Jakarta (Antara News) - Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna berpendapat penggunaan seragam ala militer yang digunakan oleh Kementerian Perhubungan dan Kementerian Hukum dan HAM akan menimbulkan salah persepsi.
"Ini bisa menimbulkan salah persepsi, dan bisa disalahgunakan oknum yang tidak bertanggung jawab," kata KSAU usai memimpin upacara serah terima jabatan Panglima Komando Operasi Angkatan Udara I dari Marsekal Muda TNI A Dwi Putranto kepada Marsekal Pertama TNI Yuyu Yutisna, di Lapangan Upacara Makoopsau I, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa.
Meski belum ada dampak negatif yang timbul, namun dirinya tak ingin jika suatu saat kesamaan seragam ini malah membuat orang salah persepsi.
"Jika ada oknum yang nakal, maka bisa jadi AU jadi sasaran tembak, padahal itu bukan AU," ucapnya.
Begitu juga sebaliknya, dirinya khawatir jika anggotanya ada yang nakal, maka pegawai kementerian yang kena sasaran. Ia pun berharap tak ada kendala dan persoalan yang serius di 2016 ini.
"Saya berharap sih kita semua baik-baik dan lebih baik lagi ke depan," ujar Agus.
KSAU mengaku sudah mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan dan Kementerian Hukum dan HAM terkait seragam dinas yang mirip dengan seragam militer Angkatan Udara itu.
Ia pun telah memberikan pemahaman ke mereka bahwa sebaiknya seragam dinas tak sama seperti seragam yang dipakai oleh militer.
"Itu kita sudah buat surat, sudah disampaikan. Segala sesuatu tergantung pada pemerintah. Segala sesuatu ada seragam sendiri-sendiri. Secara kehidupan mungkin ada kebanggaan menggunakan seragam militer," demikian Marsekal TNI Agus Supriatna.
Sebelumnya, Kadispenau Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto, mengatakan bahwa untuk menghindari masyarakat sipil menjadi sasaran kekerasan dalam konflik militer, maka sudah saatnya penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil dihentikan.
"Selain melanggar hukum, penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil, sejatinya sangat membahayakan dirinya, karena bila terjadi konflik militer mereka dapat menjadi sasaran tembak kelompok militer dalam konflik bersenjata," tegas Dwi.
Penghentian pemakaian, lanjut Dwi, harus dipahami bersama, baik oleh 'combatan' dan 'civilian' sebagai gerakan moral dalam rangka melindungi civilian dari tindak kekerasan oleh militer dalam konflik bersenjata.
"Penghentian penggunaan seragam dan atribut militer juga harus dipahami sebagai upaya taat dan tertib hukum masyarakat dan bangsa Indonesia terhadap hukum internasional seperti yang tertuang dalam konvensi Jenewa 1949," tukass Dwi.
Sementara itu, bagi TNI AU khususnya dan TNI umumnya, penggunaan perlengkapan militer perorangan, antara lain berupa seragam dan atribut militer, secara yuridis formal, di lingkungan TNI AU/TNI telah diatur dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/346/X/2004 tanggal 5 Oktober 2004 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian Dinas Seragam TNI dan Peraturan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor Perkasau/130/XII/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian dinas seragam TNI AU.
Tujuannya jelas untuk memelihara soliditas prajurit, meningkatkan rasa disiplin, membangun citra institusi dan sekaligus tanggung jawab prajurit.
Dengan demikian, penggunaan pakaian seragam dan atribut militer oleh prajurit TNI AU/TNI tentunya bukan untuk tujuan gagah-gagahan, tetapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer sebagai combatan terhadap institusi nonmiliter sebagai civilian.
"Kalau kemudian belakangan ini banyak institusi sipil (pemerintah dan swasta) juga menggunakan seragam dan atribut militer, tetunya perlu dikaji kembali landasan hukum apa yang menjadi alasan bagi mereka sehingga ikut menggunakan seragam dan atribut militer," tutur Dwi.
Dwi menambahkan, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil di lingkungan Kemenhub, Kemenkum HAM, Polsuska membawa dampak kurang baik di internal TNI.
Duplikasi itu dianggap telah 'melukai' hati prajurit TNI, yang dapat berimplikasi pada turunnya moril prajurit, karena tidak ada lagi kebanggaan terhadap seragam dan atribut yang dipakainya, karena tidak ada bedanya dengan instansi sipil.
Sedangkan, dari segi eksternal duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer dapat menimbulkan image negatif bagi prajurit atau institusi militer.
Kondisi itu bisa terjadi bila masyarakat sipil yang menggunakan seragam dan atribut militer melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Masyarakat awam, akan beranggapan pelakunya adalah prajurit TNI, karena tidak dapat membedakan mana prajurit asli dan sipil.
Untuk mempercepat pengembalian penggunaan seragam dan atribut militer sesuai fungsinya, sudah saatnya semua pihak yang berkompeten di bidang ini untuk segera duduk bersama, berkoordinasi dan mencari solusi terbaik atas penggunaan seragam dan atribut militer di kalangan sipil.
