Kendari   (Antara News) - DPRD Sulawesi Tenggara menggelar dengar pendapat dengan PT Damai Jaya Lestari, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara terkait tuntutan pekerja asal NTT yang merasa ditelantarkan oleh perusahaan itu.

Pada dengar pendapat yang dipimpin Ketua DPRD Sultra Abdul Ramhman Saleh di ruang rapat DPRD di Kendari, Selasa, perwakilan pekerja Adrianus Pitindali mengungkapkan bahwa selama menjadi buruh di PT DJL, para buruh asal NTT itu diperlakukan seperti budak.

Selain dipekerjakan melebihi jam kerja, perusahaan juga tidak membayarkan hak-hak pekerja seperti uang lembur seperti yang dijanjikan perusahaan.

"Dalam bekerja di perkebunan, kami juga harus membeli sendiri alat kelengkapan kerja seperti cangkul, parang atau linggis," katanya pada rapat dengar pendapat yang dihadiri Kepala Dinas Sosial Sultra Iskandar dan pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sultra Magner Sinaga.

Menurut dia, selama bekerja sebagai buruh di perusahaan tersebut, ratusan pekerja juga tidak diberikan jaminan kesehatan oleh perusahaan.

Setiap buruh yang menderita sakit kata dia, buruh yang bersangkutanlah yang harus membayar biaya pengobatan di Puskemas atau rumah sakit.

"Ada teman kami yang menderita sakit tidak diurus oleh perusahaan dan ketika kami membawanya ke Kendari untuk berobat, yang bersangkutan menghembuskan nafas terakhir sebelum sampai di rumah sakit," katanya.

Sementara itu, Manager Operasional PT DJL Uli Sitorus membantah kalau perusahaan kelapa sawit itu telah mengabaikan hak-hak buruh yang dipekerjakannya.

"Perusahaan memberikan upah kerja kepada para pekerja disesuaikan dengan jam kerja masing-masing," katanya.

Menyangkut tidak diberikannya para pekerja jaminan kesehatan, Uli mengatakan bukanlah kehendak dari perusahaan sendiri melainkan pihak BPJS yang tidak mau menyertakan pekerja berusia di atas 50 tahun menjadi peserta BPJS.

"Yang tidak diberikan jaminan kesehatan oleh perusahaan hanya pekerja yang sudah berusia di atas 50 tahun. Pihak BPJS tidak mau menyertakan pekerja yang dianggapnya sudah usia lanjut," katanya.

Sementara menyangkut peralatan kerja seperti cangkul, parang atau linggis harus dibeli sendiri oleh pekerja, dia tidak membantahnya.

Menurut dia, perusahaan menerapkan kebijakan seperti itu, karena bila perusahaan yang menyediakan peralatan kerja, peralatan kerja seringkali tidak terawat bahkan hilang.

"Dengan membeli peralatan kerja sendiri, masing-masing pekerja menjaga dan memelihara peralatan kerjanya," katanya.

Pewarta : Agus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024