Palm Springs, California, 16/2 (Antara) - "Trans-Pacific Partnership" (TPP) menjadi babak baru yang kerapkali menyisakan dua kepala negara/pemerintahan untuk berdiri di simpang jalan yang berbeda.

        Boleh jadi hal serupalah itulah yang kini sedang terjadi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama.

        Memang Jokowi belum sepenuhnya memutuskan untuk bergabung dalam sistem perdagangan yang dimotori oleh AS itu.

        Meski akhir tahun lalu dalam kunjungannya ke Washington DC, Jokowi memberikan sinyal positif dengan mengatakan bermaksud untuk bergabung dalam TPP.

        Namun, Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam kunjungan keduanya ke AS dalam rangka KTT AS-ASEAN justru menegaskan kalimat "bermaksud untuk bergabung" bukan sepenuhnya berarti resmi setuju untuk bergabung.

        Ia menegaskan, Indonesia perlu waktu untuk berproses dan belajar, yang bisa saja mencapai lama waktu dua hingga tiga tahun ke depan.

        Menurut dia, Indonesia ingin terlebih dahulu mempelajari praktik "Free Trade Agreement" (FTA) yang diberlakukan di Uni Eropa.

        "Itupun perlu proses yang tidak mungkin dalam waktu sebulan dua bulan enam bulan atau setahun. Ini proses yang masih panjang," ucapnya.

        Presiden menggarisbawahi hal-hal terpenting yakni perlunya kehati-hatian dalam mengkalkulasi atau menghitung untung rugi bergabung dalam TPP dengan mengedepankan kepentingan nasional Indonesia yang semua masih dalam proses.

        Keputusan itu menunjukkan betapa pun Jokowi ingin bersikap tegas, namun ia tetaplan seorang pemimpin yang sangat hati-hati dalam mengambil keputusan penting.

        Dalam KTT AS-ASEAN, sikap Jokowi terkait TPP memang ditunggu-tunggu, bahkan berbagai media asing memburu Presiden RI sekadar ingin mengetahui sikap Indonesia yang selama ini dianggap sebagai "leader" di ASEAN.

        Awalnya Jokowi mengambil wilayah di batas abu-abu, namun setelah berkonsultasi dengan timnya, Presiden tegas bahwa Indonesia butuh waktu untuk memutuskan.

        Hingga ia pun menegaskan bahwa kunjungannya ke AS kali ini tak ada sangkut pautnya dengan TPP.

    
Singgung TPP
   Sebaliknya Presiden Amerika Serikat (AS) Barack dengan gayanya yang tak ingin memaksakan mencoba memikat para kepala negara/pemerintahan ASEAN menyadari manfaat bergabung dalam TPP.

        KTT AS-ASEAN di Sunnylands, California, AS, pada 15-16 Februari 2016 pada beberapa media lokal di Negeri Paman Sam pun menyebutkan TPP menjadi salah satu bahasan. Namun, Obama terlalu terhormat untuk sebuah rayuan yang tidak berkelas.

        Maka dengan caranya sendiri, Obama berupaya menunjukkan betapa negara yang telah memutuskan untuk bergabung dalam TPP mendapatkan manfaat yang besar.

        Ia tak perlu berpanjang lebar untuk melakukannya, cukup menyinggung nama negara maka ia telah menunjukkan betapa anggota TPP memiliki tempat khusus di mata AS.

        Maka Presiden Obama pun dalam satu kalimat pidatonya menyebut soal TPP dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AS-ASEAN.

        Presiden Obama dalam "Opening Session" pada KTT AS-ASEAN di Sunnylands Center, Rancho Mirage, California, pada Senin sore waktu setempat (15/2) menyebut beberapa negara yang telah memutuskan untuk bergabung dalam TPP.

        "Dalam hal bergabung dengan TPP, Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Brunei telah berkomitmen untuk 'high labor' dan 'environmental standards'," kata Presiden Obama.

        Ia tidak secara langsung berkampanye soal TPP dalam forum itu, tetapi tampak menunjukkan betapa negara-negara ASEAN yang telah memutuskan untuk bergabung memiliki ruang dan kelas tersendiri.

        Obama tidak secara gamblang menyebutkan manfaat bergabung dengan TPP kepada para kepala negara/pemerintahan ASEAN, melainkan memilih hati-hati untuk meminta negara yang belum bergabung untuk mempertimbangkan diri masuk dalam TPP.

        TPP dalam beberapa waktu terakhir menjadi isu strategis, termasuk bagi Indonesia yang sejatinya sudah dilobi AS untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership, sejak 2012 silam.

        Untung rugi memang harus diperhitungkan, karena jika produk Indonesia belum siap dipasarkan dalam jumlah besar ke luar negeri, maka Indonesia hanya sekadar akan menjadi pasar karena TPP memungkinkan produk asing membanjiri pasar domestik.

        Perusahaan, pendidikan, teknologi juga harus dipastikan sesuai dengan standar negara-negara yang telah tergabung dalam TPP.

    
Kepentingan Nasional
   Sinyalemen positif justru datang dari Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang menegaskan "TPP Agreement" bisa dinegosiasikan tergantung pada kepentingan suatu negara yang ingin bergabung.

        Hal itu sekaligus, kata Menteri Lembong, mengoreksi persepsi yang selama ini berkembang bahwa TPP diibaratkan seperti paku yang sudah dimasak oleh 12 negara pendiri.

        "Saya mengoreksi selama ini ada persepsi bahwa TPP seperti paku, sudah dimasak oleh 12 negara pendiri itu tidak bisa dinego lagi, itu tidak benar, pasti masih bisa dinego lagi," tutur Thomas Lembong.

        Thomas menyatakan TPP masih bisa mengakomodasi usulan tambahan dari para calon anggotanya.

        Misalnya saja, dari Korea Selatan atau Filipina yang telah menyampaikan maksudnya untuk bergabung.

        Thailand juga serupa, kata dia, yang kemungkinan pada pekan ini akan menyampaikan poin-poin usulan untuk bergabung dengan TPP.

        "Setiap negara punya keistimewaan sendiri-sendiri punya syarat sendiri-sendiri dan yang namanya FTA itu selalu 'negotiable' yang harus disesuaikan dengan anggota-anggota yang ingin masuk," imbuhnya.

        Indonesia sendiri, kata dia, dalam posisi yang tidak akan serakah namun tetap akan mengedepankan kepentingan nasional ketika mempertimbangkan untuk bergabung dengan TPP.

        "Alasan kita mau masuk tentunya untuk kepentingan nasional, untuk mengangkat perekonomian, lapangan kerja. Dan Presiden sudah tegas dan jelas memerintahkan kami untuk nego yang benar untuk membela kepentingan nasional," tegasnya.

        Pendapat Thomas menjadi sinyalemen positif yang bisa diterka bahwa mungkin saja Indonesia akan bergabung sepanjang kepentingan nasional Indonesia terakomodir di dalamnya. Meskipun perlu waktu yang tidak sebentar.


Pewarta : Hanni Sofia Soepardi
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024