"Beberapa lembaga yang berkompeten itu, antara lain Kemenpolhukam, Kemendagri, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Kepolisian RI serta Mabes TNI," tutupnya.
"Ini bisa menimbulkan salah persepsi, dan bisa disalahgunakan oknum yang tidak bertanggung jawab," kata KSAU usai memimpin upacara serah terima jabatan Panglima Komando Operasi Angkatan Udara I dari Marsekal Muda TNI A Dwi Putranto kepada Marsekal Pertama TNI Yuyu Yutisna, di Lapangan Upacara Makoopsau I, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa.
Meski belum ada dampak negatif yang timbul, namun dirinya tak ingin jika suatu saat kesamaan seragam ini malah membuat orang salah persepsi.
"Jika ada oknum yang nakal, maka bisa jadi AU jadi sasaran tembak, padahal itu bukan AU," ucapnya.
Begitu juga sebaliknya, dirinya khawatir jika anggotanya ada yang nakal, maka pegawai kementerian yang kena sasaran. Ia pun berharap tak ada kendala dan persoalan yang serius di 2016 ini.
"Saya berharap sih kita semua baik-baik dan lebih baik lagi ke depan," ujar Agus.
KSAU mengaku sudah mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan dan Kementerian Hukum dan HAM terkait seragam dinas yang mirip dengan seragam militer Angkatan Udara itu.
Ia pun telah memberikan pemahaman ke mereka bahwa sebaiknya seragam dinas tak sama seperti seragam yang dipakai oleh militer.
"Itu kita sudah buat surat, sudah disampaikan. Segala sesuatu tergantung pada pemerintah. Segala sesuatu ada seragam sendiri-sendiri. Secara kehidupan mungkin ada kebanggaan menggunakan seragam militer," demikian Marsekal TNI Agus Supriatna.
Sebelumnya, Kadispenau Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto, mengatakan bahwa untuk menghindari masyarakat sipil menjadi sasaran kekerasan dalam konflik militer, maka sudah saatnya penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil dihentikan.
"Selain melanggar hukum, penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil, sejatinya sangat membahayakan dirinya, karena bila terjadi konflik militer mereka dapat menjadi sasaran tembak kelompok militer dalam konflik bersenjata," tegas Dwi.
Penghentian pemakaian, lanjut Dwi, harus dipahami bersama, baik oleh 'combatan' dan 'civilian' sebagai gerakan moral dalam rangka melindungi civilian dari tindak kekerasan oleh militer dalam konflik bersenjata.
"Penghentian penggunaan seragam dan atribut militer juga harus dipahami sebagai upaya taat dan tertib hukum masyarakat dan bangsa Indonesia terhadap hukum internasional seperti yang tertuang dalam konvensi Jenewa 1949," tukass Dwi.
Sementara itu, bagi TNI AU khususnya dan TNI umumnya, penggunaan perlengkapan militer perorangan, antara lain berupa seragam dan atribut militer, secara yuridis formal, di lingkungan TNI AU/TNI telah diatur dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/346/X/2004 tanggal 5 Oktober 2004 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian Dinas Seragam TNI dan Peraturan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor Perkasau/130/XII/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian dinas seragam TNI AU.
Tujuannya jelas untuk memelihara soliditas prajurit, meningkatkan rasa disiplin, membangun citra institusi dan sekaligus tanggung jawab prajurit.
Dengan demikian, penggunaan pakaian seragam dan atribut militer oleh prajurit TNI AU/TNI tentunya bukan untuk tujuan gagah-gagahan, tetapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer sebagai combatan terhadap institusi nonmiliter sebagai civilian.
"Kalau kemudian belakangan ini banyak institusi sipil (pemerintah dan swasta) juga menggunakan seragam dan atribut militer, tetunya perlu dikaji kembali landasan hukum apa yang menjadi alasan bagi mereka sehingga ikut menggunakan seragam dan atribut militer," tutur Dwi.
Dwi menambahkan, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil di lingkungan Kemenhub, Kemenkum HAM, Polsuska membawa dampak kurang baik di internal TNI.
Duplikasi itu dianggap telah 'melukai' hati prajurit TNI, yang dapat berimplikasi pada turunnya moril prajurit, karena tidak ada lagi kebanggaan terhadap seragam dan atribut yang dipakainya, karena tidak ada bedanya dengan instansi sipil.
Sedangkan, dari segi eksternal duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer dapat menimbulkan image negatif bagi prajurit atau institusi militer.
Kondisi itu bisa terjadi bila masyarakat sipil yang menggunakan seragam dan atribut militer melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Masyarakat awam, akan beranggapan pelakunya adalah prajurit TNI, karena tidak dapat membedakan mana prajurit asli dan sipil.
Untuk mempercepat pengembalian penggunaan seragam dan atribut militer sesuai fungsinya, sudah saatnya semua pihak yang berkompeten di bidang ini untuk segera duduk bersama, berkoordinasi dan mencari solusi terbaik atas penggunaan seragam dan atribut militer di kalangan sipil.
"Beberapa lembaga yang berkompeten itu, antara lain Kemenpolhukam, Kemendagri, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Kepolisian RI serta Mabes TNI," tutupnya.