Muncul inisiatif penulis bahwa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), harus mampu menjadi pionir untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan melalui hasil-hasil penelitian yang dapat diserap langsung masyarakat.

Provinsi Sultra--sebagian besar wilayahnya merupakan daerah kepulauan dan wilayah pesisir yang relatif cukup luas--memiliki potensi sumber daya alam yang kaya di bidang kemaritiman, termasuk di antaranya rumput laut. Namun, belum dapat dikelola secara optimal.

Untuk itu, UHO Kendari menggagas dan menjalin dengan BIOTROP Bogor dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO Kendari untuk meneliti upaya pengembangan bibit rumput laut jenis "kappaphycus alvarezii" yang dalam dunia perdagangan lazim dikenal sebagai "kottonii" hasil kultur jaringan.

Penelitian yang didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI serta didukung Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sultra dan DKP Kabupaten Konawe Selatan dan Konawe Utara telah dilaksanakan sejak 2013 di Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan telah berhasil dikembangkan oleh pembudidaya.

Sebelum penggunaan bibit rumput laut hasil kultur jaringan ini dilaksanakan, selama ini para pembudidaya rumput laut setempat menggunakan bibit rumput laut jenis "kappaphycus alvarezii" yang diperoleh dari perairan sekitar lokasi budi daya.

Hal ini berdampak pada penurunan produksi setiap tahun, khususnya pada musim tertentu pada bulan Juli--Oktober. Saat produksi menurun, seperti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya masyarakat yang biasanya menggunakan bibit jenis "kappaphycus alvarezii" beralih menggunakan jenis rumput laut "eucheuma spinosum".

Rumput laut jenis spinosum ini diharapkan dapat menjawab permasalahan penurunan produksi rumput laut yang dihadapi oleh masyarakat karena jenis spinosum ini dipercaya memiliki daya tahan yang lebih kuat daripada rumput laut jenis kappaphycus alvarezii.

Hasil pengamatan pada bulan Agustus 2015, produksi rumput laut di Desa Bungin Permai ternyata mulai menurun akibat adanya musim kemarau yang diiringi dengan datangnya musim EL Nino yang menyebabkan suhu permukaan air laut cenderung meningkat seperti yang terjadi pada tahun ini.

Penurunan produksi itu tidak hanya terjadi akibat kondisi musim yang terjadi setiap tahun, tetapi juga kualitas bibit yang rendah akibat penggunaan bibit yang secara terus-menerus digunakan oleh petani secara turun-temurun menggunakan metode vegetatif (metode perbanyakan bibit dengan memotong cabang rumput laut dari induk rumput laut hasil panen) lebih dari 15--20 tahun tanpa pergantian sama sekali.

Keadaan inilah yang mendorong penulis berinisiatif mengembangkan bibit hasil kultur jaringan. Melalui UHO Kendari melakukan kerja sama kemitraan dengan BIOTROP Bogor sejak 2013 untuk pengadaan bibit rumput laut hasil kultur jaringan.

Gayung pun bersambut, BIOTROP Bogor memulai pengadaan bibit skala laboratorium, kemudian pengembangan di lapangan dan aplikasi di tengah masyarakat dilakukan oleh pihak Universitas Halu Oleo Kendari.

Kerja sama inilah yang kemudian berhasil dikembangkan hingga sekarang.

Rumput laut hasil kultur jaringan saat ini sudah siap disebarkan kepada petani rumput laut.



Berbobot Tinggi



Dengan hadirnya rumput laut hasil kultur jaringan di tengah-tengah masyarakat pembudidaya rumput laut dapat memberikan harapan besar sebab rumput laut hasil kultur jaringan tersebut mampu menghasilkan pertumbuhan dan bobot hasil panen yang lebih tinggi.

Rasio bobot hasil panen rumput laut kering : rumput laut basah hasil kultur jaringan 1:6 hingga 1:7 (artinya untuk memperoleh 1 kg berat kering rumput laut memerlukan 6--7 kg rumput laut basah) sedangkan bobot rumput laut yang bukan hasil kultur jaringan menghasilkan rasio bobot 1:8 hingga 1:9.

Selain itu, kemampuan menghadapi kenaikan suhu juga lebih tinggi daripada rumput laut spinosum yang sudah mulai banyak terserang penyakit "ice-ice" (penyakit bintik bintik putih pada ujung cabang rumput laut).

Rumput laut kultur jaringan dapat tumbuh dengan baik meskipun pada musim panas seperti saat ini.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada warga masyarakat Desa Bungin Permai yang mulai menggunakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan bahwa tanggapan mereka sangat berterima kasih dengan adanya teknologi budi daya pembibitan rumput laut tersebut.

"Kami sangat berterima kasih karena dengan adanya bibit baru ini kami masih tetap melakukan budi daya rumput laut pada musim-musim seperti ini", ujar penulis yang mengutip tanggapan dari beberapa warga petani rumput laut yang menggunakan bibit kultur jaringan di Desa Bungin itu.

Menurut petani rumput laut setempat, biasanya pada musim kemarau seperti saat ini mulai membatasi pembudidayaan rumput laut sampai kondisi perairan mulai stabil.

Salah satu penyebab menurunnya pertumbuhan rumput laut saat ini disebabkan oleh suhu dan salinitas, kisaran suhu pada bulan Juli--Agustus dapat mencapai sekitar 34 derajat Celsius dan salinitas 35 ppt.

Masyarakat mengatakan bahwa rumput laut kultur jaringan ini merupakan rumput yang sangat bagus serta mempunyai keunggulan dengan rumput laut yang menggunakan bibit lokal maupun spinosum.

Penulis menambahkan bahwa hingga saat ini sudah ada 20 kepala keluarga (KK) yang memanfaatkan bibit ini di Desa Bungin Permai. Pada bulan September 2015, bibit ini akan disebarkan ke kabupaten lain yang bertetangga dengan kabupaten Konawe Selatan, yaitu kabupaten Konawe Utara sebanyak 23 orang petani (tiga kelompok pembudidaya) di tiga desa, wilayah Kecamatan Lasolo.

Pada tahun 2016, insya Allah bibit rumput laut hasil kultur jaringan ini akan disebarkan di empat kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Muna, Muna Barat, Wakatobi, dan Kota Kendari.

Target jangka panjang yang direncanakan sebelum 2020 adalah pendirian "hatchery" (panti pembenihan) bibit rumput laut pertama di Indonesia menggunakan teknologi pengembangan bibit rumput laut hasil kultur jaringan dan sudah tersertifikasi sehingga standar mutu dari bibit ini terjamin dan mampu menjangkau di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di sentra pengembangan bibit rumput laut yang ada di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Untuk mencapai rencana tersebut, penulis sangat mengharapkan kerja sama dengan semua pihak terkait, khususnya yang sudah terjalin selama ini dengan pihak BIOTROP, Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Dinas Kelautan dan Perikanan di dearah, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbang) yang ada di setiap provinsi.



(*) Guru besar dan peneliti rumput laut Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari, dan Koordinator Forum Kelautan dan Perikanan Indonesia (FKPI).

Pewarta : Oleh Prof Dr Ir La Ode Muhammad Aslan, MSc.*
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024