Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2015.

         Pilkada serentak gelombang pertama akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015 untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memasuki akhir masa jabatan 2015 dan semester pertama 2016.

         Kemudian gelombang kedua dilakukan pada Februari 2016 untuk akhir masa jabatan semester kedua tahun 2016 dan seluruh kepala daerah yang masa jabatannya berahir 2017. Sedangkan gelombang ketiga 208 akan dilakukan untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2018 dan 2019.

         "Model pemilihan serentak ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Indonesia harus dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena tercatat ada 269 daerah terdiri atas sembilan provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten yang serentak memilih kepala daerah.

         Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten-kota di Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak gelombang pertama. Hal ini merupakan pesta demokrasi lokal yang menarik dan bersejarah.

    
                          Pilkada dan masalah perlindungan anak
         Pilkada dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.

         Seiring dengan beragamnya masalah anak yang semakin kompleks, idealnya proses politik dalam pilkada mengakomodasi isu perlindungan anak dan bukan sekadar pesta suksesi kekuasaan di level daerah.

         Sayangnya, dalam berbagai perhelatan politik pilkada selama ini, isu perlindungan anak belum dianggap seksi. Kecenderungan para calon pimpinan di daerah lebih pada "logika kekuasaan", bukan "membangun peradaban".

         Isu anak sejatinya merupakan isu yang berorientasi peradaban. Berpihak pada anak sesungguhnya bekerja menyiapkan pemimpin, pengelola bangsa dan desainer negara di masa depan.

         Sementara, logika kekuasaan cenderung berorientasi jabatan dan melanggengkan jabatan. Inilah nilai yang kontrakdiktif dalam perhelatan pilkada selama ini.

    
Penyelenggaraan perlindungan anak
    Potret faktual masalah anak di Indonesia pada dasarnya merupakan masalah hilir dari belum efektifnya penyelenggaraan perlindungan anak.

         Tahap pertama adalah kebijakan. Pada tahap ini norma perlindungan anak ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

         Pada tahap ini, pelaksanaan Konvensi Hak Anak masih belum maksimal. Indikasinya adalah masih adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan daerah yang tidak senapas dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang berakibat atau berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak.

         Selain itu, masih banyak peraturan termasuk peraturan daerah yang semestinya ada, tetapi belum ada, sehingga tidak ada payung hukum yang menjadi sandaran penerapan dan operasionalisasi bagi penyelenggara perlindungan anak
    Di tingkat daerah, daerah tingkat I dan II yang memiliki peraturan daerah yang menempatkan perlindungan anak sebagai sebuah sistem yang holistik dan terintegrasi juga masih sangat minim.

         Tahap kedua adalah struktur dan aparatur. Persoalan pada tahapan ini dapat diidentifikasikan pada tingkat pemahaman penyelenggara negara di daerah tentang hak-hak anak yang masih beragam.

         Begitu pula dengan aparat penegak hukum. Undang-Undang Perlindungan Anak masih belum menjadi acuan/ referensi wajib seluruh kepala daerah, para legislator daerah dan aparat penegak hukum.

         Konsekuensinya, perlindungan anak belum menjadi program yang diprioritaskan, belum didukung oleh infrastuktur yang memadai, termasuk suber daya manusia, kelembagaan dan pembiayaannya, serta belum diselenggarakan secara efektif.

         Tidak jarang bahkan terjadi, pengambil kebijakan secara nyata mengambil tindakan yang melanggar hak anak, padahal semestinya pengambil kebijakan adalah pihak yang wajib memberikan perlindungan karena kedudukan strukturalnya;
    Selain itu, lembaga perlindungan anak yang menjangkau semua wilayah belum terbentuk dan mekanisme pengawasan dan pendataan masih lemah.

         Hal itu ditunjukkan dengan masih rendahnya pencapaian pembangunan perlindungan anak di daerah, antara lain, disebabkan oleh masih lemahnya kualitas dan kapasitas kelembagaan.

         Tahap ketiga adalah kultur dan realitas di masyarakat. Masalah mendasar pada tahap ini adalah masih banyaknya nilai-nilai masyarakat yang membenarkan dan melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak serta belum memberikan ruang partisipasi anak.

         Diskriminasi kepada anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak minoritas dianggap hal wajar. Kekerasan dipandang sebagai hal yang lazim dilakukan dalam rangka mendidik anak.

         Eksploitasi ekonomi dan seksual dianggap hal yang boleh dilakukan orang tua atas nama kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua
    Selain itu, keluarga, lingkungan sekolah dan pergaulan secara langsung dan tidak langsung memengaruhi anak untuk melakukan tindak kekerasan dan perbuatan tidak terpuji lainnya.

         Di sisi lain, masih ada informasi tidak ramah anak yang mudah dan bebas diakses di mana-mana serta sikap masyarakat yang permisif terhadap pelanggaran hak anak yang terjadi di sekelilingnya.

         Rangkaian pesta politik pilkada juga seringkali tak absen dari pelibatan anak dalam politik yang berdampak negatif bagi anak.

         Pendek kata, hak-hak anak yang belum sepenuhnya dipahami oleh semua orang dewasa, keluarga, dan masyarakat Indonesia telah mengakibatkan tumbuh kembang anak menjadi terganggu.

    
Momentum  pembangunan daerah ramah anak
    Dalam konteks perlindungan anak, ketiga tahap masalah tersebut tidaklah berdiri sendiri melainkan terkait satu sama lain dan saling mempengaruhi.

         Pilkada serentak yang dimulai 2015 sejatinya merupakan momentum besar dan secara radikal dapat dijadikan "political assurance" untuk penguatan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah.

         Harapannya, perlindungan anak dapat ditempatkan sebagai sebuah sistem pembangunan daerah yang meniscayakan pendekatan komprehensif, terpadu antar satuan kerja perangkat daerah dan lembaga daerah, sehingga pembangunan daerah sarat dengan kordinasi, sinergi dan intervensi yang tepat, terukur dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak.

         Konsekuensinya, calon pimpinan daerah seyogianya berorientasi membangun sistem perlindungan anak, bukan sekadar menjalankan program dan kegiatan seremonial.

         Upaya strategis yang perlu dilakukan diantaranya menyiapkan norma dan kebijakan pembangunan daerah yang senapas dengan semangat/ spirit perlindungan anak.

         Calon kepala daerah juga harus berupaya meningkatkan akses dan kualitas layanan pemenuhan hak dasar anak bagi semua anak secara terintegrasi dan perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, penelantaran dan perilaku salah lainya, anak berhadapan dengan hukum, anak korban bencana, korban pornografi dan napza, dan anak korban perlakuan salah lainnya.

         Terakhir, calon kepala daerah juga harus berupaya meningkatkan efektivitas kelembagaan perlindungan anak di daerah dan membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kasus pelanggaran hak anak.

    
*) Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Pewarta : Oleh Susanto*
Editor :
Copyright © ANTARA 2024