingkan dengan di Jawa dan Sumatera, banyak pelaku bisnis tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan kondisi infrastruktur itu, diantaranya Muhammad Najikh dan Susi Pujiastuti yang kini Menteri Kelautan dan Perikanaan.

        Semua dimulai dari yang kecil. Kedua pengusaha itu pun memulai dengan tekad, disiplin, dan ketekunan. Di antara semua itu, saya yakin pasti ada perjalanan hidup dan bisnis yang penuh air mata.

        Dibalik banyak kisah sukses, diantaranya selalu ada kisah-kisah kebangkitan.

        Sekarang kita menyaksikan Najikh sudah menjadi pengusaha kelas kakap, meski berawal dari bisnis ikan teri, di Indonesia. Kini, KML dikenal sebagai pemasok teri nasi terbesar di dunia.

        Namun perjuangan lelaki yang lahir 8 Juni 1962 di Desa Karangrejo, Manyar, Gresik, Jawa Timur itu bukanlah kisah masa kecil yang hidup dengan keberlimpahan.

        Najikh dibesarkan oleh keluarganya yang berlatar belakang penjual ikan. Bisnis keluarganya menurun lantaran rendahnya harga dan keterbatasan pasokan ikan.

        Tekadnya yang kuat untuk membawa gerbong keluarga membuat anak sulung dari delapan bersaudara ini pantang menyerah. Setelah menembus IPB melalui jalur tanpa tes, dan masuk jurusan Teknologi Industri Perikanan (TIN) angkatan 1980 (17).

        Najikh pun membangun jiwa sebagai calon wirausaha dengan memanfaatkan ilmunya agar tak jadi beban keluarga sekaligus membantu adik-adiknya dengan mengajar privat, bimbingan belajar, menjadi guru SMA, dan asisten dosen.

        Ia mengubah potensi dan sumberdaya yang dikuasainya untuk menjadi peluang untuk bertahan dan tumbuh.

        Setelah lulus dari IPB tahun 1985, Najikh kemudian berlabuh di perusahaan PT Karya Nusantara dan selanjutnya PT Istana Cipta Sejahtera di bidang penyimpanan dan pendinginan ikan masing-masing selama empat tahun.

        Ia selama delapan tahun belajar mengenali pasar dan melatih jiwanya sebagai pelaku industri penyimpanan dan pengolahan ikan.

        Sejarah pendirian bisnisnya pun dimulai dari sumberdaya yang bisa diaksesnya. Berawal dari peluang pebisnis Jepang yang ia kenal saat bekerja sebelumnya, ia ditawari untuk memasok ikan teri. Naluri bisnisnya menguat.

        Dengan modal terbatas yang dikumpulkannya termasuk dari pinjaman, ia mendirikan pabrik kecil di Tuban, pabrik berdinding gedek (bambu yang dianyam). Tekad dan semangatnya lebih besar dari keterbatasannya.  
   Pada tahun itu, 1994, Najikh mulai mengumpulkan teri dari nelayan-nelayan di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa untuk tujuan ekspor. Ia terjun sendiri ke nelayan, tengkulak, dan pelelangan-pelelangan ikan. Satu kontainer pertama terkirim. Ribuan kilo selalu dimulai dengan langkah pertama.

        Menurutnya, secara bisnis, hasil ekspor pertama, kedua, dan ketiga masih merugi. Namun pada tahun ekspor keempat keuntungan mulai diraih.

        Dengan teknologi, inovasi KML makin diterima pasar. Berbekal ilmunya di IPB dan pengalaman kerjanya, ia memberi sentuhan teknologi terhadap produk ikan mentah dalam bentuk kemasan kaleng, pembekuan, surimi, dan sejenisnya.

        Kisah Najikh kini adalah kisah kesuksesan seorang pebisnis yang juga tak lelah berbagi ilmu dan semangat kepada orang lain. Kini, ia juga aktif sebagai Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah.

        Bisnis Najikh kini beromzet Rp3 Triliun pada 2015, dan menetapkan visi untuk menjadi perusahaaan makanan terpadu yang terbaik dan paling kompetitif di Indonesia dengan omzet Rp10 Triliun pada 2020.

    Impiannya menjadi Dapur Indonesia, "Kitchen of Indonesia".

        Bagimana dengan Anda? Berani punya visi dan mewujudkannya? Najikh adalah contoh perjalanan panjang yang sukses lantaran visi, tekad, disiplin, ketekunan, dan aksi nyatanya lebih besar daripada keterbatasan dan masalah-masalah hidup yang dihadapinya. (*).

    
--------------
*) Penulis adalah Change Partner pada Strategic Actions dan Direktur Utama Perum LKBN ANTARA periode 2007-2012. Twitter: @mukhlisyusuf

Pewarta : Ahmad Mukhlis Yusuf *)
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024