Jakarta  (Antara News) - Rapat paripurna DPR dengan agenda utama membahas nasib revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dijadwalkan pada Kamis (11/2) batal.

        Penyebabnya adalah ada dua fraksi menolak revisi UU KPK. Padahal dalam rapat Badan Legislasi DPR Rabu (10/2) baru Fraksi Partai Gerindra yang menolak, namun pada Kamis (11/2), Ketua Umum  Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono meminta anggota F-PD DPR untuk menolak revisi.

       "FPD berkepentingan melakukan penguatan kelembagaan KPK baik lembaga maupun kewenangannya. Kami tentu akan menolak revisi apabila ditujukan untuk memperlemah KPK," kata Sekretaris F-PD Didik Mukrianto pada Kamis (11/2).

        FPD menilai independensi KPK harus tetap terjaga agar tidak ada intervensi dari pihak manapun, termasuk pemerintah melalui Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam konsep revisi UU.

        Dukungan selanjutnya datang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak melanjutkan revisi UU KPK bila revisi akan melemahkan lembaga penegak hukum tersebut.

        Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini mengatakan revisi UU KPK bisa dilanjutkan apabila melibatkan KPK untuk memberikan masukan-masukan yang substansial.

        Sedangkan Fraksi Partai Gerindra sejak awal menegaskan bahwa konsep revisi UU KPK yang ditawarkan akan membunuh KPK karena keempat butir yang akan direvisi merupakan unsur penting bagi KPK.

        "Kalau empat poin itu direvisi, artinya bubarkan saja KPK lalu serahkan (tugas pemberantasan korupsi) kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung," kata anggota Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, Kamis (11/2).

        Sikap kedua fraksi itu membuat beberapa fraksi lainnya berpikir ulang sehingga paripurna DPRD ditunda hingga Kamis (18/2).

    
               Persetujuan Presiden     
    Untuk membuat suatu undang-undang perlu ada persetujuan presiden sebagai kepala pemerintahan. Atas usulan revisi UU KPK ini, Presiden Joko Widodo juga menolak tegas bila memperlemah lembaga tersebut.

        "Kalau revisi dimaksudkan untuk memperlemah KPK, Presiden tegas, pemerintah akan menarik diri dari pembahasan revisi UU itu. Kalau revisi dimaksudkan untuk memperlemah maka pemerintah akan menarik diri dari pembahasan itu," kata Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi SP.

        Contoh upaya pelemahan KPK dari draft revisi misalnya pembatasan atau pemangkasan kewenangan yang selama ini dimiliki KPK seperti penyadapan yang harus meminta izin kepada Dewan Pengawas.

        "Jika sebaliknya misalnya lembaga KPK dibatasi umurnya, kewenangan penuntutan diambil, maka bisa menarik diri untuk tidak melanjutkan pembahasan," kata Johan.

        Pimpinan KPK sendiri sejak awal tidak menyetujui revisi tersebut karena dinilai melemahkan KPK.

        "Saya bisa pastikan kepada teman-teman semua sebagian besar dari 'draft' ini adalah pelemahan, lebih dari 90 persen bukan penguatan terhadap KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Rabu (3/2).

        Karena menilai revisi akan melemahkan KPK, maka tidak ada satu pun pimpinan yang hadir dalam rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Kamis (4/2).

        "Setelah kami teliti bahwa banyak yang mengarah kepada pelemahan KPK misalnya soal kewenangan Dewan Pengawas yaitu penyadapan harus minta izin Dewan Pengawas, ini betul-betul kita anggap yang melemahkan sehingga kami anggap tidak cocok dengan apa yang dikerjakan selama ini," kata Laode.

        Terkait dengan penyadapan, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai bahwa penyadapan harus dibuat cepat dan tepat.

        "Selama masih bisa menyadap dan dibuat 'velox and exactus' (cepat dan tepat), aman serta rendah risiko 'masuk angin', maka itu lebih dari cukup," kata Saut.

        KPK juga menegaskan penolakan adanya minimal kerugian negara sebesar Rp25 miliar.

        "Hal (minimal kerugian) ini pun akan kami diskusikan karena sebenarnya bukan soal besaran uangnya tapi soal aktor yang melakukan tindak kejahatan pidana korupsi itu. Misalnya anggap saja seorang pejabat tinggi, dia hanya misalnya kurang dari Rp1 miliar, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kan mengenai perubahan sikap perilaku menjadi bukan hanya untuk mengembalikan kerugian negara tetapi ingin mengubah perilaku seseorang supaya jangan melakukan tipikor di kemudian hari ini juga," jelas Laode.

        KPK dalam surat yang dikonsepkan oleh Tim Biro Hukum ke Baleg pada Kamis (4/2) juga menegaskan bahwa UU KPK yang ada sekarang sudah cukup mendukung operasional kegiatan KPK sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.

        KPK pun menyarankan DPR bersama dengan pemerintah untuk lebih mendahulukan pembahasan dan penyusunan beberapa UU terkait dengan pemberantasan korupsi, yaitu: (a) Amendemen UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (b) penyusunan UU Perampasan Aset sebagai implementasi atau tindak lanjut dari UU 7/2006 tentang ratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan (c) Harmonisasi rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

              Empat Poin
   Dari total 47 pasal yang ada dalam UU KPK, setidaknya ada empat butir pembahasan yang menimbulkan penolakan tegas.

        Pertama, pembatasan kewenangan tindak pidana korupsi yang boleh ditangani KPK. Pada pasal 11 UU KPK disebutkan (1) KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum penyelenggara negara dan orang lain dan (b) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp25 miliar; (2) Bila tidak memenuhi syarat ayat (1) huruf a dan b, KPK wajib menyerahkan penyelidikan dan penyidikan kepada kepolisian atau Kejaksaan Agung; (3) KPK melakukan supervisi terhadap penyelidikan dan penyidikan yang diserahkan.

        Kedua, soal pembatasan kewenangan penyadapan KPK yang tertera pada pasal 12A ayat (1) penyadapan dilaksanakan (a) setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan (b) izin tertulis dari Dewan Pengawas; (2) Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan; (3) penyadapan paling lama 3 bulan terhitung izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.

        Ketiga, Dewan Pengawas yang diatur dalam pasal 37A-D. Pasal 37A Dewan Pengawas merupakan lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Anggota Dewan Pengawas berjumlah lima orang dan satu orang di antaranya ditetapkan sebagai ketua Dewan Pengawas.

        Anggota Dewan Pengawas pada Pasal 37D disebutkan dipilih dan diangkat oleh Presiden dan memegang jabatan selama 4 tahun serta dapat dipilih dalam jabatan yang sama untuk 1 kali masa jabatan.

        Adapun tugas Dewan Pengawas diatur dalam Pasal 37B yaitu ayat (1) Dewan pengawal bertugas (a) mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK (b) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, (c) melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun, (d) menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran ketentuan dalam UU; ayat (2) Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala satu kali dalam satu tahun; (3) Laporan disampaikan kepada Presiden dan DPR.

        Keempat, KPK dalam draft revisi UU ini berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tipikor (pasal 40).

        Namun sesungguhnya masih ada dua hal lain lagi yang mengganggu yaitu penyelidik dan penyidik KPK hanya dapat berasal dari Polri yang diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK atas usulan Kapolri (pasal 43 dan pasal 45).

        Hal lain adalah kewenangan penyitaan oleh KPK pun hanya boleh dengan izin Dewan Pengawas seperti dalam pasal 47: (1) Atas dasar dugaan yang kuat dan bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan dengan izin Dewan Pengawas (2) Ketentuan UU yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan tidak berlaku berdasarkan UU ini.

        Artinya draft revisi UU KPK ini memang ingin menjadikan KPK tergantung pada Dewan Pengawas yang diangkat oleh presiden sekaligus bergantung pada Kepolisian Republik Indonesia sebagai satu-satunya lembaga penyuplai penyelidik dan penyidik KPK, hal ini patut ditolak keras bersama-sama.

Pewarta : Oleh Desca Lidya Natalia
Editor : Abdul Azis Senong
Copyright © ANTARA 2024